Malam Lagi Hujan
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Wednesday, May 25, 2011
Posted at : 2:20 AM
Jakarta hujan dini hari, gue girang setengah mati. Biarlah dikata melankoli, toh rasanya lega bisa menyalurkan sepenuhnya yang ada di hati. Gue selalu suka malam hari, gue pun suka hujan, jadi ya kalau digabung rasanya sempurna. Nggak ada alasan khusus, bukan karena pengalaman di masa lampau, hanya suasana yang dijual membuat semuanya tanpa cela. Sadisnya cihuy.
Gue nggak bisa melihat jelas hujan di Jakarta, terutama di rumah. Terlalu banyak bangunan tinggi menutupi pandangan jendela, apalagi lantai satu. Titik-titik air menjadi bening tak tampak, hanya suara gemercik yang membasahi telinga. Sekilas mereka terlihat menetes dari tepi pagar sesaat, lalu jatuh ke tanah berbaur dengan kawan lama mereka yang lama tak dicumbu. Jangan harapkan jangkrik ataupun kodok, tikus pun enggan mencicit, mungkin sedang menikmati malam di peraduan mereka. Secangkir teh, dan obrolan ringan antara bapak-ibu tikus tentang pendidikan anak-anak mereka soal curi mencolong. Siapa tahu?
Samar terdengar anak tanggung berteriak girang di tengah malam. Jalanan ramai oleh suara mereka, aneh? Mereka tidak di kasur kapuk berdebu seperti seharusnya, tapi jangan heran. Ini kemayoran, tempat macan Jakarta bernaung, Hooligan dari klub sepakbola beringas di Indonesia, ricuh itu hal biasa, ramai itu kudapan pengisi hara. Pastilah menyenangkan, tanpa harus memikirkan hal-hal yang normatif dan prinsipil, mereka bisa berkeliaran pagi buta di tengah hujan. Rasanya ingin sesekali mencoba, tidak ada salahnya, lain kali pasti.
Tanpa kenangan? Bisa saja iya, tapi mungkin juga tidak. Hampa yang total. Kosong yang sempurna. Dengan pembiasaan yang terlalu lama menjadikan hal yang buruk terasa indah. Mungkin itu. Mungkin saat-saat seperti ini, dimana tidak ada hal lain selain denting panah air menghantam paving blok, bau tawar yang menusuk hidung sampai sakit, hening namun ramai. Hanya ada gue dan kesempatan untuk tertawa pada diri sendiri. Hujan dan malam mengingatkan dengan baik bagaimana hal-hal itu pernah dilalui. Eh. Mungkin bukan pernah, tapi sedang dan akan dilalui. Sekarang mungkin teringat, entah kapan akan menjadi, atau bahkan sebuah nostalgi.
Hampa yang itu. Yang seakan semua orang adalah musuh, tanpa teman dan bahkan bayangan entah berlari kemana. Anggapan bahwa kaki ini hanyalah dua tanpa sandaran, tidak perlu dan tidak akan pernah mau. Gue pun heran, bagaimana caranya menganggap tatapan orang lain adalah intimidasi yang harus diatasi, sedikit gerakan adalah proses menembus pertahanan diri, hoeh, kalau diingat rasanya capek sendiri. Untungnya sudah terlewat, dan harapan di kepala tentunya ingin tidak terulang, apalagi sedang diulang. Amit-amit.
Sekarang gue merokok, seperti biasanya. Dengan badan menempel di teralis jendela, menajamkan kuping akan tiap tetes air yang turun, sedikit percikan menghampiri, gue senyum, yang kata Nanda aneh. Biarlah aneh, toh senyum ini buat kamu kok.
Gue nggak bisa melihat jelas hujan di Jakarta, terutama di rumah. Terlalu banyak bangunan tinggi menutupi pandangan jendela, apalagi lantai satu. Titik-titik air menjadi bening tak tampak, hanya suara gemercik yang membasahi telinga. Sekilas mereka terlihat menetes dari tepi pagar sesaat, lalu jatuh ke tanah berbaur dengan kawan lama mereka yang lama tak dicumbu. Jangan harapkan jangkrik ataupun kodok, tikus pun enggan mencicit, mungkin sedang menikmati malam di peraduan mereka. Secangkir teh, dan obrolan ringan antara bapak-ibu tikus tentang pendidikan anak-anak mereka soal curi mencolong. Siapa tahu?
Samar terdengar anak tanggung berteriak girang di tengah malam. Jalanan ramai oleh suara mereka, aneh? Mereka tidak di kasur kapuk berdebu seperti seharusnya, tapi jangan heran. Ini kemayoran, tempat macan Jakarta bernaung, Hooligan dari klub sepakbola beringas di Indonesia, ricuh itu hal biasa, ramai itu kudapan pengisi hara. Pastilah menyenangkan, tanpa harus memikirkan hal-hal yang normatif dan prinsipil, mereka bisa berkeliaran pagi buta di tengah hujan. Rasanya ingin sesekali mencoba, tidak ada salahnya, lain kali pasti.
Tanpa kenangan? Bisa saja iya, tapi mungkin juga tidak. Hampa yang total. Kosong yang sempurna. Dengan pembiasaan yang terlalu lama menjadikan hal yang buruk terasa indah. Mungkin itu. Mungkin saat-saat seperti ini, dimana tidak ada hal lain selain denting panah air menghantam paving blok, bau tawar yang menusuk hidung sampai sakit, hening namun ramai. Hanya ada gue dan kesempatan untuk tertawa pada diri sendiri. Hujan dan malam mengingatkan dengan baik bagaimana hal-hal itu pernah dilalui. Eh. Mungkin bukan pernah, tapi sedang dan akan dilalui. Sekarang mungkin teringat, entah kapan akan menjadi, atau bahkan sebuah nostalgi.
Hampa yang itu. Yang seakan semua orang adalah musuh, tanpa teman dan bahkan bayangan entah berlari kemana. Anggapan bahwa kaki ini hanyalah dua tanpa sandaran, tidak perlu dan tidak akan pernah mau. Gue pun heran, bagaimana caranya menganggap tatapan orang lain adalah intimidasi yang harus diatasi, sedikit gerakan adalah proses menembus pertahanan diri, hoeh, kalau diingat rasanya capek sendiri. Untungnya sudah terlewat, dan harapan di kepala tentunya ingin tidak terulang, apalagi sedang diulang. Amit-amit.
Sekarang gue merokok, seperti biasanya. Dengan badan menempel di teralis jendela, menajamkan kuping akan tiap tetes air yang turun, sedikit percikan menghampiri, gue senyum, yang kata Nanda aneh. Biarlah aneh, toh senyum ini buat kamu kok.
Ngapel Ekstrim
Filed Under (For Remember,Journal ) by Pitiful Kuro on Tuesday, May 24, 2011
Posted at : 4:25 AM
Seperti apa rasanya menyaksikan suatu perubahan? Buat gue rasanya itu luar biasa, membuat darah muda gue bergejolak sadis begitu manis. Tapi sayang. Perubahan kadang datang begitu lambat, yang saking lambatnya, kita nggak merasakan sesuatu yang kita raba itu udah berubah. Kemarin, gue diberikan kesempatan untuk melihat perubahan itu, tiap detiknya, tiap menitnya, tiap jamnya. Gue mengamati dengan mata dan indra peraba gue sendiri, langsung. Gue ketawa girang.
Ini berkenaan dengan perjalanan gue ke Surabaya kemarin, naik motor. Dalam rangka tujuan ngapelin pacar tersayang, Nanda (tjieh). Gue udah di wanti-wanti sih, baik sama orang rumah, ataupun dari pihak keluarga yang ada di Surabaya sana, kalau jangan naik kuda besi roda dua itu, capek, jauh, panas, nanti di tempat tujuan kerjanya tepar doang lah. Tapi bukan gue dong kalau nggak kepala batu, tetep ngotot, dan akhirnya memutuskan untuk tetap pada rencana awal. Motor kesayangan udah diajak bicara empat mata, udah dielus-elus sedemikian rupa untuk ngebujuk, mesin udah dikelitikin supaya makin manja, minuman juga dikasih spesial—oli baru. Diable pun siap berangkat.
Nggak, disini gue nggak akan bicara road report kok.
Tapi apa ya?
Bayangin aja, gue berangkat dari Bandung jam setengah satu pagi, nunggu Nanda tidur dulu baru berangkat. Oh yeah, gue berangkat nggak pake bilang soalnya, gue nggak pengen my Brown Sugar khawatir nungguin gue di jalan, nggak enak di guenya juga karena bisa kepikiran, jadilah, rencana dadakan tanpa bilang ini diambil. Kurang baik apa coba pacar yang satu ini #jeger. Jalur yang gue ambil tentu jalur utara, masih agak ngeri lewat selatan, selain legenda yang bilang banyak begar sepanjang jalan, jalurnya yang terlalu banyak potongan dan persimpangan juga gue jadiin pertimbangan, mengingat gue masih awam dalam touring jarak jauh, mending cari jalur gampangan.
Pagi masih buta, malam pun belum habis tersapa, mesin menggerung perlahan, rokok dinyalakan sebagai tanda pelatuk sudah ditarik, sepi, saking heningnya bahkan jangkrik pun malas berbisik, mungkin meninabobokan anaknya yang terlalu berisik. Gelap. Satu dua kendaraan bertegur sapa dengan lampu jauhnya. Sesekali memaki kalau disorot dengan lampu tinggi kelewat silau, pelepasan emosi namun hanya sekedar persaudaraan jalanan. Halah.. perjalanan malam hari itu nggak ada yang bisa ngalahin, walau horor dan banyak yang bergelantungan di atas pohon, ketenangan yang gue dapat nggak sebanding dengan mereka yang melayang-layang teror.
Malam tersapu di ufuk timur, perubahan pertama yang gue lihat. Awalnya biru tua, perlahan biru muda, lalu tersapu oleh pendar jingga setipis kapas, berganti oranye muda memeluk mata, dan akhirnya pagi membuka. Mungkin ini waktu-waktu dimana gue nggak membenci pagi, gue melihat langsung dari nol pertambahan cahaya yang dibiaskan dalam rentang warna, gimana caranya gue membenci apa yang gue pupuk dari hampa? Hitam menjadi cahaya. Gue nyengir sambil ngopi di pinggir pantura. Rokok mengepul di sela jari siap menyuap muka.
Jalan terlalu panjang telah terlewati, ingin kembali pun percuma, terlalu jauh untuk memutar arah. Lelah, capek itu pasti, tapi terobati. Semarang, Kendal, Demak, semuanya serasa di rumah. Entah tautan apa, mungkin karena ada darah Solo mengalir di nadi. Gaya bangunan dan daerah yang begitu mirip kampung halaman seolah menyapu keringat tanpa perlu di seka, senyum kembali muncul di wajah yang menghitam, tersapu asap truk besar mengandung oli. Kota-kota itu seolah memberi tenaga pecut di otot yang mulai terisi asam susu, semangat memuncak, 500 kilometer yang telah dijamah seolah tanpa arti.
Setengahnya berkat pak Yuda, kawan lama yang baru bertemu. Tiga jam kami beriringan di jalan, tanpa kenal dan bermodal klakson serta sorotan lampu, kami menjadi sahabat. Bekerja sama menghindari lubang ranjau pantura, berkelit ketika ada bahaya, dan akhirnya duduk bersama di kedai es kelapa. Mengobrol tidak banyak, hanya tertawa dan berbagi ilmu seputar mesin, seputar keluarga, dan sedikit berbohong pada bapak satu ini tentang siapa yang gue begitu bela sampai menempuh jarak Bandung – Surabaya (huahaha). Di Tuban kami berpisah, anak istrinya menunggu di rumah, sementara sang calon masih tak tahu apa-apa haha-hihi di Surabaya.
Eh? Sudahkah gue bercerita tentang Rembang? Ini kota yang luar biasa apik, kawan. Di kanan ada dusun, di kiri ada apa? Tau? Laut. Laut yang begkitu hijau, begitu biru sampai dasarnya pun terlihat dari atas motor yang gue tunggang. Terpana, sampai hampir nabrak saking terpesona. Lupakan Ancol yang bayar 20 rebu sekali masuk. Disini nggak bayar, tapi indahnya seperti Ancol dilipat tigapuluh. Ingin berhenti, menghisap rokok di tengah pantai berpasir putih, siapa yang tidak tergoda? Tapi sayang, waktu berkata lain, mepet, dan tidak ingin membuang waktu banyak di jalan. Aspal pun terus digerus sampai keringat terakhir.
(telepon bunyi cuk!)
“Hani lagi dimana?”
“Mana ya.. nggak tau nih, lagi nyasar nyari Mesjid Akbar.”
“Hah? Hahahah.. serius ah, lagi dimana?”
“Beneran.. nggak percaya?”
“Nggak.. hahaha.. serius Hani.”
“Dih, nggak percaya… bentar, tanya mas-mas tukang rujak nih kalau nggak percaya.”
(Setengah tereak nanya orang)
“Mas, nanya dong, ini daerah mana ya?”
“Ketabang Ali mas!”
“Nah tuh.. percaya nggak?”
“HAH? SERIUS?!”
*duer*
Yah.. nasib nggak dipercaya pacar sendiri.. #toet
Surabaya masih sama, banyak motor, panas (bukan pengap), logat Njancuk’I terdengar di mana-mana, sesekali Madura berbicara. Rasis yang sama. Suasana yang sama. Gue pun berputar-putar mencari alamat dengan patokan tempat ibadat. Ketemu? Jelas. Gue memarkir motor di salah satu pelataran masjid terbesar Surabaya itu, dan duduk, menyalakan rokok tanda kemenangan. 750kilometer habis dilahap, tanpa masalah, tanpa hal yang mengganggu, hanya rasa girang yang kelewatan, ketagihan, dan secepatnya ingin mengulang. Nggak perlu ditanya, capek? Pasti, lelah? Apalagi, pegal? Alamak. Tapi tau nggak? Begitu ada cewek cakep naik Supra Fit dateng dan parkir di depan gue, dengan senyum manisnya yang sama dengan beberapa waktu lalu diberikan untuk gue. Rasanya capek gue rontok semua.
Ini berkenaan dengan perjalanan gue ke Surabaya kemarin, naik motor. Dalam rangka tujuan ngapelin pacar tersayang, Nanda (tjieh). Gue udah di wanti-wanti sih, baik sama orang rumah, ataupun dari pihak keluarga yang ada di Surabaya sana, kalau jangan naik kuda besi roda dua itu, capek, jauh, panas, nanti di tempat tujuan kerjanya tepar doang lah. Tapi bukan gue dong kalau nggak kepala batu, tetep ngotot, dan akhirnya memutuskan untuk tetap pada rencana awal. Motor kesayangan udah diajak bicara empat mata, udah dielus-elus sedemikian rupa untuk ngebujuk, mesin udah dikelitikin supaya makin manja, minuman juga dikasih spesial—oli baru. Diable pun siap berangkat.
Nggak, disini gue nggak akan bicara road report kok.
Tapi apa ya?
Bayangin aja, gue berangkat dari Bandung jam setengah satu pagi, nunggu Nanda tidur dulu baru berangkat. Oh yeah, gue berangkat nggak pake bilang soalnya, gue nggak pengen my Brown Sugar khawatir nungguin gue di jalan, nggak enak di guenya juga karena bisa kepikiran, jadilah, rencana dadakan tanpa bilang ini diambil. Kurang baik apa coba pacar yang satu ini #jeger. Jalur yang gue ambil tentu jalur utara, masih agak ngeri lewat selatan, selain legenda yang bilang banyak begar sepanjang jalan, jalurnya yang terlalu banyak potongan dan persimpangan juga gue jadiin pertimbangan, mengingat gue masih awam dalam touring jarak jauh, mending cari jalur gampangan.
Pagi masih buta, malam pun belum habis tersapa, mesin menggerung perlahan, rokok dinyalakan sebagai tanda pelatuk sudah ditarik, sepi, saking heningnya bahkan jangkrik pun malas berbisik, mungkin meninabobokan anaknya yang terlalu berisik. Gelap. Satu dua kendaraan bertegur sapa dengan lampu jauhnya. Sesekali memaki kalau disorot dengan lampu tinggi kelewat silau, pelepasan emosi namun hanya sekedar persaudaraan jalanan. Halah.. perjalanan malam hari itu nggak ada yang bisa ngalahin, walau horor dan banyak yang bergelantungan di atas pohon, ketenangan yang gue dapat nggak sebanding dengan mereka yang melayang-layang teror.
Malam tersapu di ufuk timur, perubahan pertama yang gue lihat. Awalnya biru tua, perlahan biru muda, lalu tersapu oleh pendar jingga setipis kapas, berganti oranye muda memeluk mata, dan akhirnya pagi membuka. Mungkin ini waktu-waktu dimana gue nggak membenci pagi, gue melihat langsung dari nol pertambahan cahaya yang dibiaskan dalam rentang warna, gimana caranya gue membenci apa yang gue pupuk dari hampa? Hitam menjadi cahaya. Gue nyengir sambil ngopi di pinggir pantura. Rokok mengepul di sela jari siap menyuap muka.
Jalan terlalu panjang telah terlewati, ingin kembali pun percuma, terlalu jauh untuk memutar arah. Lelah, capek itu pasti, tapi terobati. Semarang, Kendal, Demak, semuanya serasa di rumah. Entah tautan apa, mungkin karena ada darah Solo mengalir di nadi. Gaya bangunan dan daerah yang begitu mirip kampung halaman seolah menyapu keringat tanpa perlu di seka, senyum kembali muncul di wajah yang menghitam, tersapu asap truk besar mengandung oli. Kota-kota itu seolah memberi tenaga pecut di otot yang mulai terisi asam susu, semangat memuncak, 500 kilometer yang telah dijamah seolah tanpa arti.
Setengahnya berkat pak Yuda, kawan lama yang baru bertemu. Tiga jam kami beriringan di jalan, tanpa kenal dan bermodal klakson serta sorotan lampu, kami menjadi sahabat. Bekerja sama menghindari lubang ranjau pantura, berkelit ketika ada bahaya, dan akhirnya duduk bersama di kedai es kelapa. Mengobrol tidak banyak, hanya tertawa dan berbagi ilmu seputar mesin, seputar keluarga, dan sedikit berbohong pada bapak satu ini tentang siapa yang gue begitu bela sampai menempuh jarak Bandung – Surabaya (huahaha). Di Tuban kami berpisah, anak istrinya menunggu di rumah, sementara sang calon masih tak tahu apa-apa haha-hihi di Surabaya.
Eh? Sudahkah gue bercerita tentang Rembang? Ini kota yang luar biasa apik, kawan. Di kanan ada dusun, di kiri ada apa? Tau? Laut. Laut yang begkitu hijau, begitu biru sampai dasarnya pun terlihat dari atas motor yang gue tunggang. Terpana, sampai hampir nabrak saking terpesona. Lupakan Ancol yang bayar 20 rebu sekali masuk. Disini nggak bayar, tapi indahnya seperti Ancol dilipat tigapuluh. Ingin berhenti, menghisap rokok di tengah pantai berpasir putih, siapa yang tidak tergoda? Tapi sayang, waktu berkata lain, mepet, dan tidak ingin membuang waktu banyak di jalan. Aspal pun terus digerus sampai keringat terakhir.
(telepon bunyi cuk!)
“Hani lagi dimana?”
“Mana ya.. nggak tau nih, lagi nyasar nyari Mesjid Akbar.”
“Hah? Hahahah.. serius ah, lagi dimana?”
“Beneran.. nggak percaya?”
“Nggak.. hahaha.. serius Hani.”
“Dih, nggak percaya… bentar, tanya mas-mas tukang rujak nih kalau nggak percaya.”
(Setengah tereak nanya orang)
“Mas, nanya dong, ini daerah mana ya?”
“Ketabang Ali mas!”
“Nah tuh.. percaya nggak?”
“HAH? SERIUS?!”
*duer*
Yah.. nasib nggak dipercaya pacar sendiri.. #toet
Surabaya masih sama, banyak motor, panas (bukan pengap), logat Njancuk’I terdengar di mana-mana, sesekali Madura berbicara. Rasis yang sama. Suasana yang sama. Gue pun berputar-putar mencari alamat dengan patokan tempat ibadat. Ketemu? Jelas. Gue memarkir motor di salah satu pelataran masjid terbesar Surabaya itu, dan duduk, menyalakan rokok tanda kemenangan. 750kilometer habis dilahap, tanpa masalah, tanpa hal yang mengganggu, hanya rasa girang yang kelewatan, ketagihan, dan secepatnya ingin mengulang. Nggak perlu ditanya, capek? Pasti, lelah? Apalagi, pegal? Alamak. Tapi tau nggak? Begitu ada cewek cakep naik Supra Fit dateng dan parkir di depan gue, dengan senyum manisnya yang sama dengan beberapa waktu lalu diberikan untuk gue. Rasanya capek gue rontok semua.
Nggak semua harus selesai dengan konfrontasi. Mungkin itu hal paling luar biasa yang gue pelajari dari dia. No, bukan menjadikan gue semakin bisa bersikap sebagai laki-laki yang biasanya gue bilang. Aneh? Gue baru sadar beberapa hari kebelakang. Kalau gue ingat proses itu, waktu itu gue masih kepala batu (sekarang pun masih), apa yang gue ingin adalah apa yang harus gue dapet, gue lihat, gue dengar. Gue berpendapat, bahwa sebuah permasalahan harus diselesaikan saat itu juga, diselesaikan berdua. Menurut gue itu yang paling bener.
Tapi (mungkin engga).
Dia berpendapat lain awalnya, memutuskan untuk menyimpan bagiannya sendiri dan membiarkan gue menyimpan bagian gue. Gue ngga suka, gue pun memaksa, problem gue selesaikan dengan problem, paksaan yang baru lagi untuk bicara, akhirnya pun bicara, walau dengan nggak jarang ada tangis dan rasa ngilu di hati. Haha. The man of violence, me. Pada akhirnya, diapun mengikuti paham gue, bilang dan bilang, suka nggak suka, berantem? Ya hancur lebur sekalian, yang penting berikutnya bisa bangkit lagi dengan utuh. Tapi apa iya itu jalan yang paling baik?
Dengan tabrakan kerasa di kedua sisi? Halahmak. Sekarang gue hanya bisa ketawa melihat masa lalu dari ketinggian yang cukup. Cukup jelas untuk ngeliat masing-masing kedua sisi, dan ternyata banyak hal yang nggak keliatan ya? Gue punya janji, dengan Wis, harus ada realisasinya. Dan aturan nomor satu kalau mau bikin janji, buatlah janji yang nggak bisa lo langgar. Lalu aturan nomor dua, buatlah janji yang bisa lo jalankan dengan tanpa paksaan, senang, gembira. Dan itulah yang gue lakuin.
Jadi pengen nyengir. Wismilak gue abis. Tapi udah tiga bungkus hari ini. Mamam deh tuh.
Tapi (mungkin engga).
Dia berpendapat lain awalnya, memutuskan untuk menyimpan bagiannya sendiri dan membiarkan gue menyimpan bagian gue. Gue ngga suka, gue pun memaksa, problem gue selesaikan dengan problem, paksaan yang baru lagi untuk bicara, akhirnya pun bicara, walau dengan nggak jarang ada tangis dan rasa ngilu di hati. Haha. The man of violence, me. Pada akhirnya, diapun mengikuti paham gue, bilang dan bilang, suka nggak suka, berantem? Ya hancur lebur sekalian, yang penting berikutnya bisa bangkit lagi dengan utuh. Tapi apa iya itu jalan yang paling baik?
Dengan tabrakan kerasa di kedua sisi? Halahmak. Sekarang gue hanya bisa ketawa melihat masa lalu dari ketinggian yang cukup. Cukup jelas untuk ngeliat masing-masing kedua sisi, dan ternyata banyak hal yang nggak keliatan ya? Gue punya janji, dengan Wis, harus ada realisasinya. Dan aturan nomor satu kalau mau bikin janji, buatlah janji yang nggak bisa lo langgar. Lalu aturan nomor dua, buatlah janji yang bisa lo jalankan dengan tanpa paksaan, senang, gembira. Dan itulah yang gue lakuin.
Jadi pengen nyengir. Wismilak gue abis. Tapi udah tiga bungkus hari ini. Mamam deh tuh.
satu pikiran telah termuntahkanKatakanlah gue norak. Tapi gue kaget ketika gue mengetik kata 'scars' (gara-gara tumblrnya sapu nih) di search tumblr. Gue menemukan banyak post, tentunya, yang isinya adalah bekas luka akibat self injury. Banyak. Banget. Reaksi gue? Yea, harusnya gue nggak heran, yang seperti itu gue jelas tau banyak, tapi, keanehan yang ada di malam ini ngebuat gue tetep terbengong melihat deretan luka-luka itu. Tepatnya, luka-luka yang di post oleh mereka yang ngalamin, langsung.
Gue nggak heran atau kaget ketika gue menemukan orang yang memiliki luka-luka itu, secara langsung. Beberapa kali ketemu, dan banyak. Tapi gue bener-bener ngerasa sendu sendiri ketika gue melihat secara nggak langsung barusan. Kenapa ya?
Mungkin karena gue nggak bisa melihat mata mereka langsung, gue nggak bisa tau seberapa besar beban yang mata itu sembunyikan, terlebih, gue nggak bisa sekedar menepuk punggung mereka, nyengir terus langsung ngomong sambil senyum-senyum menajiskan diri.
"Semua akan baik pada waktunya, percaya deh."
Sekonyol apapun lo ngerasa apa-apa yang mereka lakuin, lo katain emo, lo nggak tau rasanya. Jelas lah orang-orang bisa bilang…
"cuma gitu doang aja pakek ngelukain diri."
“Idih suram lo.”
“Madesu.”
“Berlebihan amat sih.”
“Gak sayang sama diri sendiri.”
“Cari perhatian ih.”
Jelas, nggak tau rasanya ya tentu bisa ngomong begitu. Indonesia menganut freedom of speech toh, mau ngomong apa juga nggak ada yang ngelarang. Tapi pikir, apa nggak aneh? Hanya didasari foto, hanya karena ngeliat orang bertato dari darah dan daging di jalan, ngeliat temen sendiri punya luka di pergelangan tangan, mereka udah bisa berkata begitu, menilai segitu kejamnya. Entahlah, mungkin mereka yang bisa bilang demikian ternyata keturunan dukun dan bisa menebak apa yang terjadi. Mungkin aja. Nggak bisa dipungkiri, yang begitu karena mengikuti tren jelas ada, sekedar arus ya ada, mungkin iseng atau memang tujuannya cari perhatian ya mungkin ada. Tapi jangan dilupakan, kalau mereka yang benar-benar mempunyai beban nggak ketahan pun ada. Apa mau pukul rata semuanya?
Hah.. Tumblr sarap. Jadi suram gini.
Kalau peduli, coba bantu. Kalau nggak peduli, tolong tutup mulut, iket tangan di ranjang nunggu pacar menyerang. Jangan malah menghantam dengan kata-kata yang setajam parang. Dunia udah kebalik.
Gue nggak heran atau kaget ketika gue menemukan orang yang memiliki luka-luka itu, secara langsung. Beberapa kali ketemu, dan banyak. Tapi gue bener-bener ngerasa sendu sendiri ketika gue melihat secara nggak langsung barusan. Kenapa ya?
Mungkin karena gue nggak bisa melihat mata mereka langsung, gue nggak bisa tau seberapa besar beban yang mata itu sembunyikan, terlebih, gue nggak bisa sekedar menepuk punggung mereka, nyengir terus langsung ngomong sambil senyum-senyum menajiskan diri.
"Semua akan baik pada waktunya, percaya deh."
Sekonyol apapun lo ngerasa apa-apa yang mereka lakuin, lo katain emo, lo nggak tau rasanya. Jelas lah orang-orang bisa bilang…
"cuma gitu doang aja pakek ngelukain diri."
“Idih suram lo.”
“Madesu.”
“Berlebihan amat sih.”
“Gak sayang sama diri sendiri.”
“Cari perhatian ih.”
Jelas, nggak tau rasanya ya tentu bisa ngomong begitu. Indonesia menganut freedom of speech toh, mau ngomong apa juga nggak ada yang ngelarang. Tapi pikir, apa nggak aneh? Hanya didasari foto, hanya karena ngeliat orang bertato dari darah dan daging di jalan, ngeliat temen sendiri punya luka di pergelangan tangan, mereka udah bisa berkata begitu, menilai segitu kejamnya. Entahlah, mungkin mereka yang bisa bilang demikian ternyata keturunan dukun dan bisa menebak apa yang terjadi. Mungkin aja. Nggak bisa dipungkiri, yang begitu karena mengikuti tren jelas ada, sekedar arus ya ada, mungkin iseng atau memang tujuannya cari perhatian ya mungkin ada. Tapi jangan dilupakan, kalau mereka yang benar-benar mempunyai beban nggak ketahan pun ada. Apa mau pukul rata semuanya?
Hah.. Tumblr sarap. Jadi suram gini.
Kalau peduli, coba bantu. Kalau nggak peduli, tolong tutup mulut, iket tangan di ranjang nunggu pacar menyerang. Jangan malah menghantam dengan kata-kata yang setajam parang. Dunia udah kebalik.
Luka itu indah
Darah yg memerah
Membias ke langit
Dicumbu sinar rembulan
Daun-daun bambu menggelitiki
Dan sungai mendesah jernih
Engkau telah merobek dgn sembilu
Dengan senyum manis teramat tulus
Luka kini manis sekali
Aku selalu ingat bagaimana kau membelaiku
Sambil meremas2 dan memutar2 ususku
Darahku tak terkesiap lagi
Jika cambuk mendera di tulang belulang
Aku akan menyebut namamu berulang-ulang
Dengan penuh cinta
Darah yg memerah
Membias ke langit
Dicumbu sinar rembulan
Daun-daun bambu menggelitiki
Dan sungai mendesah jernih
Engkau telah merobek dgn sembilu
Dengan senyum manis teramat tulus
Luka kini manis sekali
Aku selalu ingat bagaimana kau membelaiku
Sambil meremas2 dan memutar2 ususku
Darahku tak terkesiap lagi
Jika cambuk mendera di tulang belulang
Aku akan menyebut namamu berulang-ulang
Dengan penuh cinta
Dinyanyikan oleh Komunitas Rumput, aransemen oleh Bang Kopong.
____
Ngga ada yang bisa ngalahin lagu ini. Dan untuk waktu yang jarang, gue suka lagu bukan hanya karena musiknya doang, tentunya bukan tanpa alasan. Sayang nggak ada Mp3 nya. Hueh.
Gue bingung harus menuliskan apaan.
Ah ya gue tau, soalnya tangan gue lagi nggak menjepit rokok sekarang.. bentar.
*Ckresh*
“Ssshh.. Fuuuh..”
Haleluyeah.
Lo terbangun di kampus, terbangun di jalanan, terbangun di kamar lo sendiri, terbangun di tempat kerja. Kehilangan jam, kehilangan waktu. Ini hidup lo yang bisa berakhir di menit berikutnya. Jika lo terbangun di tempat yang berbeda, waktu yang berbeda, bisakah lo terbangun sebagai orang yang berbeda?
Mulut gue hanya berasa asap, sampai gue merasa jenuh ngerokok. Tau nggak rasanya? Yeah, gue tercerahkan. Memotivasi diri sendiri itu hanya masturbasi, penghancuran diri? Katakanlah, itu hal yang lebih gue butuhkan. Karena buat gue, hanya setelah sebuah penghancuran, gue baru bisa terlahir kembali. Gue disini, di kamar paling depan, dimana gue masih bisa mendengar RX King menderu memecut telinga gue dengan desibelnya yang tinggi, di depan komputer, tersadar dari sebuah kekosongan yang dipaksakan. Gue tersenyum, melihat remah-remah tubuh yang sedang berusaha gue pungut, disatukan kembali ke tubuh. Sebagai proses reinkarnasi mini yang gue lakukan.
Gue baru aja berbicara dengan seorang teman, panjang lebar. Bukan teman lama, tapi juga bukan teman yang baru aja gue kenal. Bahkan gue hanya mendengar suaranya tanpa tau wujud fisiknya. Apa itu temen gue? Haha, bertanyalah, tapi yeah, gue berani bilang kalau dia itu teman gue. Blah. Gue bener-bener tercerahkan. Obrolan singkat namun panjang ini memberikan banyak sudut pandang baru, kayak, apa yang gue dapetin dari ngobrol dengan seorang asing, tapi bukan, gue kenal dia secara parsial walau tidak total.
Nada meninggi, kadang tertawa, kadang serius dilipat tiga, kadang mengais tanah untuk mencari sebuah jawaban atas pertanyaan entah darimana. Lo bayangin deh, lo ketemu sama seseorang yang udah lama nggak lo temui, lalu lo cerita hal-hal krusial fatal yang sedang lo alami, dan secara magis, dia bisa menanggapi satu frekuensi begitu aja dengan mudah. Apa yang lo rasain? Mungkin rasa heran luar biasa, mungkin juga rasa kaget nggak percaya, tapi yang gue alami adalah rasa senang nggak ketulung. Nyengir lebar nggak kekira. Karena fakta yang dia bawa, dia punyai, adalah hal yang minimal membuat gue mau nyekek leher sendiri supaya gue percaya. Kayak iblis ketemu nereka. And no, kalau lo mikir kayak penis ketemu vagina, nggak. Walau ide bagus sih.
Percaya nggak percaya, ini bungkus rokok ketiga gue dalam sembilan jam kebelakang tanpa makanan. Rasanya mau muntah. Uek. Gue bolak balik ke kamar mandi untuk memuntahkan cairan kuning yang berfungsi sebagai pencerna makanan. Rasanya pait, rasanya perih, capek muntah bolak-balik. Tapi apa gue terganggu dengan itu, boi? Enggak. Sama sekali nggak. Ini adalah proses yang gue jalanin, destruktivisme dimana gue berusaha mengumpulkan potongan-potongan tubuh gue lagi menjadi satu kesatuan yang utuh untuk mengembalikan gue ke alam sadar. Kembali menjadi baik, kembali menjadi gue yang sempurna tanpa kurang suatu apapun.
Dan siapa dia tadi? Gue nggak tau tuh. Tapi yang pasti, kalau bisa, gue mau meluk dia dengan dekapan erat, walau pasti gue bakal digampar, haha. Gue bilang gue nggak jatuh cinta, tapi apa iya dengan frekuensi bicara terlalu sama itu gue bisa nggak cinta? Ya nggak segitunya sih. Dan kalau ini dianggap sebagai cinta cowok ke perempuan, ya jelas bukan. Karena pada dasarnya gue nggak tau dia itu cowok atau cewek, binatang atau manusia. Metafisik. Please, jangan bilang bencong walau memang entitas yang satu itu juga metafisik. Dia datang di waktu yang tepat, yang pada awalnya gue menganggap dia adalah sebuah halangan, sebuah masalah baru, tapi enggak, dia memberikan sesuatu yang lebih yang bisa diberikan seseorang dalam bentuk fisik ke gue. Sebuah solusi konkrit? Nggak juga. Apalah namanya, yang jelas dia membantu gue dengan begitu sempurnanya.
Wisma, plesetan dari Wisnu versi feminim. Wisma, saduran kasar dari tempat seseorang bernaung sementara di belantara kota yang asing. Wis, dari Wisanggeni yang tegas dalam bersikap. Itu nama yang gue berikan karena dia nggak tau namanya sendiri. Jangan mikir yang aneh-aneh, panggilan sayang katakanlah begitu. Lagipula apa rasanya coba dalam perbincangan luar biasa asik, tapi nggak mengetahui nama masing-masing? Asik aja andaikan hanya ingin dikenal sebagai asing, tapi gue nggak mau. Makanya gue memberinya nama yang dia nggak mau berikan. Pelit.
Dia menyelamatkan gue, membantu proses penghancuran gue agar lebih sempurna, supaya proses reinkarnasi mini yang gue lakukan lebih cepat tercapai. Mungkin dia nggak sadar, toh dia pun menemui gue dengan tujuan lain, menolong temannya, yang jelas bukan gue. Tapi yeap, dia membantu gue secara nggak langsung. Gue tercerahkan. Hal yang gue hadapi belum beres, tapi seakan selesai karena dia. Kesadaran kewarasan kenyataan diberikan pada dia. Dia yang rasional, dia objektif, dia yang logis, dia yang itulah yang membentu gue. Betapa gue nggak bisa berenti nyengir coba waktu ngobrol panjang lebar sama dia via telpon? Dianya aja nggak liat.
Sayangnya, kesempatan gue bertemu dengan dia itu satu banding sejuta, atau mungkin lebih. Frustasi rasanya kalau penyusunan kata yang kita lakukan tadi itu hanya bisa dinikmati lagi dalam tempo waktu yang anomali. Toh juga, dia menghampiri gue ketika keadaan menjadi buruk doang, masa iya ketika gue kepengen ngobrol sama dia harus cari perkara dulu? Ya nggak lah. Intinya menyenangkan, mencerahkan, senang, nggak berenti nyengir. Tapi harus gue hentikan sebelum perbicangan gue dengannya itu akan menjadi adiktif. Hayah.
Diusahakan Wis, lebih baik lagi deh.
Eh? Kebaca orangnya nggak ya?
Ah ya gue tau, soalnya tangan gue lagi nggak menjepit rokok sekarang.. bentar.
*Ckresh*
“Ssshh.. Fuuuh..”
Haleluyeah.
Lo terbangun di kampus, terbangun di jalanan, terbangun di kamar lo sendiri, terbangun di tempat kerja. Kehilangan jam, kehilangan waktu. Ini hidup lo yang bisa berakhir di menit berikutnya. Jika lo terbangun di tempat yang berbeda, waktu yang berbeda, bisakah lo terbangun sebagai orang yang berbeda?
Mulut gue hanya berasa asap, sampai gue merasa jenuh ngerokok. Tau nggak rasanya? Yeah, gue tercerahkan. Memotivasi diri sendiri itu hanya masturbasi, penghancuran diri? Katakanlah, itu hal yang lebih gue butuhkan. Karena buat gue, hanya setelah sebuah penghancuran, gue baru bisa terlahir kembali. Gue disini, di kamar paling depan, dimana gue masih bisa mendengar RX King menderu memecut telinga gue dengan desibelnya yang tinggi, di depan komputer, tersadar dari sebuah kekosongan yang dipaksakan. Gue tersenyum, melihat remah-remah tubuh yang sedang berusaha gue pungut, disatukan kembali ke tubuh. Sebagai proses reinkarnasi mini yang gue lakukan.
Gue baru aja berbicara dengan seorang teman, panjang lebar. Bukan teman lama, tapi juga bukan teman yang baru aja gue kenal. Bahkan gue hanya mendengar suaranya tanpa tau wujud fisiknya. Apa itu temen gue? Haha, bertanyalah, tapi yeah, gue berani bilang kalau dia itu teman gue. Blah. Gue bener-bener tercerahkan. Obrolan singkat namun panjang ini memberikan banyak sudut pandang baru, kayak, apa yang gue dapetin dari ngobrol dengan seorang asing, tapi bukan, gue kenal dia secara parsial walau tidak total.
Nada meninggi, kadang tertawa, kadang serius dilipat tiga, kadang mengais tanah untuk mencari sebuah jawaban atas pertanyaan entah darimana. Lo bayangin deh, lo ketemu sama seseorang yang udah lama nggak lo temui, lalu lo cerita hal-hal krusial fatal yang sedang lo alami, dan secara magis, dia bisa menanggapi satu frekuensi begitu aja dengan mudah. Apa yang lo rasain? Mungkin rasa heran luar biasa, mungkin juga rasa kaget nggak percaya, tapi yang gue alami adalah rasa senang nggak ketulung. Nyengir lebar nggak kekira. Karena fakta yang dia bawa, dia punyai, adalah hal yang minimal membuat gue mau nyekek leher sendiri supaya gue percaya. Kayak iblis ketemu nereka. And no, kalau lo mikir kayak penis ketemu vagina, nggak. Walau ide bagus sih.
Percaya nggak percaya, ini bungkus rokok ketiga gue dalam sembilan jam kebelakang tanpa makanan. Rasanya mau muntah. Uek. Gue bolak balik ke kamar mandi untuk memuntahkan cairan kuning yang berfungsi sebagai pencerna makanan. Rasanya pait, rasanya perih, capek muntah bolak-balik. Tapi apa gue terganggu dengan itu, boi? Enggak. Sama sekali nggak. Ini adalah proses yang gue jalanin, destruktivisme dimana gue berusaha mengumpulkan potongan-potongan tubuh gue lagi menjadi satu kesatuan yang utuh untuk mengembalikan gue ke alam sadar. Kembali menjadi baik, kembali menjadi gue yang sempurna tanpa kurang suatu apapun.
Dan siapa dia tadi? Gue nggak tau tuh. Tapi yang pasti, kalau bisa, gue mau meluk dia dengan dekapan erat, walau pasti gue bakal digampar, haha. Gue bilang gue nggak jatuh cinta, tapi apa iya dengan frekuensi bicara terlalu sama itu gue bisa nggak cinta? Ya nggak segitunya sih. Dan kalau ini dianggap sebagai cinta cowok ke perempuan, ya jelas bukan. Karena pada dasarnya gue nggak tau dia itu cowok atau cewek, binatang atau manusia. Metafisik. Please, jangan bilang bencong walau memang entitas yang satu itu juga metafisik. Dia datang di waktu yang tepat, yang pada awalnya gue menganggap dia adalah sebuah halangan, sebuah masalah baru, tapi enggak, dia memberikan sesuatu yang lebih yang bisa diberikan seseorang dalam bentuk fisik ke gue. Sebuah solusi konkrit? Nggak juga. Apalah namanya, yang jelas dia membantu gue dengan begitu sempurnanya.
Wisma, plesetan dari Wisnu versi feminim. Wisma, saduran kasar dari tempat seseorang bernaung sementara di belantara kota yang asing. Wis, dari Wisanggeni yang tegas dalam bersikap. Itu nama yang gue berikan karena dia nggak tau namanya sendiri. Jangan mikir yang aneh-aneh, panggilan sayang katakanlah begitu. Lagipula apa rasanya coba dalam perbincangan luar biasa asik, tapi nggak mengetahui nama masing-masing? Asik aja andaikan hanya ingin dikenal sebagai asing, tapi gue nggak mau. Makanya gue memberinya nama yang dia nggak mau berikan. Pelit.
Dia menyelamatkan gue, membantu proses penghancuran gue agar lebih sempurna, supaya proses reinkarnasi mini yang gue lakukan lebih cepat tercapai. Mungkin dia nggak sadar, toh dia pun menemui gue dengan tujuan lain, menolong temannya, yang jelas bukan gue. Tapi yeap, dia membantu gue secara nggak langsung. Gue tercerahkan. Hal yang gue hadapi belum beres, tapi seakan selesai karena dia. Kesadaran kewarasan kenyataan diberikan pada dia. Dia yang rasional, dia objektif, dia yang logis, dia yang itulah yang membentu gue. Betapa gue nggak bisa berenti nyengir coba waktu ngobrol panjang lebar sama dia via telpon? Dianya aja nggak liat.
Sayangnya, kesempatan gue bertemu dengan dia itu satu banding sejuta, atau mungkin lebih. Frustasi rasanya kalau penyusunan kata yang kita lakukan tadi itu hanya bisa dinikmati lagi dalam tempo waktu yang anomali. Toh juga, dia menghampiri gue ketika keadaan menjadi buruk doang, masa iya ketika gue kepengen ngobrol sama dia harus cari perkara dulu? Ya nggak lah. Intinya menyenangkan, mencerahkan, senang, nggak berenti nyengir. Tapi harus gue hentikan sebelum perbicangan gue dengannya itu akan menjadi adiktif. Hayah.
Diusahakan Wis, lebih baik lagi deh.
Eh? Kebaca orangnya nggak ya?
Subscribe to:
Posts (Atom)