Malam Tumpul
Filed Under (For Remember,letter ) by Pitiful Kuro on Thursday, February 24, 2011
Posted at : 3:11 AM
Hari kedua, empat puluh delapan jam telah lewat semenjak terakhir mata terpejam mutlak. Bukan ingin namun dingin, seperti ular yang menjalar menelusuri perutmu, perlahan melata mendaki ke punggungmu, menapaki pundakmu hingga bersarang di leher, menyerang tengkuk dengan tusukan tumpul namun menyayat bagai sembilu. Kalau kamu tanya apa itu, aku tak tahu. Aku tidur, rasaku bangun, aku terpejam, indraku menajam. Mungkin ini sebatas lindur, luka menahun berbentuk kejam yang enggan hilang sebelum aku terpejam. Badanku lelah menahan rajam, tapi pikiran riuh berontak bagai disiram garam.
Suasana sendu, gemuruh licik terdengar samar namun menggema liar. Itu air, suara aliran air kali tepat di depan tempatku mondok sekitaran dipatiukur. Selalu membuat kangen akan pelukan alam diantara lebat pinus, sadisnya rajahan nyamuk dan gosong parafin tiap kali kuendus. Bukan malam bila tak gelap, dan bukan dosa bila tak lelap, awan menari membentuk pedang air, entah kapan menusuk, namun dinginnya terlanjur meremuk rusuk. Pintu terbuka, agar kamarku tak jadi rumah kaca, karbondioksid mendesak murka menghimpit paru-paru yang tak lagi perjaka, maka kubuka, dingin udara kubayar dengan belaian lembut di sekitar dada.
Malam.
Aku membenci pagi, karena dia melepaskanku dari pelukan malam yang amat kucintai. Malam itu cantik, malam itu erotis, malam itu ironis, kau bedakan nada maka akan memisahkan mana yang romantis dan mana yang tragis, mungkin bukan untuk mereka yang humoris, tapi tidak salah jika sang malam memang memanjakan kami yang kelewat melankolis. Bukan bangga, tapi rasa terima kasih beribu syukur kepada waktu-waktu ini yang terasa sangat manis. Bukan sekedar berkata najis, tapi tentu, kamu membaca dengan tersenyum sinis, hai, para apatis.
Dia akan merangkul mereka yang berbahagia, dengan pesona yang akan membuat sebuah rasa menjadi berlipat harga, merubah senangmu menjadi gembira, mengganti senyummu menjadi tawa, dan dengan jentikkan jari, sayangmu menjelma cinta. Koin itu bersisi dua, kepala dan ekor, memilih enggan atau percaya, ekor malam adalah yang paling buruk rupa. Dia akan meludah kepada mereka yang berduka, mereka yang tak lelap dalam tidurnya berselimut nestapa, memberikan kesendirian luar biasa saat tak ada sahabat menyapa, menghancurkan bendungan paling keras yang melindungi air matamu, dan menarik paksa makhluk liar bernama kesepian hingga buatmu binasa.
Aku memilih yang pertama dan membuang yang kedua, tidak, tidak kubuang, kusimpan disaat genting untuk menghadapimu, bukan kuat, tapi sentuhan lembut di organ metafisik, nada kemayu di telinga berbisik, air mata kupilih daripada menghardik. Konfrontasi fisik kubuang lampau, persetan teriakan lebih baik sengau, jantungku sakit mendengar suaramu yang parau, tawa getirmu yang tertahan tak lagi berkicau. Kepalaku hilang separuh, jangankan memikirkan seekor burung, paruhnya pun hanya berbayang keruh.
Ini kamu.
Bukan dia, atau siapapun yang terlintas dikepalamu. Aku bilang, jangan tegar. Apalah arti sebuah tembok kokoh jika fondasinya lapuk dimakan rayap. Senyummu selebar nil tapi merindukan dekap tanpa pernah ingin kau lepas. Letakkan topeng model apapun yang kamu ingin, dari yang paling hangat hingga yang terdingin, yang tergersang hingga serimbun beringin. Tapi telanjanglah, bagai manusia vitruvian, lelaba humanis sehangat matahari, yang tak hanya memberikan panas, tapi penerangan akan bentuk yang kau tutup lama. Telingaku tak enggan mendengar jerit paling parau, mataku sudi melihat borok paling bernanah, kulitku siap terbakar tingkat empat dan hidungku akan menerima baumu yang paling amis.
Aku percaya dan kamu pun percaya. Nada itu enggan berhenti sekalinya dimainkan, sayang. Berapapun cangkir kopi tidak akan cukup, satu cangkir lebih dari cukup hanya jika ada kamu.
Suasana sendu, gemuruh licik terdengar samar namun menggema liar. Itu air, suara aliran air kali tepat di depan tempatku mondok sekitaran dipatiukur. Selalu membuat kangen akan pelukan alam diantara lebat pinus, sadisnya rajahan nyamuk dan gosong parafin tiap kali kuendus. Bukan malam bila tak gelap, dan bukan dosa bila tak lelap, awan menari membentuk pedang air, entah kapan menusuk, namun dinginnya terlanjur meremuk rusuk. Pintu terbuka, agar kamarku tak jadi rumah kaca, karbondioksid mendesak murka menghimpit paru-paru yang tak lagi perjaka, maka kubuka, dingin udara kubayar dengan belaian lembut di sekitar dada.
Malam.
Aku membenci pagi, karena dia melepaskanku dari pelukan malam yang amat kucintai. Malam itu cantik, malam itu erotis, malam itu ironis, kau bedakan nada maka akan memisahkan mana yang romantis dan mana yang tragis, mungkin bukan untuk mereka yang humoris, tapi tidak salah jika sang malam memang memanjakan kami yang kelewat melankolis. Bukan bangga, tapi rasa terima kasih beribu syukur kepada waktu-waktu ini yang terasa sangat manis. Bukan sekedar berkata najis, tapi tentu, kamu membaca dengan tersenyum sinis, hai, para apatis.
Dia akan merangkul mereka yang berbahagia, dengan pesona yang akan membuat sebuah rasa menjadi berlipat harga, merubah senangmu menjadi gembira, mengganti senyummu menjadi tawa, dan dengan jentikkan jari, sayangmu menjelma cinta. Koin itu bersisi dua, kepala dan ekor, memilih enggan atau percaya, ekor malam adalah yang paling buruk rupa. Dia akan meludah kepada mereka yang berduka, mereka yang tak lelap dalam tidurnya berselimut nestapa, memberikan kesendirian luar biasa saat tak ada sahabat menyapa, menghancurkan bendungan paling keras yang melindungi air matamu, dan menarik paksa makhluk liar bernama kesepian hingga buatmu binasa.
Aku memilih yang pertama dan membuang yang kedua, tidak, tidak kubuang, kusimpan disaat genting untuk menghadapimu, bukan kuat, tapi sentuhan lembut di organ metafisik, nada kemayu di telinga berbisik, air mata kupilih daripada menghardik. Konfrontasi fisik kubuang lampau, persetan teriakan lebih baik sengau, jantungku sakit mendengar suaramu yang parau, tawa getirmu yang tertahan tak lagi berkicau. Kepalaku hilang separuh, jangankan memikirkan seekor burung, paruhnya pun hanya berbayang keruh.
Ini kamu.
Bukan dia, atau siapapun yang terlintas dikepalamu. Aku bilang, jangan tegar. Apalah arti sebuah tembok kokoh jika fondasinya lapuk dimakan rayap. Senyummu selebar nil tapi merindukan dekap tanpa pernah ingin kau lepas. Letakkan topeng model apapun yang kamu ingin, dari yang paling hangat hingga yang terdingin, yang tergersang hingga serimbun beringin. Tapi telanjanglah, bagai manusia vitruvian, lelaba humanis sehangat matahari, yang tak hanya memberikan panas, tapi penerangan akan bentuk yang kau tutup lama. Telingaku tak enggan mendengar jerit paling parau, mataku sudi melihat borok paling bernanah, kulitku siap terbakar tingkat empat dan hidungku akan menerima baumu yang paling amis.
Aku percaya dan kamu pun percaya. Nada itu enggan berhenti sekalinya dimainkan, sayang. Berapapun cangkir kopi tidak akan cukup, satu cangkir lebih dari cukup hanya jika ada kamu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment