Skinpress Demo Rss

Experiente Patronum

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Monday, February 07, 2011

Posted at : 1:51 PM

Kembali ke tahun 2007, disaat gue masih imut, lucu, dan tentunya berpantat super besar. Darimana gue belajar pada saat itu? Gue nggak punya temen-temen yang mau berbagi ceritanya, gue nggak punya pacar yang punya sesuatu yang bisa diajarkan pada gue, dan hidup yang gue jalani terlalu standar untuk bisa gue tulis—bahkan untuk bahan ketawa sekalipun. Hari-hari gue berjalan sunyi, nggak ada suara apa-apa, konduktor udah mengayun tongkat sampai pegel, tapi tidak brass pun mau berbunyi. Nah, darimana gue belajar tentang hidup? Pengalaman? Experience yang bisa menambah value gue sehingga nggak disebut cuma daging (lebih) berjalan?

Dari buku.

Oh yea, hell-o, kalau ada yang tanya ‘buku apa?’ dan gue akan dengan jumawa bertampang nahan sendawa, bahwa buku yang gue anggap bisa memberikan gue beberapa pelajaran hidup itu adalah buku-buku macem chicken soup. Chicken soup yang itu, yang isinya tangisan sunda 400 halaman penuh. Saat itu gue berpikir, kalau-kalau gue nggak bisa mendapatkan pengalaman langsung dari kulit gue sendiri, gue pikir ngga ada salahnya kalau gue mencari hal metafisik itu dari orang lain, tulisan orang lain. Bukan gue denger langsung dari sumbernya, tapi gue baca. Ngaruh? Er…. Waktu itu, gue berasa ngaruh-ngaruh aja, man, cerita seseorang yang lolos dari kematian, atau mengalami hal yang menakjubkan seperti apa yang ditulis di buku-buku itu, oke, gue beberapa kali tersentuh, beberapa kali juga nangis *d’oh*, gue merasa tercerahkan.

Terus.

Apa? Segimanapun gue tersentuhnya, mau berember-ember air mata gue membasahi bantal, itu tetep bukan gue, bukan pengalaman gue, bukan darah gue yang tumpah, bukan. Itu orang lain. Dan apa akibatnya? Alright, mungkin berpengaruh seminggu pertama, lebih bisa menghargai berbagai macam hal, tapi? Tapi, yeah, lupa. Buku itu gue tutup, apa yang ditulisnya menghilang begitu aja. Inget, kata-katanya mungkin inget, Gede Prama, Mario teguh, syalala lalala, siapapun itu namanya, tapi gue nggak akan inget maknanya, gak ada artinya selain kumpulan kalimat indah yang sempat memenuhi otak sebelah kiri, otak, dan bukan organ lain apalagi organ tak kasat mata, hati. Pret cuh.

Gue sadar kok waktu itu, tapi gue tetep aja memfavoritkan buku-buku macem itu, karena gue nggak tau lagi darimana harus nyari pengalaman. Suatu ketika mungkin jenuh udah kelewat batas toleran, buku-buku macam itu mulai diletakkan di tempat paling dalam lemari buku, nggak bisa begini, gue pikir, hal-hal semacam ini harus terasa di kulit, tidak lewat buku, lewat film, lewat ceramah jumat setengah hati atau apapun yang nggak ada kata ganti orang pertama di dalamnya, saya, aku, gue dan Cubung Hanito.

Kemarin, dia, polisi rokok, si ngambek seduktif, barista paling imut yang pernah gue temuin seumur hidup bilang hal diatas. Memetakan hal yang sebelumnya gue nggak begitu paham walaupun tau maksudnya. “Pengalaman nggak bisa didapat dari quote, chicken soup, or whatsoever, kita yang mengalami, makanya disebut pengalaman.” Kurang lebih sih, detailnya lupa, maklum pikun. Oh yeah, dia bilang dengan muka seriusnya yang bikin gue pengen uwek-uwek pipinya yang tipis, kalau serius malah gemes, hrrrr… guk. Alamilah, dan jadikan itu pengalaman. Nggak bisa lebih setuju lagi. Dan hei, ini pun bentuk pengalaman kan? Kalau gue tetep stick to the books, apa gue bakalan tau suatu saat nanti kalau gue adalah orang yang harus belajar menggunakan kulit sendiri untuk merasakan rasa dunia? Gue rasa nggak . Gue ketemu dia, dan dia memberitahu gue jalan pikirannya yang kebetulan bersilangan dengan jalan pikiran yang gue punya, dan gue tahu, akhirnya. Ha..

0 comment: