Skinpress Demo Rss

Dilemma Dah..

Filed Under () by Pitiful Kuro on Sunday, April 05, 2009

Posted at : 1:41 PM

Beruntun. Hal-hal yang menjadi pikiran gue itu selalu datang kayak gerbong kereta, dalam satu waktu, datengnya sekaligus banyak. Sementara disaat lain, waktu-waktu itu kosong tanpa getar, seperti danau tanpa riak, seperti pohon musim gugur yang tanpa gerakan daun-daun kekuningan diterpa angin, sepi. Persis, gue suka menjalani hidup gue kok. Hanya aja mereka yang ada didalam tanda “kutip” itu selalu datang disaat yang salah. Disaat badan lagi dalam kondisi jelek, mereka malah mengantri seolah tiket pertunjukan akan habis dalam 15 menit. Halloo? Gue bukan Superman, kenapa sih, engga bisa dateng satu-persatu aja? Maka gue mungkin akan bisa menyelesaikan masalah-masalah itu dengan optimal.

Take it or leave it. Sebuah prinsip yang dipakai salah seorang kolega gue dalam hubungan sosialnya. “Bisa ngga lo menerima gue? Ngga bisa? Silahkan pergi, pintunya ada disebelah sana.” Terdengar mudah, dan mungkin sebenarnya memang mudah. Orang dengan prinsip seperti ini mungkin bisa saja menghilangkan hubungan belasan tahun dalam satu malam. Sadis? Tega? Dosa besar karena memutus tali silaturahmi? Please, sekarang gue engga mau pake sudut pandang agama, agama selalu punya judgenya tersendiri, hal yang melenceng sedikit bakalan langsung dicap negatif. Menurut gue sih ngga, itu normal, dan sesungguhnya gue memuja orang dengan pola pikir seperti itu, berani, dan engga plin-plan. Lo ngga suka? Kenapa harus memaksakan diri bertahan di keadaan kritis? Lo koma, sekarat, infus terpasang., dan elo masih berusaha mengembangkan senyum? Hipokrit.

Saat gue mendengar ide itu dari dia, gue hanya bisa mengernyitkan dahi, engga percaya andaikata dia bener-bener mengaplikasikannya ke dalam hidup dia. Well said, selang beberapa waktu, ternyata dia memang demikian, satu-persatu orang-orang yang dia ngga suka akan dimasukan kedalam daftar Black list dia, dan ka-boom, menghilang lah orang tersebut dari hidupnya. Dia ada, tapi ngga ada, terlihat namun tak tampak, terdengar jelas mengaum sunyi, terasa perih tapi otak menafikkan indra perasa. Kelima indra akan tertutup untuk dia seorang. Titik.

Sebenernya mungkin mudah. Bayangin aja, lo akan kehilangan tanpa harus merasa kehilangan. Tanpa beban walaupun lo tau ada orang yang menghilang tepat di bawah hidung lo, tapi kita ngga akan merasakan apapun. Take it or leave it. Mudah saja tuh. Menyenangkan mungkin ya kalau kita bisa mengaplikasikan pola pikir ini didalam hidup?

**

Hal lain. 4 April 2009, itu adalah tanggal yang cukup krusial bagi para manusia yang menduduki bangku pendidikan 3 SMA saat ini. Yeap, pengumuman SIMAK UI periode 2009-2010. Pastinya bakalan lega luar biasa saat anak-anak bau kencur tersebut diterima disana. Gue inget nyaris setahun yang lalu. Gue kelabakan, takut setengah mati akan kemana gue setelah lulus SMA nanti. Gue sempet hampir menerima salah satu undangan dari universitas abal-abal yang memang bakalan dateng ke setiap anak 3 SMA. Sekolah pariwisata, bayangin aja seperti apa gue putus asanya waktu itu sampe-sampe mau daftar ke sekolah pariwisata? Haha.

Tapi untungnya pas wisuda gue ketrima di UIN, via UMB. Itu adalah momen yang bikin kepala gue lebih ringan dua kali dari biasanya, walaupun waktu itu gue engga lolos Psikologi UI, pokoknya saat itu gue lega. Jadi, mungkin gue tau apa yang anak-anak itu rasain saat tau nama mereka masuk ke dalam segelintir orang yang lolos seleksi. Dan sekarang? Bagaimana ketika orang yang sudah mendapatkan Universitas, tapi dia ketrima lagi di Universitas se-bonafide UI? Yang ada bukan lega, tapi malah jadi beban pikiran, grumbles.

Yap, gue ketrima di Sastra Indonesia UI, lagi-lagi Psikologi UI ngga bisa gue raih, takdir kali? Dan sekarang gue kuliah di Psikologi UPI. Dilematis? Harusnya begitu, dan memang itu yang gue rasain sekarang. Psikologi Vs Sastra Indonesia. Itu adalah dua bidang yang bisa dibilang ngga punya kaitan secara nyata. Yang menjadi pertimbangan gue untuk pindah, ya jelas, Universitas Indonesia, lingkuangan yang membuat gue ngiler saat pertama kali datang kesana. Saat itu, gue berkeinginan untuk mengecap pendidikan di tempat tersebut, entah kenapa—tentunya selain karena faktor prestise yang UI berikan. Dan UPI? Sejujurnya ngga ada hal yang spesial yang UPI berikan. Fasilitas biasa, namanya juga biasa, sistem yang ada UPI ini juga bisa dibilang ketinggalan jauh sama-universitas-universitas yang lain. Yang membuat gue tetep stay disini? Waktu dan uang sebenernya bukan masalah (oh ya, itu masalah keluarga gue, haha, bukan gue). Gue selalu punya waktu yang cukup banyak untuk semua hal, kecuali mungkin saat nugas, waktu kok berjalan cepet amat ya? Hee. Orang-orangnya. Untuk manusia macem gue yang susahnya minta mampus membangun sebuah relasi, apa yang udah gue dapet disini mungkin ngga akan gue dapet di tempat lain, gitulah.

Plus? Soal biaya, andaikata gue pindah, udah ada anggota keluarga gue yang pengen banget gue kuliah di UI. Ibu udah ngga perlu keluar biaya lagi, dan dia akan memenuhi semua kebutuhan gue. Eew, tawaran yang dahsyat kan? Menggoda iman, menggetarkan nafsu.

Keinginan? Sastra sama Psikologi. Kedudukan kedua bidang itu sama di kepala gue—ngga, di kepala gue, semua bidang sama, mempunyai kekhususan masing-masing, tinggal manusia yang ngejalaninnya aja yang nentuin, bakalan dapet duit berapa dari kekhususannya itu, haha. Awalnya, gue memberikan statement. “Andaikata gue ketrima nanti, apapun jurusannya, perbandingan gue pindah itu 80-20,” hahaha, nyatanya? Sekarang gue bingung tingkat Hardcore. Semoga waktu memberi jalan deh.

0 comment: