Good Writer
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Wednesday, July 20, 2011
Posted at : 4:28 AM
Kita ini hidup di jaman dimana yang namanya selera itu jadi patokan utama dalam menilai, bahwa segala dorongan subliminal yang lewat pas lo mimpi atau nongkrong di halte nugguin patas AC 134 Jakarta – Depok adalah hal valid dimana lo bisa mengatakan sesuatu hal itu bagus atau jelek. Dengan tipikal penilaian seabsurd itu, masyarakat yang emang doyan bener mengkotak-kotakkan berbagai macam hal ini seolah masih punya standar untuk mengatakan mana yang bagus dan mana yang jelek. Lha.. jadi melebar, biar tulisan ini nggak nyebar kemana-mana, dari awal gue akan bilang, gue mau ngomongin soal good writer.
Sekarang itu jamannya tulisan, bung! Terima kasih pada penetrasi internet kedalam peradaban yang ngebuat mata-mata perjaka dan perawan kita ini terbiasa melihat huruf-huruf dalam jumlah masif, dan terima kasih juga buat para pendiri web-web 2.0 yang ngebuat anak-anak muda di jaman 3gp gampang diakses ini lebih gencar memamerkan dirinya dalam bentuk tulisan. Karena itu semua, penulis-penulis amatir gampang ditemui dimanapun, di tiap sudut info page facebook dengan jargon dot blogspot dot com, wordpress, tumblr dan kawan-kawannya yang kagak sempet nyerang Indonesia, lo bakal nemuin penulis. Bukannya baru ada sekarang, tapi dulu mana bisa kita ngenalin orang sebagai penulis aktif disaat mereka cuma menunjukkan kepenulisan mereka hanya pra tidur malem dengan paragraf awal berbunyi “dear diary”?
Dari jutaan orang yang mengisi hari-hari mereka dengan tulisan itu, mungkin hanya setengahnya yang menulis dengan sistematis, dari yang sistematis ini, mungkin hanya tigaperempatnya yang tulisannya enak dibaca, dari yang tulisannya enak dibaca ini, mungkin hanya sepersepuluhnya yang diakui sama masyarakat sebagai good writer. Kemungkinan mereka nelorin karya dalam bentuk buku, punya blog dengan ribuan pembaca mampir tiap harinya, atau mungkin cuman nyimpen file-file docnya sampe membusuk di drive :D/curhatan-perasaanku.
Selera orang bisa sama, sampai muncul yang dinamakan buku bestseller. Tapi tetep, orang-orang punya seleranya sendiri-sendiri yang spesifik. Buku-buku pop itu mungkin hasil dari selera jutaan orang yang emang kebetulan sejenis. Misal aja, orang yang demen tulisan surrealisnya Haruki Murakami juga suka sama tulisan suspense actionnya Tom Clancy, sementara orang yang fanatik sama kerjaan menye-menye Alexandre Dumas Jr. Juga bisa aja kan suka sama karyanya Tom Clancy? Nah, persilangan ini yang menyebabkan adanya karya-karya yang dikategorikan pop, nominasi yang kagak jarang masuk jajaran best seller. Lalu, tiap-tiap pilihan ini pula yang menjadikan selera seseorang yang spesifik judgmental mengatakan bahwa penulis tertentu adalah seorang good writer.
Gue nggak membahas genre, gue juga nggak membahas writer tertentu walaupun gue emang doyan banget muja-muji penulis favorit gue, tapi yang gue berusaha sempitkan disini ya tentu tulisannya, isinya. Tulisan bagus nggak harus berasal dari genre karya seni artistik-indah-menawan bagai ukiran patung Aphrodite, juga nggak harus dari aliran pop mainstream—walaupun tulisan-tulisan yang dikenal khalayak rame emang rata-rata udah mau susah-susah mikirin detail sampai keliatan bagus. Man, duit terlibat disini, masa iya lo mau ngecewain pembaca yang udah nguarin duit centiaw buat baca tulisan anak teka?
Buat gue, good writer itu bisa ditemui dimanapun, makanya, ketika gue bertemu dengan kenalan baru, pertanyaan kedua gue setelah “lo kerja dimana?” adalah, “lo punya blog gak?” lupakan nomer hape, kalau cowok ya gue males sms mesra ‘ud mu’um byumph?’ dan kalau cewek pun juga gue udah punya pacar yang manisnya amit-amit. Siapa yang tau? Bisa aja redneck asshole yang gue temui di Cikampek adalah blogger famous dengan puluhan ribu subscriber. Misal aja, gue nemu blog Valiant Budi dulu, jaman-jaman Joker belom keluar, pas gue lagi browsing ‘emo gaul’ di google. Maksud gue, dengan keyword segoblok itu gue bisa nemuin penulis bagus.
Mereka bisa aja blogger yang nulis daily rant tentang perkuliahannya, atau mungkin reviewer restoran keliling, atau bisa pula penulis artikel kantoran, mungkin reviewer film, tester game, desainer grafis yang doyan nulis jurnal pengerjaan karyanya, tukang bakso yang nyeritain pelanggan-pelanggannya. Kemungkinannya nggak terbatas, good adalah good, baik buat elo, ataupun buat masyarakat secara keseluruhan.
Setau gue, nggak ada ketentuan khusus untuk menjadi penulis yang baik. Ketika lo membawa kamus EYD bahkan ke WC pun, belum tentu lo bisa menulis sebuah artikel dengan apik, atau menyusun kalimat dengan padu. Angin pepatah berhembus, katanya, penulis yang baik adalah pembaca yang baik, tapi percaya sama gue, itu nggak valid. Sebagai bahan tulisan, buku bacaan mungkin membantu, tapi sumber bukan hanya dari mata, semua indra bisa sama-sama kerja, ngolah diotak dan diproses menjadi memori yang siap lo pake kapanpun untuk lo tuang kedalam tulisan. Masa sih, ketika lo berpergian ke tempat-tempat apik, lo nggak bisa menuliskan satu-dua kalimat berdasarkan pengalaman lo itu?
Pengalaman apa aja yang lo udah dapet, dan jam terbang nulis—mengingat menulis bisa dikategorikan sebagai soft skill—adalah hal yang lebih gue percaya yang menentukan seseorang bisa disebut sebagai penulis yang baik. Terlebih, dua hal itu metafisik, limitless, nggak bisa diukur, jadi? Apa ketentuannya? Dunno.
Sesuatu yang dipaksakan bagus mempunyai resiko untuk menjadi hampa, maka, gue menemukan fakta bahwa penulis yang bagus nggak harus mempunyai tata bahasa terstruktur rapih berpatok pada EYD dan susunan kalimat yang terstandarisasi. Yah, yang satu ini jelas poin yang relatif, ini kesukaan gue, dan kenapa gue bisa bilang begitu? Karena gue udah menemukan penulis paling badass sejauh gue pernah membaca hasil kerajinan intelektual manusia yang kita namakan tulisan ini. Dan dia adalah Zombem, reviewer horor movies di www.hisheroisdemon.wordpress.com. Tulisannya minim EYD walau pake istilah-istilah rumit, susunan kalimatnya nggak jarang berantakan, tapi satu hal yang pasti, buat gue, dia penulis keren.
Pertama liat, dia jadi kontributor di salah satu blog horor paling paten berjudul www.horrorsekarepdewek.blogspot.com, sampe akhirnya dia buat blog sendiri untuk menuhin hasrat nulisnya yang rada-rada. Dia bisa ngebuat tulisan panjang 2000 words cuman buat review satu pelem, dan hebatnya, gue sama sekali nggak bosen baca tulisan sepanjang itu, yang ada malah celengar-celengir inosen kagum sama gaya pembawaannya yang komunikatif sama pembacanya. Nah kan, tadi diawal gue bilang ga ada puja-puji, sekarang apaan nih?
Contoh laen, temen gue sendiri dah, Luthfi Fauzie di www.garibinaction.blogspot.com, tulisannya kagak sistematis, tapi pilihan katanya menarik, idenya luar biasa seger, dan selalu ada twist yang kampret ketika lo baca tulisannya. Sayangnya, poin kagak sistematisnya itu bikin dia juga punya jadwal kagak terstruktur buat ngisi blognya. Nulis woi, ganteng!
Kalo lo buka link diatas, mungkin lo cuman bisa nyerengit sama naekin alis, karena balik ke poin awal, kata good di dunia ini nggak akan pernah mencapai satu kesepakatan kalau dari awal bekgron selera udah beda, kecuali kalo ngomongin @tifsembiring itu lagi berusaha untuk jadi asshole paling beken di jaman iPad udah dipegang ama anak masih meler ingus, ya pasti kita setuju semua. Percuma lo bilang selera orang kampungan, tulisan Radityadika sampah, kerjaannya J.R.R Tolkien itu delusional, atau tulisannya @Vabyo itu fake. Masalahnya cuman satu, masbro, tulisan mereka itu bukan buat lo, apa yang mereka kerjain kagak masuk ke selera lo, maka ketika lo baca, jelas lo nggak akan menemukan sesuatu hal yang menarik disana. Kalo sampe bilang salah satu genre, selerais tertentu itu kampring, keterlaluan namanya.
Akhir kata, mari kite mulai tanya cewek cakeps depan kite alamat blognye. Walau.. kagak rekomen sih, karena ketika gue buka blog cewek-cewek ini, isinye yaa.. ngebuat gue bilang..
Run for your life, bung.
Amen.
Sekarang itu jamannya tulisan, bung! Terima kasih pada penetrasi internet kedalam peradaban yang ngebuat mata-mata perjaka dan perawan kita ini terbiasa melihat huruf-huruf dalam jumlah masif, dan terima kasih juga buat para pendiri web-web 2.0 yang ngebuat anak-anak muda di jaman 3gp gampang diakses ini lebih gencar memamerkan dirinya dalam bentuk tulisan. Karena itu semua, penulis-penulis amatir gampang ditemui dimanapun, di tiap sudut info page facebook dengan jargon dot blogspot dot com, wordpress, tumblr dan kawan-kawannya yang kagak sempet nyerang Indonesia, lo bakal nemuin penulis. Bukannya baru ada sekarang, tapi dulu mana bisa kita ngenalin orang sebagai penulis aktif disaat mereka cuma menunjukkan kepenulisan mereka hanya pra tidur malem dengan paragraf awal berbunyi “dear diary”?
Dari jutaan orang yang mengisi hari-hari mereka dengan tulisan itu, mungkin hanya setengahnya yang menulis dengan sistematis, dari yang sistematis ini, mungkin hanya tigaperempatnya yang tulisannya enak dibaca, dari yang tulisannya enak dibaca ini, mungkin hanya sepersepuluhnya yang diakui sama masyarakat sebagai good writer. Kemungkinan mereka nelorin karya dalam bentuk buku, punya blog dengan ribuan pembaca mampir tiap harinya, atau mungkin cuman nyimpen file-file docnya sampe membusuk di drive :D/curhatan-perasaanku.
Selera orang bisa sama, sampai muncul yang dinamakan buku bestseller. Tapi tetep, orang-orang punya seleranya sendiri-sendiri yang spesifik. Buku-buku pop itu mungkin hasil dari selera jutaan orang yang emang kebetulan sejenis. Misal aja, orang yang demen tulisan surrealisnya Haruki Murakami juga suka sama tulisan suspense actionnya Tom Clancy, sementara orang yang fanatik sama kerjaan menye-menye Alexandre Dumas Jr. Juga bisa aja kan suka sama karyanya Tom Clancy? Nah, persilangan ini yang menyebabkan adanya karya-karya yang dikategorikan pop, nominasi yang kagak jarang masuk jajaran best seller. Lalu, tiap-tiap pilihan ini pula yang menjadikan selera seseorang yang spesifik judgmental mengatakan bahwa penulis tertentu adalah seorang good writer.
Gue nggak membahas genre, gue juga nggak membahas writer tertentu walaupun gue emang doyan banget muja-muji penulis favorit gue, tapi yang gue berusaha sempitkan disini ya tentu tulisannya, isinya. Tulisan bagus nggak harus berasal dari genre karya seni artistik-indah-menawan bagai ukiran patung Aphrodite, juga nggak harus dari aliran pop mainstream—walaupun tulisan-tulisan yang dikenal khalayak rame emang rata-rata udah mau susah-susah mikirin detail sampai keliatan bagus. Man, duit terlibat disini, masa iya lo mau ngecewain pembaca yang udah nguarin duit centiaw buat baca tulisan anak teka?
Buat gue, good writer itu bisa ditemui dimanapun, makanya, ketika gue bertemu dengan kenalan baru, pertanyaan kedua gue setelah “lo kerja dimana?” adalah, “lo punya blog gak?” lupakan nomer hape, kalau cowok ya gue males sms mesra ‘ud mu’um byumph?’ dan kalau cewek pun juga gue udah punya pacar yang manisnya amit-amit. Siapa yang tau? Bisa aja redneck asshole yang gue temui di Cikampek adalah blogger famous dengan puluhan ribu subscriber. Misal aja, gue nemu blog Valiant Budi dulu, jaman-jaman Joker belom keluar, pas gue lagi browsing ‘emo gaul’ di google. Maksud gue, dengan keyword segoblok itu gue bisa nemuin penulis bagus.
Mereka bisa aja blogger yang nulis daily rant tentang perkuliahannya, atau mungkin reviewer restoran keliling, atau bisa pula penulis artikel kantoran, mungkin reviewer film, tester game, desainer grafis yang doyan nulis jurnal pengerjaan karyanya, tukang bakso yang nyeritain pelanggan-pelanggannya. Kemungkinannya nggak terbatas, good adalah good, baik buat elo, ataupun buat masyarakat secara keseluruhan.
Setau gue, nggak ada ketentuan khusus untuk menjadi penulis yang baik. Ketika lo membawa kamus EYD bahkan ke WC pun, belum tentu lo bisa menulis sebuah artikel dengan apik, atau menyusun kalimat dengan padu. Angin pepatah berhembus, katanya, penulis yang baik adalah pembaca yang baik, tapi percaya sama gue, itu nggak valid. Sebagai bahan tulisan, buku bacaan mungkin membantu, tapi sumber bukan hanya dari mata, semua indra bisa sama-sama kerja, ngolah diotak dan diproses menjadi memori yang siap lo pake kapanpun untuk lo tuang kedalam tulisan. Masa sih, ketika lo berpergian ke tempat-tempat apik, lo nggak bisa menuliskan satu-dua kalimat berdasarkan pengalaman lo itu?
Pengalaman apa aja yang lo udah dapet, dan jam terbang nulis—mengingat menulis bisa dikategorikan sebagai soft skill—adalah hal yang lebih gue percaya yang menentukan seseorang bisa disebut sebagai penulis yang baik. Terlebih, dua hal itu metafisik, limitless, nggak bisa diukur, jadi? Apa ketentuannya? Dunno.
Sesuatu yang dipaksakan bagus mempunyai resiko untuk menjadi hampa, maka, gue menemukan fakta bahwa penulis yang bagus nggak harus mempunyai tata bahasa terstruktur rapih berpatok pada EYD dan susunan kalimat yang terstandarisasi. Yah, yang satu ini jelas poin yang relatif, ini kesukaan gue, dan kenapa gue bisa bilang begitu? Karena gue udah menemukan penulis paling badass sejauh gue pernah membaca hasil kerajinan intelektual manusia yang kita namakan tulisan ini. Dan dia adalah Zombem, reviewer horor movies di www.hisheroisdemon.wordpress.com. Tulisannya minim EYD walau pake istilah-istilah rumit, susunan kalimatnya nggak jarang berantakan, tapi satu hal yang pasti, buat gue, dia penulis keren.
Pertama liat, dia jadi kontributor di salah satu blog horor paling paten berjudul www.horrorsekarepdewek.blogspot.com, sampe akhirnya dia buat blog sendiri untuk menuhin hasrat nulisnya yang rada-rada. Dia bisa ngebuat tulisan panjang 2000 words cuman buat review satu pelem, dan hebatnya, gue sama sekali nggak bosen baca tulisan sepanjang itu, yang ada malah celengar-celengir inosen kagum sama gaya pembawaannya yang komunikatif sama pembacanya. Nah kan, tadi diawal gue bilang ga ada puja-puji, sekarang apaan nih?
Contoh laen, temen gue sendiri dah, Luthfi Fauzie di www.garibinaction.blogspot.com, tulisannya kagak sistematis, tapi pilihan katanya menarik, idenya luar biasa seger, dan selalu ada twist yang kampret ketika lo baca tulisannya. Sayangnya, poin kagak sistematisnya itu bikin dia juga punya jadwal kagak terstruktur buat ngisi blognya. Nulis woi, ganteng!
Kalo lo buka link diatas, mungkin lo cuman bisa nyerengit sama naekin alis, karena balik ke poin awal, kata good di dunia ini nggak akan pernah mencapai satu kesepakatan kalau dari awal bekgron selera udah beda, kecuali kalo ngomongin @tifsembiring itu lagi berusaha untuk jadi asshole paling beken di jaman iPad udah dipegang ama anak masih meler ingus, ya pasti kita setuju semua. Percuma lo bilang selera orang kampungan, tulisan Radityadika sampah, kerjaannya J.R.R Tolkien itu delusional, atau tulisannya @Vabyo itu fake. Masalahnya cuman satu, masbro, tulisan mereka itu bukan buat lo, apa yang mereka kerjain kagak masuk ke selera lo, maka ketika lo baca, jelas lo nggak akan menemukan sesuatu hal yang menarik disana. Kalo sampe bilang salah satu genre, selerais tertentu itu kampring, keterlaluan namanya.
Akhir kata, mari kite mulai tanya cewek cakeps depan kite alamat blognye. Walau.. kagak rekomen sih, karena ketika gue buka blog cewek-cewek ini, isinye yaa.. ngebuat gue bilang..
Run for your life, bung.
Amen.
Can’t sleep. Yah, bukan berita baru emang, tapi kali ini agak sedikit heboh. Mengurut kabel ke dua tahun lalu, sehabis gue tipes dan bedrest beberapa hari dirumah, gue kena serangan di perut, pokoknya sakit, dan gue guling-gulingan sampe pagi. Nah, baru aja gue kena lagi yang sakitnya mirip—toh gue juga abis tipes lagi kemaren, mungkin emang simptomnya begitu? Saking sakitnya gue sampe ngelakuin hal-hal ridikulus kayak minum aer yang masih ngebul, nenggak jahe instan tiga gelas, dan pada akhirnya, gue memaksakan untuk muntah. Bukan muntah uek, tapi emang disengajain muntah, sukurnya, rasa sakitnya berkurang setelah muntah kepaksa itu, amen. Lalu, mumpung mata udah melek jelas begini, mubazir kalo nggak dipake di depan kompi untuk menuliskan satu dua hal. Apaan?
Auk.
Auk.
Guilty Pleasure, atau Pleasureable?
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Friday, July 15, 2011
Posted at : 5:16 PM
Pernah nggak, lo pergi ke bioskop, padahal lo sadar, semua film yang diputer disana itu kelas kancut—atau, hanya ada film-film yang diluar selera pahatan Yunani elo, tapi lo tetep dateng, beli karcis dan naro pantat di kursi bioskop, nyiapin otak buat ngomentarin tiap scene yang bakal muncul, lo maki, tapi tetep di tonton sampe abis, dan ada perasaan lega pas lo keluar dari teater?
Jelek, tapi berusaha paksa nikmatin.
Nggak cuma berlaku di film, tapi di semua hal. Hal-hal yang secara sadar lo tolak mentah-mentah baik secara tindakan dan verbal, tapi ada dorongan di hati kecil lo untuk nyelesain itu. Orang-orang terpelajar menamakan fenomena ini dengan sebutan: Guilty Pleasure. Disadur dari wikipedia, Guilty Pleasure berarti..
Yah, ketakutan semacam itu, ketakutan saat temen-temen lo tau kalo lo tiap malem minggu nonton Doujinshi Dead or Alive soft porn dengan boobs bertebaran dimana-mana, dan mereka menaikan alisnya lalu bilang “freak”. Atau, kepergok saat lo ngedengerin dangdut koplo di iPod, sementara lima menit lalu lo baru aja ngomentarin collector’s item-nya Grace Kelly yang baru rilis, atau ngelikes page Lady Antabellum di facebook. Absurd, tapi itulah yang kejadian, persis saat gue bete running di bioskop nonton Avatar, terus gue sambung sama 18+nya yang dipertuan Nayato Fio Nuala. Nggak, kuping gue nggak berdarah nonton itu, malah, gue menikmatinya, ngetawain tiap scene yang overgelap dan ujan yang kagak pernah berenti, gue menikmati itu semua.
Semacem, gatel di dada yang nggak bisa ilang dengan lo garuk.
Tapi masalahnya, guilty pleasure itu sebenernya apa sih? Kalau seorang produser rela ngeluarin budget jutaan dollar untuk bikin film tentang cewek-cewek setengah mutan nebasin mafia berjas item, apa mereka bikin itu cuman buat konsumsi selevel “ini nih pelem yang bisa gue maki-maki”? gue rasa nggak. Mereka bikin yang semacem itu ya karena mereka tau, jutaan dollar yang mereka keluarin kagak berakhir sebatas makian, tapi karena ada beberapa orang yang tersegmentasi untuk nikmatin semua itu, dan kalau gue bilang nikmatin, ada aja orang yang nikmatin cucu kesayangan ngerawat neneknya yang udah jadi Zombie.
Tapi itu gue, orang yang capek maksain otak ke titik maksimal cuman buat mikirin Inception itu endingnya sebenernya gimana. Sekarang gue lagi ngomongin orang-orang berselera Holycow, yang mulut sama jempolnya kagak bisa diem ngeliat film yang bercerita tentang asimilasi spesies untuk ngebikin spesies baru yang kagak jelas. Yang mungkin capek-capek ngapdet status twitternya di suatu malem dengan ‘re-run Shawnshank Redemption for the xxx times’.
Mereka menganggap Guilty Pleasure itu eksis, nyata, saat mereka menonton Jaka Sembung yang tayang ulang di TPI, mereka doyan, tapi menolak untuk suka. Apa itu yang namanya guilty pleasure? Gimana kalau ternyata, guilty pleasure itu hanya fenomena bias yang sebenernya nggak ada? Guilty pleasure itu cuman sebatas dinding pemisah antara mana yang lo doyan, dan mana yang tujuannya untuk pencitraan? Lo nggak bisa bilang ke gebetan lo kalo lo demen Guinea Pig, tapi lo bisa bekoar-koar ketika franchise Saw yang ke 173 mau rilis di bioskop dan ngajak kecengan lo nonton. Bedanya apa sih? Sama-sama nunjukin gore dalam bentuk eksplisit, cuman, yang satu kelas eksekutif, satunya kelas ekonomi. Lo takut dianggap punya selera kampring, makanya, ada yang namanya guilty pleasure.
Karena, men. Lo itu cuman manusia yang mau dipaksain kayak apaan juga, ga bakal punya sesuatu yang perfek, kasusnya disini, selera. Mau itu musik, film, makanan, atau fashion. Cewek-cewek boleh pamer baju bermerek yang spellingnya aja gue gak tau ke mall, tapi kalo dirumah, paling pake daster 20 rebuan. Apa itu namanya guilty pleasure? Kagak kan. Emang enak, mau diapain?
Gua bilang, jangan pura-pura. Dikira kagak capek nonton pilem item putih 12 orang labil yang debat kusir? Santai aje dah, sejelek apapun selera yang lo punya, lo masih punya kaum-kaum tersegmentasi yang senantiasa mendorong pantat lo keluar dari lobang kesuraman. Dan jangan pesimis, gue bilang sejelek apapun, ya berarti sejelek apapun itu.. pasti ada.
Jelek, tapi berusaha paksa nikmatin.
Nggak cuma berlaku di film, tapi di semua hal. Hal-hal yang secara sadar lo tolak mentah-mentah baik secara tindakan dan verbal, tapi ada dorongan di hati kecil lo untuk nyelesain itu. Orang-orang terpelajar menamakan fenomena ini dengan sebutan: Guilty Pleasure. Disadur dari wikipedia, Guilty Pleasure berarti..
Something one enjoys and considers pleasurable despite feeling guilt for enjoying it. The "guilt" involved is sometimes simply fear of others discovering one's lowbrow or otherwise embarrassing tastes. Fashion, video games, music, movies, and junk food can be examples of guilty pleasures.
Yah, ketakutan semacam itu, ketakutan saat temen-temen lo tau kalo lo tiap malem minggu nonton Doujinshi Dead or Alive soft porn dengan boobs bertebaran dimana-mana, dan mereka menaikan alisnya lalu bilang “freak”. Atau, kepergok saat lo ngedengerin dangdut koplo di iPod, sementara lima menit lalu lo baru aja ngomentarin collector’s item-nya Grace Kelly yang baru rilis, atau ngelikes page Lady Antabellum di facebook. Absurd, tapi itulah yang kejadian, persis saat gue bete running di bioskop nonton Avatar, terus gue sambung sama 18+nya yang dipertuan Nayato Fio Nuala. Nggak, kuping gue nggak berdarah nonton itu, malah, gue menikmatinya, ngetawain tiap scene yang overgelap dan ujan yang kagak pernah berenti, gue menikmati itu semua.
Semacem, gatel di dada yang nggak bisa ilang dengan lo garuk.
Tapi masalahnya, guilty pleasure itu sebenernya apa sih? Kalau seorang produser rela ngeluarin budget jutaan dollar untuk bikin film tentang cewek-cewek setengah mutan nebasin mafia berjas item, apa mereka bikin itu cuman buat konsumsi selevel “ini nih pelem yang bisa gue maki-maki”? gue rasa nggak. Mereka bikin yang semacem itu ya karena mereka tau, jutaan dollar yang mereka keluarin kagak berakhir sebatas makian, tapi karena ada beberapa orang yang tersegmentasi untuk nikmatin semua itu, dan kalau gue bilang nikmatin, ada aja orang yang nikmatin cucu kesayangan ngerawat neneknya yang udah jadi Zombie.
Tapi itu gue, orang yang capek maksain otak ke titik maksimal cuman buat mikirin Inception itu endingnya sebenernya gimana. Sekarang gue lagi ngomongin orang-orang berselera Holycow, yang mulut sama jempolnya kagak bisa diem ngeliat film yang bercerita tentang asimilasi spesies untuk ngebikin spesies baru yang kagak jelas. Yang mungkin capek-capek ngapdet status twitternya di suatu malem dengan ‘re-run Shawnshank Redemption for the xxx times’.
Mereka menganggap Guilty Pleasure itu eksis, nyata, saat mereka menonton Jaka Sembung yang tayang ulang di TPI, mereka doyan, tapi menolak untuk suka. Apa itu yang namanya guilty pleasure? Gimana kalau ternyata, guilty pleasure itu hanya fenomena bias yang sebenernya nggak ada? Guilty pleasure itu cuman sebatas dinding pemisah antara mana yang lo doyan, dan mana yang tujuannya untuk pencitraan? Lo nggak bisa bilang ke gebetan lo kalo lo demen Guinea Pig, tapi lo bisa bekoar-koar ketika franchise Saw yang ke 173 mau rilis di bioskop dan ngajak kecengan lo nonton. Bedanya apa sih? Sama-sama nunjukin gore dalam bentuk eksplisit, cuman, yang satu kelas eksekutif, satunya kelas ekonomi. Lo takut dianggap punya selera kampring, makanya, ada yang namanya guilty pleasure.
Karena lo nggak pengen kecengan lo bermuka begini.
Karena, men. Lo itu cuman manusia yang mau dipaksain kayak apaan juga, ga bakal punya sesuatu yang perfek, kasusnya disini, selera. Mau itu musik, film, makanan, atau fashion. Cewek-cewek boleh pamer baju bermerek yang spellingnya aja gue gak tau ke mall, tapi kalo dirumah, paling pake daster 20 rebuan. Apa itu namanya guilty pleasure? Kagak kan. Emang enak, mau diapain?
Gua bilang, jangan pura-pura. Dikira kagak capek nonton pilem item putih 12 orang labil yang debat kusir? Santai aje dah, sejelek apapun selera yang lo punya, lo masih punya kaum-kaum tersegmentasi yang senantiasa mendorong pantat lo keluar dari lobang kesuraman. Dan jangan pesimis, gue bilang sejelek apapun, ya berarti sejelek apapun itu.. pasti ada.
Fast update.
Kosan sempet kebakaran, monitor meledug karena sistem kelistrikan yang DC, hahah. Semua kabel-kabel dan barang-barang yang ditaro deket monitor hancur lebur, tembok kosan juga jadi sehitam jelaga. Tapi syukurnya udah ada jalan keluar. Kamar kosan udah dicat, barang-barang rusak udah ada gantinya, kamar sementara pun ada, bahkan, sekarang gue di hibahin Notebook. Ameen.
Terus, karena pecutan bertubi-tubi di daging dan kulit, akhirnya gue tumbang, terkena tipes dan Demam berdarah sekaligus. Tapi sayangnya, penyakit ini nggak lama bersarang di badan. Nggak kayak dua tahun lalu, sekarang gue punya pacar yang bawelnya ngalahin emaknya Merlin, jadinya, sakit gue ketauan dengan gampangnya. Ya kalo dulu, tiga minggu terkapar di kosan juga pada cuwek-cuwek aja, hahaha. Udah dirawat, enam hari, sekarang udah pulang, di Jakarta, Bedrest dari pagi sampe pagi lagi. Rasanya punggung gue kalo bisa jerit, udah tereak opera kali, pegel cuk.
Apalagi? Udah ah.
Kosan sempet kebakaran, monitor meledug karena sistem kelistrikan yang DC, hahah. Semua kabel-kabel dan barang-barang yang ditaro deket monitor hancur lebur, tembok kosan juga jadi sehitam jelaga. Tapi syukurnya udah ada jalan keluar. Kamar kosan udah dicat, barang-barang rusak udah ada gantinya, kamar sementara pun ada, bahkan, sekarang gue di hibahin Notebook. Ameen.
Terus, karena pecutan bertubi-tubi di daging dan kulit, akhirnya gue tumbang, terkena tipes dan Demam berdarah sekaligus. Tapi sayangnya, penyakit ini nggak lama bersarang di badan. Nggak kayak dua tahun lalu, sekarang gue punya pacar yang bawelnya ngalahin emaknya Merlin, jadinya, sakit gue ketauan dengan gampangnya. Ya kalo dulu, tiga minggu terkapar di kosan juga pada cuwek-cuwek aja, hahaha. Udah dirawat, enam hari, sekarang udah pulang, di Jakarta, Bedrest dari pagi sampe pagi lagi. Rasanya punggung gue kalo bisa jerit, udah tereak opera kali, pegel cuk.
Apalagi? Udah ah.
Tiga tahun, tepat 1095 hari setelah hari kepergianmu, hari dimana engkau menghembuskan nafas busamu untuk terakhir kalinya, kali terakhir mata bulat indahmu menatap dunia dengan kepolosan yang tak dibuat-buat. Tiga tahun. Tiga tahun pula bayang-bayangmu tak pernah lepas dari kepalaku, senyummu yang manis merekah, tawamu yang ceria—seolah-olah dunia pun ikut tertawa bersamamu, gerak tubuhmu yang gemulai, tutur katamu yang sehalus sutra India, semuanya, tanpa cela, tanpa jeda, mengisi hari-hariku selama tiga tahun, setelah kepergianmu.
Tiga tahun pula aku sendiri, sesuai janjiku padamu di akhir nyawamu meregang, tidak ada wanita lain, cukup tiga tahun. Tidak sulit, sayangku, mengingat kenangan yang telah kau berikan padaku, yang begitu indahnya sampai berarti hidup itu sendiri bagiku. Tiga tahun itu singkat. Bahkan terlalu pendek. Janjiku padamu kutepati, bahkan mungkin akan kutambah sesuai selera. Karena kamu, sayangku, begitu meninggalkan arti dalam hidupku. Kamu adalah aku, hidupku, bagian jiwaku yang tak mungkin bisa kulepas.
Aku berada di pintu masuk pemakaman, merokok, dengan khidmat, kegiatan yang akan bernilai ratusan kali lipat jika kau ada di sampingku. Melihatku mengeluarkan asap dengan berbagai cara selalu membuatmu terhibur, entah kenapa. Kenapa, sayang? Katamu, aku paling ganteng ketika menjepit sebatang rokok di sela jari telunjuk dan manisku, menghembuskannya perlahan bagaikan cerobong lokomotif yang berjalan lambat. Itu katamu. Sambil tertawa kau ucapkan itu. Ah… stop sayang. Kenangan menyenangkan bersamamu selalu membuat sudut mataku berair. Kuanggap hanya sekedar asap yang menusuk mata, selalu kuanggap begitu, yang padahal bukan. Itu karenamu. Yang memberikan hidupku arti seharga hidup itu sendiri, itu kamu.
Kenapa?
Kenapa, sayang?
Kenapa kau begitu cepat pergi?
Tiga tahun lalu, kau terbaring lemah di rumah sakit, selang-selang infus menggantung ramai diatasmu, menusuk tiap nadi yang mungkin bisa dipompa cairan natrium. Kamu sekarat, kamu tahu, dan aku pun tahu. Tapi kamu tetap tersenyum setiap kali aku datang menjenguk, membawakan buah yang tak bisa kau makan, memberikan buku-buku yang tak bisa kau baca karena tanganmu tak mampu mengangkat. Ya, aku ingat. Setiap kali aku datang, kau menyuruhku membacakan satu bab, satu bab setiap kalinya. Satu. Itu aku sesalkan. Walaupun tenggorokanku kering seperti dicakar saat membaca, aku senang, melihatmu tersenyum, kadang bertampang penasaran, kadang bingung karena pengejaanku yang tidak jelas, aku senang. Tapi.. waktu berkata lain, satu buku pun tak sempat aku selesaikan kubaca. Kamu lebih dulu terpanggil kehadapannya. Kamu tahu sayang? Bab terakhir yang kubacakan padamu penuh bekas noda air mata, air mataku.
Tiga tahun. Sesuai janjimu yang lain, aku tidak akan mengunjungi makammu selama tiga tahun. Aku tak pernah mengerti alasanmu. Katamu, kau tidak ingin aku menangisi kepergianmu tiap tahun, itu terlalu sering. Cukup tiga tahun sekali, katamu. Tapi kau tak tahu, tiap malam, sayang, aku menangisimu, membelai bingkai foto dari kayu hadiahmu untukku, bahkan sampai mengkilap karena usapan tanganku sendiri. Kenapa tiga tahun? Aku tak mengerti, rasa rinduku tak terbendung. Aku ingin sering dekat denganmu, dengan jasadmu dua meter dibawah sana, merasakan kau dekat. Mengapa kau larang? Ya, aku mengerti alasanmu, karenanya, aku mematuhi janjiku padamu. Aku mencintaimu sayang. Kau berarti bagiku, berarti seharga hidup itu sendiri. Kamu, hanya kamu.
Rokok kumatikan, hembusan terakhir yang menodai paru-paruku telah terhembus lepas ke udara. Aku berjalan menuju makammu sekarang, tak pernah kulupa letaknya. Karena, walau kau melarangku untuk datang, aku tetap datang, dari jauh, dari parkiran, dari luar pemakaman, aku melihat nisanmu. Jauh, kangen, rindu, tapi aku punya janji, yang pasti akan kutepati, kuhargai itu. Langkahku perlahan, petak-petak nisan yang tak terhitung banyaknya kulewati tanpa peduli. Tigaribu batu kapur itu tak berarti dibandingkan satu nama yang kutuju. Dan sampai, aku tersenyum. Senyum yang lebar, bergetar nyaris tertawa. Aku membungkuk, bunga Kamelia favoritmu yang kubawa kuletakkan tepat dibawah nisanmu. Tanah merah pekuburanmu kugenggam, erat, getar tanganku menjalar ke tubuh, lalu leher, dan akhirnya pecah. Tangisku.
Kenapa? Kenapa sayang?
Kenapa kau begitu cepat pergi?
Aku begitu.. ah.. bahkan lidahku, lidah batinku tak sanggup merangkai kata akan berartinya keberadaanmu bagiku. Kau tak tahu, entah berapa kali aku mencoba mengakhiri hidupku saja, titik, tanpa koma, dan aku akan bergabung denganmu di alam sana. Naif, memang. Tapi itulah, itulah arti keberadaanmu, keberadaan yang seharga hidup itu sendiri ba—
“Mas.. Mas?”
Aku menengok, seorang lelaki berdiri tepat dibelakangku, kuusap sisa air mata dan kuatur nafas yang sesungukan. Aku berdiri, menghadapnya. Seumuranku, mungkin. Berkemeja rapih necis dan nampak dari kalangan berada. Waw, dia juga membawa bunga kamelia.
“Mas temannya Heny?” dia bertanya.
Aku mengangguk saja, mengatakan ‘pacar’ dalam situasi ini tidaklah bijak menurutku, lagipula..
“Oh.. saya pacar mendiang semasa dia hidup dulu.” Oh, pacarnya..
AP—!!?
Aku gelagapan bukan main. Sesungukanku mendadak hilang, bercanda dia. Mana mungkin, karena akulah pacarnya! Aku senyum meledek.
“Lah, bercanda mas ini, maksudnya mantan? Soalnya saya pacar Henny yang terakhir dulu, sebelum dia meninggal.” Kataku pembelaan.
“Walah, tapi saya pacarnya mas! Beneran! Mas emang tau apa bunga kesukaan Henny?”
Aku pun menunjuk kearah nisan, tempatku meletakkan bunga Kamelia kesukaannya, yang juga ada di pelukan lelaki itu. Apa maksudnya ini? Aku tak mengerti, sayang. Tak ada yang tahu apa bunga kesukaanmu selai aku, bukan? Iya kan? Tiga tahun berlalu, dan tiba-tiba seseorang datang ke hadapanku, di depan makammu yang sakral, mengatakan dia adalah pacarmu.. pacarmu. Pac—
“Maaf, mas-mas ini temannya Henny?”
Aku menengok, satu lagi laki-laki, botak plontos dengan setelan kasual, dan ya, dia membawa bunga Kamelia di sisi tubuhnya yang tegap. Rasanya aku mulai mengerti semuanya, mengerti permainanmu, mengerti segala tingkah busukmu, tingkahmu yang palsu! Senyummu yang artifisial! Tak tahu malu!
“Jangan sebut! Kutebak, kau juga pacarnya Henny?” Kataku sambil melirik pula kepada laki-laki parlente disebelahku.
“Emm.. ya, mas ini siapa ya?”
Hancur. Hatiku luluh lantak. Aku bergegas, pergi dengan tergesa, menjauh dari dua orang entah siapa darimana yang mengatakan bahwa mereka juga kekasih dari kekasihku. Ya, hebat, sayangku. Kau kuanggap hidup, hidup yang seharga hidup itu sendiri bagiku. Tiga tahun! Persetan tiga tahun! Terkutuk dan membusuklah kau di neraka!
“BANGSAT!”
Makian terakhir, dan ia pun berlalu. Kedua orang yang berdiri di depan makam hanya bertatapan, senyum miris berbalut kesedihan. Mereka menatap kearah nissan, meletakkan Kamelia yang masing-masing mereka bawa.
“Selesai, Hen, berterimakasihlah pada kami, dan semoga kau tenang di sana.”
Amin.
Tiga tahun pula aku sendiri, sesuai janjiku padamu di akhir nyawamu meregang, tidak ada wanita lain, cukup tiga tahun. Tidak sulit, sayangku, mengingat kenangan yang telah kau berikan padaku, yang begitu indahnya sampai berarti hidup itu sendiri bagiku. Tiga tahun itu singkat. Bahkan terlalu pendek. Janjiku padamu kutepati, bahkan mungkin akan kutambah sesuai selera. Karena kamu, sayangku, begitu meninggalkan arti dalam hidupku. Kamu adalah aku, hidupku, bagian jiwaku yang tak mungkin bisa kulepas.
Aku berada di pintu masuk pemakaman, merokok, dengan khidmat, kegiatan yang akan bernilai ratusan kali lipat jika kau ada di sampingku. Melihatku mengeluarkan asap dengan berbagai cara selalu membuatmu terhibur, entah kenapa. Kenapa, sayang? Katamu, aku paling ganteng ketika menjepit sebatang rokok di sela jari telunjuk dan manisku, menghembuskannya perlahan bagaikan cerobong lokomotif yang berjalan lambat. Itu katamu. Sambil tertawa kau ucapkan itu. Ah… stop sayang. Kenangan menyenangkan bersamamu selalu membuat sudut mataku berair. Kuanggap hanya sekedar asap yang menusuk mata, selalu kuanggap begitu, yang padahal bukan. Itu karenamu. Yang memberikan hidupku arti seharga hidup itu sendiri, itu kamu.
Kenapa?
Kenapa, sayang?
Kenapa kau begitu cepat pergi?
Tiga tahun lalu, kau terbaring lemah di rumah sakit, selang-selang infus menggantung ramai diatasmu, menusuk tiap nadi yang mungkin bisa dipompa cairan natrium. Kamu sekarat, kamu tahu, dan aku pun tahu. Tapi kamu tetap tersenyum setiap kali aku datang menjenguk, membawakan buah yang tak bisa kau makan, memberikan buku-buku yang tak bisa kau baca karena tanganmu tak mampu mengangkat. Ya, aku ingat. Setiap kali aku datang, kau menyuruhku membacakan satu bab, satu bab setiap kalinya. Satu. Itu aku sesalkan. Walaupun tenggorokanku kering seperti dicakar saat membaca, aku senang, melihatmu tersenyum, kadang bertampang penasaran, kadang bingung karena pengejaanku yang tidak jelas, aku senang. Tapi.. waktu berkata lain, satu buku pun tak sempat aku selesaikan kubaca. Kamu lebih dulu terpanggil kehadapannya. Kamu tahu sayang? Bab terakhir yang kubacakan padamu penuh bekas noda air mata, air mataku.
Tiga tahun. Sesuai janjimu yang lain, aku tidak akan mengunjungi makammu selama tiga tahun. Aku tak pernah mengerti alasanmu. Katamu, kau tidak ingin aku menangisi kepergianmu tiap tahun, itu terlalu sering. Cukup tiga tahun sekali, katamu. Tapi kau tak tahu, tiap malam, sayang, aku menangisimu, membelai bingkai foto dari kayu hadiahmu untukku, bahkan sampai mengkilap karena usapan tanganku sendiri. Kenapa tiga tahun? Aku tak mengerti, rasa rinduku tak terbendung. Aku ingin sering dekat denganmu, dengan jasadmu dua meter dibawah sana, merasakan kau dekat. Mengapa kau larang? Ya, aku mengerti alasanmu, karenanya, aku mematuhi janjiku padamu. Aku mencintaimu sayang. Kau berarti bagiku, berarti seharga hidup itu sendiri. Kamu, hanya kamu.
Rokok kumatikan, hembusan terakhir yang menodai paru-paruku telah terhembus lepas ke udara. Aku berjalan menuju makammu sekarang, tak pernah kulupa letaknya. Karena, walau kau melarangku untuk datang, aku tetap datang, dari jauh, dari parkiran, dari luar pemakaman, aku melihat nisanmu. Jauh, kangen, rindu, tapi aku punya janji, yang pasti akan kutepati, kuhargai itu. Langkahku perlahan, petak-petak nisan yang tak terhitung banyaknya kulewati tanpa peduli. Tigaribu batu kapur itu tak berarti dibandingkan satu nama yang kutuju. Dan sampai, aku tersenyum. Senyum yang lebar, bergetar nyaris tertawa. Aku membungkuk, bunga Kamelia favoritmu yang kubawa kuletakkan tepat dibawah nisanmu. Tanah merah pekuburanmu kugenggam, erat, getar tanganku menjalar ke tubuh, lalu leher, dan akhirnya pecah. Tangisku.
Kenapa? Kenapa sayang?
Kenapa kau begitu cepat pergi?
Aku begitu.. ah.. bahkan lidahku, lidah batinku tak sanggup merangkai kata akan berartinya keberadaanmu bagiku. Kau tak tahu, entah berapa kali aku mencoba mengakhiri hidupku saja, titik, tanpa koma, dan aku akan bergabung denganmu di alam sana. Naif, memang. Tapi itulah, itulah arti keberadaanmu, keberadaan yang seharga hidup itu sendiri ba—
“Mas.. Mas?”
Aku menengok, seorang lelaki berdiri tepat dibelakangku, kuusap sisa air mata dan kuatur nafas yang sesungukan. Aku berdiri, menghadapnya. Seumuranku, mungkin. Berkemeja rapih necis dan nampak dari kalangan berada. Waw, dia juga membawa bunga kamelia.
“Mas temannya Heny?” dia bertanya.
Aku mengangguk saja, mengatakan ‘pacar’ dalam situasi ini tidaklah bijak menurutku, lagipula..
“Oh.. saya pacar mendiang semasa dia hidup dulu.” Oh, pacarnya..
AP—!!?
Aku gelagapan bukan main. Sesungukanku mendadak hilang, bercanda dia. Mana mungkin, karena akulah pacarnya! Aku senyum meledek.
“Lah, bercanda mas ini, maksudnya mantan? Soalnya saya pacar Henny yang terakhir dulu, sebelum dia meninggal.” Kataku pembelaan.
“Walah, tapi saya pacarnya mas! Beneran! Mas emang tau apa bunga kesukaan Henny?”
Aku pun menunjuk kearah nisan, tempatku meletakkan bunga Kamelia kesukaannya, yang juga ada di pelukan lelaki itu. Apa maksudnya ini? Aku tak mengerti, sayang. Tak ada yang tahu apa bunga kesukaanmu selai aku, bukan? Iya kan? Tiga tahun berlalu, dan tiba-tiba seseorang datang ke hadapanku, di depan makammu yang sakral, mengatakan dia adalah pacarmu.. pacarmu. Pac—
“Maaf, mas-mas ini temannya Henny?”
Aku menengok, satu lagi laki-laki, botak plontos dengan setelan kasual, dan ya, dia membawa bunga Kamelia di sisi tubuhnya yang tegap. Rasanya aku mulai mengerti semuanya, mengerti permainanmu, mengerti segala tingkah busukmu, tingkahmu yang palsu! Senyummu yang artifisial! Tak tahu malu!
“Jangan sebut! Kutebak, kau juga pacarnya Henny?” Kataku sambil melirik pula kepada laki-laki parlente disebelahku.
“Emm.. ya, mas ini siapa ya?”
Hancur. Hatiku luluh lantak. Aku bergegas, pergi dengan tergesa, menjauh dari dua orang entah siapa darimana yang mengatakan bahwa mereka juga kekasih dari kekasihku. Ya, hebat, sayangku. Kau kuanggap hidup, hidup yang seharga hidup itu sendiri bagiku. Tiga tahun! Persetan tiga tahun! Terkutuk dan membusuklah kau di neraka!
“BANGSAT!”
Makian terakhir, dan ia pun berlalu. Kedua orang yang berdiri di depan makam hanya bertatapan, senyum miris berbalut kesedihan. Mereka menatap kearah nissan, meletakkan Kamelia yang masing-masing mereka bawa.
“Selesai, Hen, berterimakasihlah pada kami, dan semoga kau tenang di sana.”
Amin.
Subscribe to:
Posts (Atom)