Tiga tahun, tepat 1095 hari setelah hari kepergianmu, hari dimana engkau menghembuskan nafas busamu untuk terakhir kalinya, kali terakhir mata bulat indahmu menatap dunia dengan kepolosan yang tak dibuat-buat. Tiga tahun. Tiga tahun pula bayang-bayangmu tak pernah lepas dari kepalaku, senyummu yang manis merekah, tawamu yang ceria—seolah-olah dunia pun ikut tertawa bersamamu, gerak tubuhmu yang gemulai, tutur katamu yang sehalus sutra India, semuanya, tanpa cela, tanpa jeda, mengisi hari-hariku selama tiga tahun, setelah kepergianmu.
Tiga tahun pula aku sendiri, sesuai janjiku padamu di akhir nyawamu meregang, tidak ada wanita lain, cukup tiga tahun. Tidak sulit, sayangku, mengingat kenangan yang telah kau berikan padaku, yang begitu indahnya sampai berarti hidup itu sendiri bagiku. Tiga tahun itu singkat. Bahkan terlalu pendek. Janjiku padamu kutepati, bahkan mungkin akan kutambah sesuai selera. Karena kamu, sayangku, begitu meninggalkan arti dalam hidupku. Kamu adalah aku, hidupku, bagian jiwaku yang tak mungkin bisa kulepas.
Aku berada di pintu masuk pemakaman, merokok, dengan khidmat, kegiatan yang akan bernilai ratusan kali lipat jika kau ada di sampingku. Melihatku mengeluarkan asap dengan berbagai cara selalu membuatmu terhibur, entah kenapa. Kenapa, sayang? Katamu, aku paling ganteng ketika menjepit sebatang rokok di sela jari telunjuk dan manisku, menghembuskannya perlahan bagaikan cerobong lokomotif yang berjalan lambat. Itu katamu. Sambil tertawa kau ucapkan itu. Ah… stop sayang. Kenangan menyenangkan bersamamu selalu membuat sudut mataku berair. Kuanggap hanya sekedar asap yang menusuk mata, selalu kuanggap begitu, yang padahal bukan. Itu karenamu. Yang memberikan hidupku arti seharga hidup itu sendiri, itu kamu.
Kenapa?
Kenapa, sayang?
Kenapa kau begitu cepat pergi?
Tiga tahun lalu, kau terbaring lemah di rumah sakit, selang-selang infus menggantung ramai diatasmu, menusuk tiap nadi yang mungkin bisa dipompa cairan natrium. Kamu sekarat, kamu tahu, dan aku pun tahu. Tapi kamu tetap tersenyum setiap kali aku datang menjenguk, membawakan buah yang tak bisa kau makan, memberikan buku-buku yang tak bisa kau baca karena tanganmu tak mampu mengangkat. Ya, aku ingat. Setiap kali aku datang, kau menyuruhku membacakan satu bab, satu bab setiap kalinya. Satu. Itu aku sesalkan. Walaupun tenggorokanku kering seperti dicakar saat membaca, aku senang, melihatmu tersenyum, kadang bertampang penasaran, kadang bingung karena pengejaanku yang tidak jelas, aku senang. Tapi.. waktu berkata lain, satu buku pun tak sempat aku selesaikan kubaca. Kamu lebih dulu terpanggil kehadapannya. Kamu tahu sayang? Bab terakhir yang kubacakan padamu penuh bekas noda air mata, air mataku.
Tiga tahun. Sesuai janjimu yang lain, aku tidak akan mengunjungi makammu selama tiga tahun. Aku tak pernah mengerti alasanmu. Katamu, kau tidak ingin aku menangisi kepergianmu tiap tahun, itu terlalu sering. Cukup tiga tahun sekali, katamu. Tapi kau tak tahu, tiap malam, sayang, aku menangisimu, membelai bingkai foto dari kayu hadiahmu untukku, bahkan sampai mengkilap karena usapan tanganku sendiri. Kenapa tiga tahun? Aku tak mengerti, rasa rinduku tak terbendung. Aku ingin sering dekat denganmu, dengan jasadmu dua meter dibawah sana, merasakan kau dekat. Mengapa kau larang? Ya, aku mengerti alasanmu, karenanya, aku mematuhi janjiku padamu. Aku mencintaimu sayang. Kau berarti bagiku, berarti seharga hidup itu sendiri. Kamu, hanya kamu.
Rokok kumatikan, hembusan terakhir yang menodai paru-paruku telah terhembus lepas ke udara. Aku berjalan menuju makammu sekarang, tak pernah kulupa letaknya. Karena, walau kau melarangku untuk datang, aku tetap datang, dari jauh, dari parkiran, dari luar pemakaman, aku melihat nisanmu. Jauh, kangen, rindu, tapi aku punya janji, yang pasti akan kutepati, kuhargai itu. Langkahku perlahan, petak-petak nisan yang tak terhitung banyaknya kulewati tanpa peduli. Tigaribu batu kapur itu tak berarti dibandingkan satu nama yang kutuju. Dan sampai, aku tersenyum. Senyum yang lebar, bergetar nyaris tertawa. Aku membungkuk, bunga Kamelia favoritmu yang kubawa kuletakkan tepat dibawah nisanmu. Tanah merah pekuburanmu kugenggam, erat, getar tanganku menjalar ke tubuh, lalu leher, dan akhirnya pecah. Tangisku.
Kenapa? Kenapa sayang?
Kenapa kau begitu cepat pergi?
Aku begitu.. ah.. bahkan lidahku, lidah batinku tak sanggup merangkai kata akan berartinya keberadaanmu bagiku. Kau tak tahu, entah berapa kali aku mencoba mengakhiri hidupku saja, titik, tanpa koma, dan aku akan bergabung denganmu di alam sana. Naif, memang. Tapi itulah, itulah arti keberadaanmu, keberadaan yang seharga hidup itu sendiri ba—
“Mas.. Mas?”
Aku menengok, seorang lelaki berdiri tepat dibelakangku, kuusap sisa air mata dan kuatur nafas yang sesungukan. Aku berdiri, menghadapnya. Seumuranku, mungkin. Berkemeja rapih necis dan nampak dari kalangan berada. Waw, dia juga membawa bunga kamelia.
“Mas temannya Heny?” dia bertanya.
Aku mengangguk saja, mengatakan ‘pacar’ dalam situasi ini tidaklah bijak menurutku, lagipula..
“Oh.. saya pacar mendiang semasa dia hidup dulu.” Oh, pacarnya..
AP—!!?
Aku gelagapan bukan main. Sesungukanku mendadak hilang, bercanda dia. Mana mungkin, karena akulah pacarnya! Aku senyum meledek.
“Lah, bercanda mas ini, maksudnya mantan? Soalnya saya pacar Henny yang terakhir dulu, sebelum dia meninggal.” Kataku pembelaan.
“Walah, tapi saya pacarnya mas! Beneran! Mas emang tau apa bunga kesukaan Henny?”
Aku pun menunjuk kearah nisan, tempatku meletakkan bunga Kamelia kesukaannya, yang juga ada di pelukan lelaki itu. Apa maksudnya ini? Aku tak mengerti, sayang. Tak ada yang tahu apa bunga kesukaanmu selai aku, bukan? Iya kan? Tiga tahun berlalu, dan tiba-tiba seseorang datang ke hadapanku, di depan makammu yang sakral, mengatakan dia adalah pacarmu.. pacarmu. Pac—
“Maaf, mas-mas ini temannya Henny?”
Aku menengok, satu lagi laki-laki, botak plontos dengan setelan kasual, dan ya, dia membawa bunga Kamelia di sisi tubuhnya yang tegap. Rasanya aku mulai mengerti semuanya, mengerti permainanmu, mengerti segala tingkah busukmu, tingkahmu yang palsu! Senyummu yang artifisial! Tak tahu malu!
“Jangan sebut! Kutebak, kau juga pacarnya Henny?” Kataku sambil melirik pula kepada laki-laki parlente disebelahku.
“Emm.. ya, mas ini siapa ya?”
Hancur. Hatiku luluh lantak. Aku bergegas, pergi dengan tergesa, menjauh dari dua orang entah siapa darimana yang mengatakan bahwa mereka juga kekasih dari kekasihku. Ya, hebat, sayangku. Kau kuanggap hidup, hidup yang seharga hidup itu sendiri bagiku. Tiga tahun! Persetan tiga tahun! Terkutuk dan membusuklah kau di neraka!
“BANGSAT!”
Makian terakhir, dan ia pun berlalu. Kedua orang yang berdiri di depan makam hanya bertatapan, senyum miris berbalut kesedihan. Mereka menatap kearah nissan, meletakkan Kamelia yang masing-masing mereka bawa.
“Selesai, Hen, berterimakasihlah pada kami, dan semoga kau tenang di sana.”
Amin.
Tiga tahun pula aku sendiri, sesuai janjiku padamu di akhir nyawamu meregang, tidak ada wanita lain, cukup tiga tahun. Tidak sulit, sayangku, mengingat kenangan yang telah kau berikan padaku, yang begitu indahnya sampai berarti hidup itu sendiri bagiku. Tiga tahun itu singkat. Bahkan terlalu pendek. Janjiku padamu kutepati, bahkan mungkin akan kutambah sesuai selera. Karena kamu, sayangku, begitu meninggalkan arti dalam hidupku. Kamu adalah aku, hidupku, bagian jiwaku yang tak mungkin bisa kulepas.
Aku berada di pintu masuk pemakaman, merokok, dengan khidmat, kegiatan yang akan bernilai ratusan kali lipat jika kau ada di sampingku. Melihatku mengeluarkan asap dengan berbagai cara selalu membuatmu terhibur, entah kenapa. Kenapa, sayang? Katamu, aku paling ganteng ketika menjepit sebatang rokok di sela jari telunjuk dan manisku, menghembuskannya perlahan bagaikan cerobong lokomotif yang berjalan lambat. Itu katamu. Sambil tertawa kau ucapkan itu. Ah… stop sayang. Kenangan menyenangkan bersamamu selalu membuat sudut mataku berair. Kuanggap hanya sekedar asap yang menusuk mata, selalu kuanggap begitu, yang padahal bukan. Itu karenamu. Yang memberikan hidupku arti seharga hidup itu sendiri, itu kamu.
Kenapa?
Kenapa, sayang?
Kenapa kau begitu cepat pergi?
Tiga tahun lalu, kau terbaring lemah di rumah sakit, selang-selang infus menggantung ramai diatasmu, menusuk tiap nadi yang mungkin bisa dipompa cairan natrium. Kamu sekarat, kamu tahu, dan aku pun tahu. Tapi kamu tetap tersenyum setiap kali aku datang menjenguk, membawakan buah yang tak bisa kau makan, memberikan buku-buku yang tak bisa kau baca karena tanganmu tak mampu mengangkat. Ya, aku ingat. Setiap kali aku datang, kau menyuruhku membacakan satu bab, satu bab setiap kalinya. Satu. Itu aku sesalkan. Walaupun tenggorokanku kering seperti dicakar saat membaca, aku senang, melihatmu tersenyum, kadang bertampang penasaran, kadang bingung karena pengejaanku yang tidak jelas, aku senang. Tapi.. waktu berkata lain, satu buku pun tak sempat aku selesaikan kubaca. Kamu lebih dulu terpanggil kehadapannya. Kamu tahu sayang? Bab terakhir yang kubacakan padamu penuh bekas noda air mata, air mataku.
Tiga tahun. Sesuai janjimu yang lain, aku tidak akan mengunjungi makammu selama tiga tahun. Aku tak pernah mengerti alasanmu. Katamu, kau tidak ingin aku menangisi kepergianmu tiap tahun, itu terlalu sering. Cukup tiga tahun sekali, katamu. Tapi kau tak tahu, tiap malam, sayang, aku menangisimu, membelai bingkai foto dari kayu hadiahmu untukku, bahkan sampai mengkilap karena usapan tanganku sendiri. Kenapa tiga tahun? Aku tak mengerti, rasa rinduku tak terbendung. Aku ingin sering dekat denganmu, dengan jasadmu dua meter dibawah sana, merasakan kau dekat. Mengapa kau larang? Ya, aku mengerti alasanmu, karenanya, aku mematuhi janjiku padamu. Aku mencintaimu sayang. Kau berarti bagiku, berarti seharga hidup itu sendiri. Kamu, hanya kamu.
Rokok kumatikan, hembusan terakhir yang menodai paru-paruku telah terhembus lepas ke udara. Aku berjalan menuju makammu sekarang, tak pernah kulupa letaknya. Karena, walau kau melarangku untuk datang, aku tetap datang, dari jauh, dari parkiran, dari luar pemakaman, aku melihat nisanmu. Jauh, kangen, rindu, tapi aku punya janji, yang pasti akan kutepati, kuhargai itu. Langkahku perlahan, petak-petak nisan yang tak terhitung banyaknya kulewati tanpa peduli. Tigaribu batu kapur itu tak berarti dibandingkan satu nama yang kutuju. Dan sampai, aku tersenyum. Senyum yang lebar, bergetar nyaris tertawa. Aku membungkuk, bunga Kamelia favoritmu yang kubawa kuletakkan tepat dibawah nisanmu. Tanah merah pekuburanmu kugenggam, erat, getar tanganku menjalar ke tubuh, lalu leher, dan akhirnya pecah. Tangisku.
Kenapa? Kenapa sayang?
Kenapa kau begitu cepat pergi?
Aku begitu.. ah.. bahkan lidahku, lidah batinku tak sanggup merangkai kata akan berartinya keberadaanmu bagiku. Kau tak tahu, entah berapa kali aku mencoba mengakhiri hidupku saja, titik, tanpa koma, dan aku akan bergabung denganmu di alam sana. Naif, memang. Tapi itulah, itulah arti keberadaanmu, keberadaan yang seharga hidup itu sendiri ba—
“Mas.. Mas?”
Aku menengok, seorang lelaki berdiri tepat dibelakangku, kuusap sisa air mata dan kuatur nafas yang sesungukan. Aku berdiri, menghadapnya. Seumuranku, mungkin. Berkemeja rapih necis dan nampak dari kalangan berada. Waw, dia juga membawa bunga kamelia.
“Mas temannya Heny?” dia bertanya.
Aku mengangguk saja, mengatakan ‘pacar’ dalam situasi ini tidaklah bijak menurutku, lagipula..
“Oh.. saya pacar mendiang semasa dia hidup dulu.” Oh, pacarnya..
AP—!!?
Aku gelagapan bukan main. Sesungukanku mendadak hilang, bercanda dia. Mana mungkin, karena akulah pacarnya! Aku senyum meledek.
“Lah, bercanda mas ini, maksudnya mantan? Soalnya saya pacar Henny yang terakhir dulu, sebelum dia meninggal.” Kataku pembelaan.
“Walah, tapi saya pacarnya mas! Beneran! Mas emang tau apa bunga kesukaan Henny?”
Aku pun menunjuk kearah nisan, tempatku meletakkan bunga Kamelia kesukaannya, yang juga ada di pelukan lelaki itu. Apa maksudnya ini? Aku tak mengerti, sayang. Tak ada yang tahu apa bunga kesukaanmu selai aku, bukan? Iya kan? Tiga tahun berlalu, dan tiba-tiba seseorang datang ke hadapanku, di depan makammu yang sakral, mengatakan dia adalah pacarmu.. pacarmu. Pac—
“Maaf, mas-mas ini temannya Henny?”
Aku menengok, satu lagi laki-laki, botak plontos dengan setelan kasual, dan ya, dia membawa bunga Kamelia di sisi tubuhnya yang tegap. Rasanya aku mulai mengerti semuanya, mengerti permainanmu, mengerti segala tingkah busukmu, tingkahmu yang palsu! Senyummu yang artifisial! Tak tahu malu!
“Jangan sebut! Kutebak, kau juga pacarnya Henny?” Kataku sambil melirik pula kepada laki-laki parlente disebelahku.
“Emm.. ya, mas ini siapa ya?”
Hancur. Hatiku luluh lantak. Aku bergegas, pergi dengan tergesa, menjauh dari dua orang entah siapa darimana yang mengatakan bahwa mereka juga kekasih dari kekasihku. Ya, hebat, sayangku. Kau kuanggap hidup, hidup yang seharga hidup itu sendiri bagiku. Tiga tahun! Persetan tiga tahun! Terkutuk dan membusuklah kau di neraka!
“BANGSAT!”
Makian terakhir, dan ia pun berlalu. Kedua orang yang berdiri di depan makam hanya bertatapan, senyum miris berbalut kesedihan. Mereka menatap kearah nissan, meletakkan Kamelia yang masing-masing mereka bawa.
“Selesai, Hen, berterimakasihlah pada kami, dan semoga kau tenang di sana.”
Amin.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment