Good Writer
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Wednesday, July 20, 2011
Posted at : 4:28 AM
Kita ini hidup di jaman dimana yang namanya selera itu jadi patokan utama dalam menilai, bahwa segala dorongan subliminal yang lewat pas lo mimpi atau nongkrong di halte nugguin patas AC 134 Jakarta – Depok adalah hal valid dimana lo bisa mengatakan sesuatu hal itu bagus atau jelek. Dengan tipikal penilaian seabsurd itu, masyarakat yang emang doyan bener mengkotak-kotakkan berbagai macam hal ini seolah masih punya standar untuk mengatakan mana yang bagus dan mana yang jelek. Lha.. jadi melebar, biar tulisan ini nggak nyebar kemana-mana, dari awal gue akan bilang, gue mau ngomongin soal good writer.
Sekarang itu jamannya tulisan, bung! Terima kasih pada penetrasi internet kedalam peradaban yang ngebuat mata-mata perjaka dan perawan kita ini terbiasa melihat huruf-huruf dalam jumlah masif, dan terima kasih juga buat para pendiri web-web 2.0 yang ngebuat anak-anak muda di jaman 3gp gampang diakses ini lebih gencar memamerkan dirinya dalam bentuk tulisan. Karena itu semua, penulis-penulis amatir gampang ditemui dimanapun, di tiap sudut info page facebook dengan jargon dot blogspot dot com, wordpress, tumblr dan kawan-kawannya yang kagak sempet nyerang Indonesia, lo bakal nemuin penulis. Bukannya baru ada sekarang, tapi dulu mana bisa kita ngenalin orang sebagai penulis aktif disaat mereka cuma menunjukkan kepenulisan mereka hanya pra tidur malem dengan paragraf awal berbunyi “dear diary”?
Dari jutaan orang yang mengisi hari-hari mereka dengan tulisan itu, mungkin hanya setengahnya yang menulis dengan sistematis, dari yang sistematis ini, mungkin hanya tigaperempatnya yang tulisannya enak dibaca, dari yang tulisannya enak dibaca ini, mungkin hanya sepersepuluhnya yang diakui sama masyarakat sebagai good writer. Kemungkinan mereka nelorin karya dalam bentuk buku, punya blog dengan ribuan pembaca mampir tiap harinya, atau mungkin cuman nyimpen file-file docnya sampe membusuk di drive :D/curhatan-perasaanku.
Selera orang bisa sama, sampai muncul yang dinamakan buku bestseller. Tapi tetep, orang-orang punya seleranya sendiri-sendiri yang spesifik. Buku-buku pop itu mungkin hasil dari selera jutaan orang yang emang kebetulan sejenis. Misal aja, orang yang demen tulisan surrealisnya Haruki Murakami juga suka sama tulisan suspense actionnya Tom Clancy, sementara orang yang fanatik sama kerjaan menye-menye Alexandre Dumas Jr. Juga bisa aja kan suka sama karyanya Tom Clancy? Nah, persilangan ini yang menyebabkan adanya karya-karya yang dikategorikan pop, nominasi yang kagak jarang masuk jajaran best seller. Lalu, tiap-tiap pilihan ini pula yang menjadikan selera seseorang yang spesifik judgmental mengatakan bahwa penulis tertentu adalah seorang good writer.
Gue nggak membahas genre, gue juga nggak membahas writer tertentu walaupun gue emang doyan banget muja-muji penulis favorit gue, tapi yang gue berusaha sempitkan disini ya tentu tulisannya, isinya. Tulisan bagus nggak harus berasal dari genre karya seni artistik-indah-menawan bagai ukiran patung Aphrodite, juga nggak harus dari aliran pop mainstream—walaupun tulisan-tulisan yang dikenal khalayak rame emang rata-rata udah mau susah-susah mikirin detail sampai keliatan bagus. Man, duit terlibat disini, masa iya lo mau ngecewain pembaca yang udah nguarin duit centiaw buat baca tulisan anak teka?
Buat gue, good writer itu bisa ditemui dimanapun, makanya, ketika gue bertemu dengan kenalan baru, pertanyaan kedua gue setelah “lo kerja dimana?” adalah, “lo punya blog gak?” lupakan nomer hape, kalau cowok ya gue males sms mesra ‘ud mu’um byumph?’ dan kalau cewek pun juga gue udah punya pacar yang manisnya amit-amit. Siapa yang tau? Bisa aja redneck asshole yang gue temui di Cikampek adalah blogger famous dengan puluhan ribu subscriber. Misal aja, gue nemu blog Valiant Budi dulu, jaman-jaman Joker belom keluar, pas gue lagi browsing ‘emo gaul’ di google. Maksud gue, dengan keyword segoblok itu gue bisa nemuin penulis bagus.
Mereka bisa aja blogger yang nulis daily rant tentang perkuliahannya, atau mungkin reviewer restoran keliling, atau bisa pula penulis artikel kantoran, mungkin reviewer film, tester game, desainer grafis yang doyan nulis jurnal pengerjaan karyanya, tukang bakso yang nyeritain pelanggan-pelanggannya. Kemungkinannya nggak terbatas, good adalah good, baik buat elo, ataupun buat masyarakat secara keseluruhan.
Setau gue, nggak ada ketentuan khusus untuk menjadi penulis yang baik. Ketika lo membawa kamus EYD bahkan ke WC pun, belum tentu lo bisa menulis sebuah artikel dengan apik, atau menyusun kalimat dengan padu. Angin pepatah berhembus, katanya, penulis yang baik adalah pembaca yang baik, tapi percaya sama gue, itu nggak valid. Sebagai bahan tulisan, buku bacaan mungkin membantu, tapi sumber bukan hanya dari mata, semua indra bisa sama-sama kerja, ngolah diotak dan diproses menjadi memori yang siap lo pake kapanpun untuk lo tuang kedalam tulisan. Masa sih, ketika lo berpergian ke tempat-tempat apik, lo nggak bisa menuliskan satu-dua kalimat berdasarkan pengalaman lo itu?
Pengalaman apa aja yang lo udah dapet, dan jam terbang nulis—mengingat menulis bisa dikategorikan sebagai soft skill—adalah hal yang lebih gue percaya yang menentukan seseorang bisa disebut sebagai penulis yang baik. Terlebih, dua hal itu metafisik, limitless, nggak bisa diukur, jadi? Apa ketentuannya? Dunno.
Sesuatu yang dipaksakan bagus mempunyai resiko untuk menjadi hampa, maka, gue menemukan fakta bahwa penulis yang bagus nggak harus mempunyai tata bahasa terstruktur rapih berpatok pada EYD dan susunan kalimat yang terstandarisasi. Yah, yang satu ini jelas poin yang relatif, ini kesukaan gue, dan kenapa gue bisa bilang begitu? Karena gue udah menemukan penulis paling badass sejauh gue pernah membaca hasil kerajinan intelektual manusia yang kita namakan tulisan ini. Dan dia adalah Zombem, reviewer horor movies di www.hisheroisdemon.wordpress.com. Tulisannya minim EYD walau pake istilah-istilah rumit, susunan kalimatnya nggak jarang berantakan, tapi satu hal yang pasti, buat gue, dia penulis keren.
Pertama liat, dia jadi kontributor di salah satu blog horor paling paten berjudul www.horrorsekarepdewek.blogspot.com, sampe akhirnya dia buat blog sendiri untuk menuhin hasrat nulisnya yang rada-rada. Dia bisa ngebuat tulisan panjang 2000 words cuman buat review satu pelem, dan hebatnya, gue sama sekali nggak bosen baca tulisan sepanjang itu, yang ada malah celengar-celengir inosen kagum sama gaya pembawaannya yang komunikatif sama pembacanya. Nah kan, tadi diawal gue bilang ga ada puja-puji, sekarang apaan nih?
Contoh laen, temen gue sendiri dah, Luthfi Fauzie di www.garibinaction.blogspot.com, tulisannya kagak sistematis, tapi pilihan katanya menarik, idenya luar biasa seger, dan selalu ada twist yang kampret ketika lo baca tulisannya. Sayangnya, poin kagak sistematisnya itu bikin dia juga punya jadwal kagak terstruktur buat ngisi blognya. Nulis woi, ganteng!
Kalo lo buka link diatas, mungkin lo cuman bisa nyerengit sama naekin alis, karena balik ke poin awal, kata good di dunia ini nggak akan pernah mencapai satu kesepakatan kalau dari awal bekgron selera udah beda, kecuali kalo ngomongin @tifsembiring itu lagi berusaha untuk jadi asshole paling beken di jaman iPad udah dipegang ama anak masih meler ingus, ya pasti kita setuju semua. Percuma lo bilang selera orang kampungan, tulisan Radityadika sampah, kerjaannya J.R.R Tolkien itu delusional, atau tulisannya @Vabyo itu fake. Masalahnya cuman satu, masbro, tulisan mereka itu bukan buat lo, apa yang mereka kerjain kagak masuk ke selera lo, maka ketika lo baca, jelas lo nggak akan menemukan sesuatu hal yang menarik disana. Kalo sampe bilang salah satu genre, selerais tertentu itu kampring, keterlaluan namanya.
Akhir kata, mari kite mulai tanya cewek cakeps depan kite alamat blognye. Walau.. kagak rekomen sih, karena ketika gue buka blog cewek-cewek ini, isinye yaa.. ngebuat gue bilang..
Run for your life, bung.
Amen.
Sekarang itu jamannya tulisan, bung! Terima kasih pada penetrasi internet kedalam peradaban yang ngebuat mata-mata perjaka dan perawan kita ini terbiasa melihat huruf-huruf dalam jumlah masif, dan terima kasih juga buat para pendiri web-web 2.0 yang ngebuat anak-anak muda di jaman 3gp gampang diakses ini lebih gencar memamerkan dirinya dalam bentuk tulisan. Karena itu semua, penulis-penulis amatir gampang ditemui dimanapun, di tiap sudut info page facebook dengan jargon dot blogspot dot com, wordpress, tumblr dan kawan-kawannya yang kagak sempet nyerang Indonesia, lo bakal nemuin penulis. Bukannya baru ada sekarang, tapi dulu mana bisa kita ngenalin orang sebagai penulis aktif disaat mereka cuma menunjukkan kepenulisan mereka hanya pra tidur malem dengan paragraf awal berbunyi “dear diary”?
Dari jutaan orang yang mengisi hari-hari mereka dengan tulisan itu, mungkin hanya setengahnya yang menulis dengan sistematis, dari yang sistematis ini, mungkin hanya tigaperempatnya yang tulisannya enak dibaca, dari yang tulisannya enak dibaca ini, mungkin hanya sepersepuluhnya yang diakui sama masyarakat sebagai good writer. Kemungkinan mereka nelorin karya dalam bentuk buku, punya blog dengan ribuan pembaca mampir tiap harinya, atau mungkin cuman nyimpen file-file docnya sampe membusuk di drive :D/curhatan-perasaanku.
Selera orang bisa sama, sampai muncul yang dinamakan buku bestseller. Tapi tetep, orang-orang punya seleranya sendiri-sendiri yang spesifik. Buku-buku pop itu mungkin hasil dari selera jutaan orang yang emang kebetulan sejenis. Misal aja, orang yang demen tulisan surrealisnya Haruki Murakami juga suka sama tulisan suspense actionnya Tom Clancy, sementara orang yang fanatik sama kerjaan menye-menye Alexandre Dumas Jr. Juga bisa aja kan suka sama karyanya Tom Clancy? Nah, persilangan ini yang menyebabkan adanya karya-karya yang dikategorikan pop, nominasi yang kagak jarang masuk jajaran best seller. Lalu, tiap-tiap pilihan ini pula yang menjadikan selera seseorang yang spesifik judgmental mengatakan bahwa penulis tertentu adalah seorang good writer.
Gue nggak membahas genre, gue juga nggak membahas writer tertentu walaupun gue emang doyan banget muja-muji penulis favorit gue, tapi yang gue berusaha sempitkan disini ya tentu tulisannya, isinya. Tulisan bagus nggak harus berasal dari genre karya seni artistik-indah-menawan bagai ukiran patung Aphrodite, juga nggak harus dari aliran pop mainstream—walaupun tulisan-tulisan yang dikenal khalayak rame emang rata-rata udah mau susah-susah mikirin detail sampai keliatan bagus. Man, duit terlibat disini, masa iya lo mau ngecewain pembaca yang udah nguarin duit centiaw buat baca tulisan anak teka?
Buat gue, good writer itu bisa ditemui dimanapun, makanya, ketika gue bertemu dengan kenalan baru, pertanyaan kedua gue setelah “lo kerja dimana?” adalah, “lo punya blog gak?” lupakan nomer hape, kalau cowok ya gue males sms mesra ‘ud mu’um byumph?’ dan kalau cewek pun juga gue udah punya pacar yang manisnya amit-amit. Siapa yang tau? Bisa aja redneck asshole yang gue temui di Cikampek adalah blogger famous dengan puluhan ribu subscriber. Misal aja, gue nemu blog Valiant Budi dulu, jaman-jaman Joker belom keluar, pas gue lagi browsing ‘emo gaul’ di google. Maksud gue, dengan keyword segoblok itu gue bisa nemuin penulis bagus.
Mereka bisa aja blogger yang nulis daily rant tentang perkuliahannya, atau mungkin reviewer restoran keliling, atau bisa pula penulis artikel kantoran, mungkin reviewer film, tester game, desainer grafis yang doyan nulis jurnal pengerjaan karyanya, tukang bakso yang nyeritain pelanggan-pelanggannya. Kemungkinannya nggak terbatas, good adalah good, baik buat elo, ataupun buat masyarakat secara keseluruhan.
Setau gue, nggak ada ketentuan khusus untuk menjadi penulis yang baik. Ketika lo membawa kamus EYD bahkan ke WC pun, belum tentu lo bisa menulis sebuah artikel dengan apik, atau menyusun kalimat dengan padu. Angin pepatah berhembus, katanya, penulis yang baik adalah pembaca yang baik, tapi percaya sama gue, itu nggak valid. Sebagai bahan tulisan, buku bacaan mungkin membantu, tapi sumber bukan hanya dari mata, semua indra bisa sama-sama kerja, ngolah diotak dan diproses menjadi memori yang siap lo pake kapanpun untuk lo tuang kedalam tulisan. Masa sih, ketika lo berpergian ke tempat-tempat apik, lo nggak bisa menuliskan satu-dua kalimat berdasarkan pengalaman lo itu?
Pengalaman apa aja yang lo udah dapet, dan jam terbang nulis—mengingat menulis bisa dikategorikan sebagai soft skill—adalah hal yang lebih gue percaya yang menentukan seseorang bisa disebut sebagai penulis yang baik. Terlebih, dua hal itu metafisik, limitless, nggak bisa diukur, jadi? Apa ketentuannya? Dunno.
Sesuatu yang dipaksakan bagus mempunyai resiko untuk menjadi hampa, maka, gue menemukan fakta bahwa penulis yang bagus nggak harus mempunyai tata bahasa terstruktur rapih berpatok pada EYD dan susunan kalimat yang terstandarisasi. Yah, yang satu ini jelas poin yang relatif, ini kesukaan gue, dan kenapa gue bisa bilang begitu? Karena gue udah menemukan penulis paling badass sejauh gue pernah membaca hasil kerajinan intelektual manusia yang kita namakan tulisan ini. Dan dia adalah Zombem, reviewer horor movies di www.hisheroisdemon.wordpress.com. Tulisannya minim EYD walau pake istilah-istilah rumit, susunan kalimatnya nggak jarang berantakan, tapi satu hal yang pasti, buat gue, dia penulis keren.
Pertama liat, dia jadi kontributor di salah satu blog horor paling paten berjudul www.horrorsekarepdewek.blogspot.com, sampe akhirnya dia buat blog sendiri untuk menuhin hasrat nulisnya yang rada-rada. Dia bisa ngebuat tulisan panjang 2000 words cuman buat review satu pelem, dan hebatnya, gue sama sekali nggak bosen baca tulisan sepanjang itu, yang ada malah celengar-celengir inosen kagum sama gaya pembawaannya yang komunikatif sama pembacanya. Nah kan, tadi diawal gue bilang ga ada puja-puji, sekarang apaan nih?
Contoh laen, temen gue sendiri dah, Luthfi Fauzie di www.garibinaction.blogspot.com, tulisannya kagak sistematis, tapi pilihan katanya menarik, idenya luar biasa seger, dan selalu ada twist yang kampret ketika lo baca tulisannya. Sayangnya, poin kagak sistematisnya itu bikin dia juga punya jadwal kagak terstruktur buat ngisi blognya. Nulis woi, ganteng!
Kalo lo buka link diatas, mungkin lo cuman bisa nyerengit sama naekin alis, karena balik ke poin awal, kata good di dunia ini nggak akan pernah mencapai satu kesepakatan kalau dari awal bekgron selera udah beda, kecuali kalo ngomongin @tifsembiring itu lagi berusaha untuk jadi asshole paling beken di jaman iPad udah dipegang ama anak masih meler ingus, ya pasti kita setuju semua. Percuma lo bilang selera orang kampungan, tulisan Radityadika sampah, kerjaannya J.R.R Tolkien itu delusional, atau tulisannya @Vabyo itu fake. Masalahnya cuman satu, masbro, tulisan mereka itu bukan buat lo, apa yang mereka kerjain kagak masuk ke selera lo, maka ketika lo baca, jelas lo nggak akan menemukan sesuatu hal yang menarik disana. Kalo sampe bilang salah satu genre, selerais tertentu itu kampring, keterlaluan namanya.
Akhir kata, mari kite mulai tanya cewek cakeps depan kite alamat blognye. Walau.. kagak rekomen sih, karena ketika gue buka blog cewek-cewek ini, isinye yaa.. ngebuat gue bilang..
Run for your life, bung.
Amen.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment