Waktu Kosong
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Friday, March 25, 2011
Posted at : 3:06 PM
Kadang aku bingung, kadang aku merasa menjadi orang yang plin-plan. Aneh. Ketika aku sedang di peraduanku, di depan tuts-tuts keyboard mencoba merumuskan apa-apa saja yang ada di kepalaku, rasanya ingin sekali pergi ke suatu tempat yang jauh. Cukup jauh sehingga aku berpikir mungkin akan mendapatkan ide-ide luar biasa menarik disana. Tapi hei, lihatlah aku disini, hanya lima kilometer dari tempatku tidur, dan rasanya ingin sekali aku menarikan jemariku mengetik sambil nyengir. Kenapa, kau tanya? Ide-ide itu datang tanpa permisi, langsung nyelonong masuk dan minta camilan serta teh manis, tidak ada sopan santunnya sama sekali.
Hari setengah terik, kadang mendung masih lewat sekali-sekali, kopiku yang tadinya mengepul lebat hanya tersisa coklat menggoda—kopi susu. Hitam bertemu putih. Motorku diparkir tak jauh dari pandangan, tukang parkir tersenyum rupiah melihatku datang, akrab kenal walau tak bertukar nama, aku pelanggan di warung ini, warung kopi. Tempat yang familiar, wajah-wajah familiar yang anonim, bertukar mata dan seolah hapal menu yang akan kupesan di luar kepala, tapi tetap, esensi ngopi akan hambar kalau aku tidak menyebutkan sendiri menu yang akan kupesan.
“Kopi susu Indocina, mbak, satu.”
“Ini dulu mas?”
“Iya.”
Aku menghela nafas seolah telah menempuh jarak 190 kilometer Jakarta – Bandung, ada kepuasan yang sama walaupun kondisinya berbeda. Aku bisa saja menyamakan rasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh dengan kepuasan ketika aku duduk di tempat favoritku setelah terkena sedikit macet Jakarta. Ritsleting jaket kuturunkan se-diafragma, pengalihan yang mungkin saja semu akan panas Ibukota yang luar biasa pengap. Hampir seumur hidup aku tinggal disini, tapi tetap saja kalau panas ya kepanasan. Tas selempangku kuletakkan di bangku kosong, kukeluarkan buku bacaan yang sedang berusaha kuselesaikan. Sudesi. Wah, buku ini cukup lama kubaca, hampir dua bulan dan pertengahan saja belum. Bukan jelek, nyatanya, tulisan Arswendo Atmowiloto ini ringan menghibur, sedikit menggurui secara implisit, tapi enteng untuk dibaca seharian. Lalu, kenapa sulit diselesaikan?
Hmm..
Sedikit masalah niat, sebenarnya sih. Belakangan lebih getol menulis daripada membaca, tidak harus berkesinambungan dan berbanding lurus sebenarnya, antara menulis dan membaca. Tapi buatku keseimbangan diantara keduanya penting. Ah, itu buatku.
Ups, kopinya datang. Aku tersenyum kepada si pengantar kopi yang juga senyum balik. Kuharap tulus dan bukannya senyum pekerja yang dibayar senyum. Tanpa basa-basi, kuminum air dingin yang menjadi satu paket kalau kita memesan kopi panas di warung ini, segar, apalagi di tengah terik demikian. Kubuka halaman yang kutandai sebelumnya, membaca sedikit-sedikit dan sesekali senyum tergelitik. Sudesi, atau kepanjangan dari Sukses Dengan Satu Istri ini memiliki dasar konsep yang menarik. Garis besarnya sih, digambarkan dengan kendaraan. Ketika kita memiliki istri dua, maka dapat disamakan dengan sepeda yang beroda dua, tiga, samakan dengan bajai atau bemo, empat, mobil, dst. Ketika kita memiliki dua istri, seperti sepeda, tentunya stabil, begitu pula tiga, tentunya keseimbangan tetap terjaga, empat yang seperti mobil apalagi, enam, delapan dan seterusnya yang semakin lama semakin stabil.
Tapi itu tidak seru. Ketika kita memiliki satu istri, umpamakan dengan sepeda roda satu. Aneh, sulit untuk dilakukan, tapi ketika kita bisa menguasai teknik dan cara mengendarainya, orang akan terkagum-kagum melihat kita melakukannya. Hmm.. aku berpikir ada benarnya juga, bersamaan dengan halaman yang semakin tebal kubaca, aku mendalami lagi apa yang dimaksud dengan Sudesi, dan tanpa sadar pula, aku telah membeli konsep ini dan memasukkannya kedalam daftar pola pikir yang kugunakan. Wah.
Serombongan perempuan muda memasuki warung, kisaran 20an awal, mungkin pekerja, aku melihat mereka, dan mereka melihatku. Aku tersenyum kecil, yang mungkin tanpa sadar merekapun membalas senyumku. Ada gelitik di hatiku, gatal. Mereka duduk tak jauh, berhadapan langsung dengan mejaku. Tak kubuang kesempatan, disela halaman yang kubuka, kusematkan selintas pandang kearah mereka, mereka melihatku, tertawa kecil dan entah berbisik apa. Walah, jadi kepedean.
Loh. Katanya Sudesi.
Memang. Karena konsep Sudesi tidak selesai sampai disana saja. Sudesi mengambil kepercayaan bahwa yang namanya istri itu harus satu, setia, tapi tidak menutup kemungkinan akan adanya kekasih-kekasih dalam bentuk lain. Tapi tetap, satu istri. Hihi. Mungkin secara kasat mata, konsep ini mendukung adanya perselingkuhan, tapi justru itu, kalau perselingkuhan malah bisa menyelamatkan sebuah perkawinan, apa salahnya, yang penting istri tetap satu. Yah, aku tak setuju, tapi kuaplikasikan dalam bentuk yang lebih dangkal. Aku ogah selingkuh, tapi tidak ada salahnya sedikit melirik kanan kiri kalau ada yang menarik sedikit. Yang penting nggak ngapa-ngapain, hatiku tetap pada tempatnya.
Ahh..
Bunyi seruput terdengar jelas dari gelas kopiku yang bertemu bibir, sengaja kukeraskan, agar terlihat bahwa aku benar-benar menikmati secangkir kopi ini. Ketidaksopanan bukan hanya mengartikan ketidaksopanan, tidak semua hal hanya memiliki satu makna. Dalam hal makanan misal, beberapa kultur justru menganggap makan yang berantakan, mulut yang mengecap, suara-suara yang mungkin sebenarnya mengganggu secara umum itu bisa saja diartikan penghormatan. Dan inilah bentuk penghormatanku pada sang barista yang menggunakan tangannya untuk meracik kopiku, suara seruput tanda nikmat.
Oh tentu, kami masih sering bertukar pandang, sesekali mereka menyeka mulutnya cepat, seolah sadar aku mengamati, lalu tertawa terkikik, berbisik, melihatku lagi, dan baru melanjutkan suapan baru. Begitu terus sampai akhirnya kopiku habis tanpa ampas—aku memesan menggunakan drip. Jakarta makin terasa panas dan aku mulai merindukan peraduanku yang adem terhantam kipas angin, merindukan saat-saat aku mengetik ide yang sedang kurajut dalam benakku ini nantinya. Ah. Lihat, belum sampai tiga jam aku meninggalkan komputerku dengan keinginan mencari wangsit, sekarang aku sudah ingin menumpahkannya lagi, makanya kubilang plin-plan.
Mungkin harus kuubah sudut pandangku, aku ingin berpergian, tapi nampaknya bukan yang jauh. Yang dekat-dekat saja, cari waktuku sendiri untuk kuhabiskan bermetafora dengan bahasa, menikmati sekitarku yang sebenarnya penuh akan susunan kata, tenggelam dalam irama jukebox, mencari ketenangan jiwa dan raga yang terlanjur penuh dahaga. Huh.. waktunya pulang. Aku membereskan segala pernah pernik yang kubawa kembali ke tas selempangku. Menuju kasir dan membayar secukupnya. Tak lupa tentunya, lemparan pandangan mata ke segerombolan perempuan tadi, sekedar sapa. Hehe.
Motorku mengaum, kususuri jalan Jakarta yang tidak pernah habis cerita, iseng sedikit menghampiriku, aku ambil jalan pulan agak memutar, menikmati waktuku, sekalian tambahan ide untuk tulisanku. Ah. Saat-saat begini, jadi kangen pacarku.
Hari setengah terik, kadang mendung masih lewat sekali-sekali, kopiku yang tadinya mengepul lebat hanya tersisa coklat menggoda—kopi susu. Hitam bertemu putih. Motorku diparkir tak jauh dari pandangan, tukang parkir tersenyum rupiah melihatku datang, akrab kenal walau tak bertukar nama, aku pelanggan di warung ini, warung kopi. Tempat yang familiar, wajah-wajah familiar yang anonim, bertukar mata dan seolah hapal menu yang akan kupesan di luar kepala, tapi tetap, esensi ngopi akan hambar kalau aku tidak menyebutkan sendiri menu yang akan kupesan.
“Kopi susu Indocina, mbak, satu.”
“Ini dulu mas?”
“Iya.”
Aku menghela nafas seolah telah menempuh jarak 190 kilometer Jakarta – Bandung, ada kepuasan yang sama walaupun kondisinya berbeda. Aku bisa saja menyamakan rasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh dengan kepuasan ketika aku duduk di tempat favoritku setelah terkena sedikit macet Jakarta. Ritsleting jaket kuturunkan se-diafragma, pengalihan yang mungkin saja semu akan panas Ibukota yang luar biasa pengap. Hampir seumur hidup aku tinggal disini, tapi tetap saja kalau panas ya kepanasan. Tas selempangku kuletakkan di bangku kosong, kukeluarkan buku bacaan yang sedang berusaha kuselesaikan. Sudesi. Wah, buku ini cukup lama kubaca, hampir dua bulan dan pertengahan saja belum. Bukan jelek, nyatanya, tulisan Arswendo Atmowiloto ini ringan menghibur, sedikit menggurui secara implisit, tapi enteng untuk dibaca seharian. Lalu, kenapa sulit diselesaikan?
Hmm..
Sedikit masalah niat, sebenarnya sih. Belakangan lebih getol menulis daripada membaca, tidak harus berkesinambungan dan berbanding lurus sebenarnya, antara menulis dan membaca. Tapi buatku keseimbangan diantara keduanya penting. Ah, itu buatku.
Ups, kopinya datang. Aku tersenyum kepada si pengantar kopi yang juga senyum balik. Kuharap tulus dan bukannya senyum pekerja yang dibayar senyum. Tanpa basa-basi, kuminum air dingin yang menjadi satu paket kalau kita memesan kopi panas di warung ini, segar, apalagi di tengah terik demikian. Kubuka halaman yang kutandai sebelumnya, membaca sedikit-sedikit dan sesekali senyum tergelitik. Sudesi, atau kepanjangan dari Sukses Dengan Satu Istri ini memiliki dasar konsep yang menarik. Garis besarnya sih, digambarkan dengan kendaraan. Ketika kita memiliki istri dua, maka dapat disamakan dengan sepeda yang beroda dua, tiga, samakan dengan bajai atau bemo, empat, mobil, dst. Ketika kita memiliki dua istri, seperti sepeda, tentunya stabil, begitu pula tiga, tentunya keseimbangan tetap terjaga, empat yang seperti mobil apalagi, enam, delapan dan seterusnya yang semakin lama semakin stabil.
Tapi itu tidak seru. Ketika kita memiliki satu istri, umpamakan dengan sepeda roda satu. Aneh, sulit untuk dilakukan, tapi ketika kita bisa menguasai teknik dan cara mengendarainya, orang akan terkagum-kagum melihat kita melakukannya. Hmm.. aku berpikir ada benarnya juga, bersamaan dengan halaman yang semakin tebal kubaca, aku mendalami lagi apa yang dimaksud dengan Sudesi, dan tanpa sadar pula, aku telah membeli konsep ini dan memasukkannya kedalam daftar pola pikir yang kugunakan. Wah.
Serombongan perempuan muda memasuki warung, kisaran 20an awal, mungkin pekerja, aku melihat mereka, dan mereka melihatku. Aku tersenyum kecil, yang mungkin tanpa sadar merekapun membalas senyumku. Ada gelitik di hatiku, gatal. Mereka duduk tak jauh, berhadapan langsung dengan mejaku. Tak kubuang kesempatan, disela halaman yang kubuka, kusematkan selintas pandang kearah mereka, mereka melihatku, tertawa kecil dan entah berbisik apa. Walah, jadi kepedean.
Loh. Katanya Sudesi.
Memang. Karena konsep Sudesi tidak selesai sampai disana saja. Sudesi mengambil kepercayaan bahwa yang namanya istri itu harus satu, setia, tapi tidak menutup kemungkinan akan adanya kekasih-kekasih dalam bentuk lain. Tapi tetap, satu istri. Hihi. Mungkin secara kasat mata, konsep ini mendukung adanya perselingkuhan, tapi justru itu, kalau perselingkuhan malah bisa menyelamatkan sebuah perkawinan, apa salahnya, yang penting istri tetap satu. Yah, aku tak setuju, tapi kuaplikasikan dalam bentuk yang lebih dangkal. Aku ogah selingkuh, tapi tidak ada salahnya sedikit melirik kanan kiri kalau ada yang menarik sedikit. Yang penting nggak ngapa-ngapain, hatiku tetap pada tempatnya.
Ahh..
Bunyi seruput terdengar jelas dari gelas kopiku yang bertemu bibir, sengaja kukeraskan, agar terlihat bahwa aku benar-benar menikmati secangkir kopi ini. Ketidaksopanan bukan hanya mengartikan ketidaksopanan, tidak semua hal hanya memiliki satu makna. Dalam hal makanan misal, beberapa kultur justru menganggap makan yang berantakan, mulut yang mengecap, suara-suara yang mungkin sebenarnya mengganggu secara umum itu bisa saja diartikan penghormatan. Dan inilah bentuk penghormatanku pada sang barista yang menggunakan tangannya untuk meracik kopiku, suara seruput tanda nikmat.
Oh tentu, kami masih sering bertukar pandang, sesekali mereka menyeka mulutnya cepat, seolah sadar aku mengamati, lalu tertawa terkikik, berbisik, melihatku lagi, dan baru melanjutkan suapan baru. Begitu terus sampai akhirnya kopiku habis tanpa ampas—aku memesan menggunakan drip. Jakarta makin terasa panas dan aku mulai merindukan peraduanku yang adem terhantam kipas angin, merindukan saat-saat aku mengetik ide yang sedang kurajut dalam benakku ini nantinya. Ah. Lihat, belum sampai tiga jam aku meninggalkan komputerku dengan keinginan mencari wangsit, sekarang aku sudah ingin menumpahkannya lagi, makanya kubilang plin-plan.
Mungkin harus kuubah sudut pandangku, aku ingin berpergian, tapi nampaknya bukan yang jauh. Yang dekat-dekat saja, cari waktuku sendiri untuk kuhabiskan bermetafora dengan bahasa, menikmati sekitarku yang sebenarnya penuh akan susunan kata, tenggelam dalam irama jukebox, mencari ketenangan jiwa dan raga yang terlanjur penuh dahaga. Huh.. waktunya pulang. Aku membereskan segala pernah pernik yang kubawa kembali ke tas selempangku. Menuju kasir dan membayar secukupnya. Tak lupa tentunya, lemparan pandangan mata ke segerombolan perempuan tadi, sekedar sapa. Hehe.
Motorku mengaum, kususuri jalan Jakarta yang tidak pernah habis cerita, iseng sedikit menghampiriku, aku ambil jalan pulan agak memutar, menikmati waktuku, sekalian tambahan ide untuk tulisanku. Ah. Saat-saat begini, jadi kangen pacarku.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment