Skinpress Demo Rss

Judas, Yuda, Yudas

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Tuesday, March 15, 2011

Posted at : 9:32 PM

Aku tidak pernah memberinya nama.

Nihil tapi ada, hampa tapi terasa, tidak dapat disentuh namun bisa berbicara. Jangan tanya apa, yang ada hanya ribuan pertanyaan muncul di kepala, tatapan tidak percaya dan tidak jarang kata yang meremehkan. Makanya aku malas menyebut dia, tidak ada daya guna, aku punya dan kau tidak, jangan jadikan itu sebagai cemooh jika apa yang aku punya itu tidak ada sepertimu. Kalau ketidakmampuan kau bayar dengan ketiadaan, sampai mati kamu tidak akan dapat mengerti. Katakanlah, mati dulu sekali, mungkin pandanganmu tentangku bisa berubah, jika tidak, mungkin aku yang akan merubah sudut pandangku. Siapa yang tahu.

Dia memelukku erat dalam gelap, menggenggam tanganku dengan hangatnya menenangkan, dadanya menyentuh punggungku, antara dingin dan ingin. Ingin aku berbalik dan mencumbunya liar, merasakan lidahnya di lidahku, hidungnya yang bertemu dengan hidungku, dan mata-mata kami yang saling beradu. Tapi aku tidak bisa, terlebih dia hanya kabut hitam yang mengambang memenuhi paru-paruku, mengelus tengkukku halus tanpa ragu, dan bahkan mencambuk dagingku dengan arit kematiannya. Aku tercerahkan, aku ditenangkan. Dengan cara paling kejam yang bisa kau bayangkan, paling keras dan paling sadis yang aku sendiri tidak bisa membayangkan. Dia disini, disana, di hatiku dan di hatimu.

Kami sesama kami, pelaku sekaligus korban. Seolah fiktif tak logis, tapi nyata terbalut fakta empiris.

Kalimatku tidak akan terdengar padu, kecuali kamu adalah aku, dalam artian, kita mengalami hal yang sama. Aku bertemu dengannya, satu dari jenisku yang tidak kusangka. Aku ternganga, bayangkan saja, aku berada di sebuah titik dimana aku berspekulasi bahwa akulah yang salah, yang tidak lurus, yang otaknya sudah bergeser. Mungkin bergeser, tapi tidak. Ketika tidak ada fakta logis, pembuktian nyata yang dapat dipertanggungjawabkan, sebuah kata hanyalah kata, kalimat tetap disebut kalimat dan bukannya bukti otentik. Aku bersyukur setengah ngeri, dia berbicara sebagaimana aku ingin berbicara, satu dari jenisku, menjelaskan hal yang sebelumnya enggan aku jelaskan, tawa dingin yang juga menjadi tawaku, arogansi sepintas dangkal tapi justru adalah arogansi sebenarnya, sikap pembawa kematian yang justru adalah semangat hidup paling murni. Aku bukan dia dan dia bukan aku, tapi kami mengalami hal yang katakanlah sama, dengan interpretasi dan paradigma yang berbeda, jadilah kami satu spesies yang sama dengan gen berbeda.

“Lukas.”

Aku tidak pernah memberinya nama.

Bukan enggan atau tak ingin, tidak terpikir bahkan selintas kedip. Aku pun tidak pernah menganggapnya teman, rekan, saudara, padahal ia ada dalam setiap tarikan nafasku. Aku tidak pernah berusaha mengenalnya, padahal secara halus aku sudah bersetubuh dengannya. Kami bagaikan sepasang kuda yang membelit satu sama lain di malam hari, dan keesokan pagi seolah tak ada apapun yang telah terjadi. Nafsu yang begitu nyata seakan ilusi, sentuhan hangatnya kubuat maya, kalimat yang mengalir dari bibir tipisnya kubuat buram, aku menghilangkannya. Mungkin. Tapi dia ada, setiap aku menarik nafas.

Aku merasa dia berkhianat, menghancurkanku, melindasku dengan kaki domba nya yang kuat bagai bambu. Merobek jantungku dengan kata-katanya yang lebih tajam dari scalpel, meremukkan semua tulangku dengan tubuhnya yang bagai lembu jantan. Aku menyalahkannya, walau kurasa tak tepat. Aku berkhianat, kepada yang mengkhianatiku. Atau, kukira aku dikhianati. Tidak akan selesai sampai kiamat.

Ya, aku tidak pernah memberinya nama.

Mungkin.. tidak. Tidak terlambat. Syukur lah.

1 comment:

Pitiful Clover said...

And I keep asking who she/he is till the last word. Though sometimes no answer is better than knowing more and ruined all the fun.