Sudut Pandang Spesifik
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Sunday, December 04, 2011
Posted at : 3:08 AM
Perempuan di Seberang
Filed Under (Fotolisan ) by Pitiful Kuro on Saturday, November 19, 2011
Posted at : 3:31 AM
Roman
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Wednesday, November 02, 2011
Posted at : 1:43 AM
Sell Ek See
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Tuesday, October 04, 2011
Posted at : 3:00 AM
Open Sick Minded People
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Saturday, September 17, 2011
Posted at : 11:29 PM
Karla
Filed Under (Demonic Pride ) by Pitiful Kuro on Tuesday, September 13, 2011
Posted at : 1:35 AM
Aku hanya bisa mengingatnya samar, senyumnya yang tulus sampai pipi merahnya mengembung, tingkahnya yang diluar akal sehat. Meloncat ke kolam ikan lalu mencoba berenang. Aku panik dibuatnya.
Aku hanya bisa mengingatnya samar, saat-saat diamnya di kamar, mendengarkan musik melalui walkman kesayangan ibunya. Khusyuk, aku tidak bisa mendapatkan perhatiannya saat nada mulai mengalun dalam telinganya. Aku asik mengamati dari pintu.
Aku hanya mengingatnya samar. Namanya Karla. Aku rindu, kamu dimana?
Infeksi Sosial
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Monday, September 12, 2011
Posted at : 10:37 PM
Gue teringet sama seorang temen, waktu yang namanya Blackberry keluar, dia girang bukan main, seneng karena kemungkinan untuk sosialisasi dengan baik semakin kebuka lebar jalannya, dan dia pun beli satu. Seneng? Pasti, lo bisa ngontak siapapun dimanapun dan kapanpun, semacem address book yang bisa ngasih feedback langsung. Bener, dia memanfaatkan gadget satu itu dengan baik, gak cuma pake, tapi bisa memanfaatkan semua fitur yang ada didalemnya secara maksimal. Hidup jadi lebih mudah, kehidupan sosial berasa bersinar dan lo gak akan ngerasa kesepian, karena manusia punya kecenderungan untuk sosialisasi ketika keadaan memungkinkan, dan gadget satu itu ngasih semua kemudahan yang dibutuhin untuk ngelakuin sosialisasi.
Itu awalnya, lama kelamaan dia pun mikir, gunanya apa? Maksudnya, emang bener lo bisa sosialisasi sama siapapun dalam waktu yang gak terbatas, tapi apa iya kalo itu yang dia butuhin, sebagai manusia yang utuh? Ketika suatu saat, lo enek dengan semua hal yang ada di dunia ini, kenyang sama temen, mual sama cinta, dan ngerasa cukup banyak nelen yang namanya konflik sosial, apa sih yang lo butuhin selain waktu sempurna buat diri sendiri? Waktu yang lo ciptain buat lo dan hanya buat lo sendiri, masa iya lo ga butuh itu?
Gue pernah bilang di blog ini juga, nggak ada manusia yang mau sendirian barang satu jam, ya, gue pernah bilang begitu. Tapi kayaknya sekarang gue harus menarik kata-kata itu. Itu hanya sebatas statement yang gue keluarin disaat-saat tertentu, karena lo tau, manusia dikasih otak buat mikir dan hati buat merasa, saat hati mengalami perubahan, otak pun bakal berubah. Waktu itu gue sendirian, atau seenggaknya, merasa seperti itu, disaat lo nggak punya siapa-siapa bahkan untuk diajak ngobrol, jelas lo merasa kalo lo nggak akan pernah mau ngerasa sendirian karena sendirian nggak enak, masalahnya, gue waktu itu udah lupa apa rasanya ada di tengah kerumunan. Apa yang gue pandang sekarang beda dari dulu, itu dua tahun lalu, masa iya gue nggak mengalami perubahan sama sekali?
Temen gue bilang, dari sekian banyak kontak yang ada di handphonenya, berapa sih yang bener-bener dia kontak? Dia temuin dan ajak ngobrol? Katanya sepuluh pun nggak sampe. Ramai, tapi sepi. Mungkin itu yang dia rasain, terlebih efek lainnya dimana dia merasa nggak punya waktu untuk dirinya sendiri. Lalu? Kenapa nggak diciptain aja waktu itu? Nggak segampang itu, ketika ada kemungkinan sekecil apapun untuk berinteraksi, manusia sulit untuk nolaknya walau mereka nggak ingin, karena interaksi itu menyenangkan dan manusia itu makhluk sosial. Memang menyenangkan, tapi kesenangan ini juga yang kadang membuat kita lupa kalo manusia pun itu makhluk yang individual. Makhluk yang didorong oleh alam untuk bertahan hidup dengan kemampuannya sendiri terlepas perannya sebagai bagian dari sebuah komunitas sosial.
Temen gue pun melakukan sebuah gerakan berani, dia mematikan handphonenya total, memutus segala kemungkinan-kemungkinan sosialisasi tersebut sampai pada titik dimana ketika ada orang yang ingin bener-bener sosialisasi sama dia, maka dia harus ditemui langsung. Beberapa waktu yang lalu, gue menemui dia dan apa yang terjadi? Katanya, dia nemuin frekuensi hidupnya yang udah lama hilang, sosialisasi ketika ingin dan waktu berkualitas untuk dirinya sendiri bisa diciptakan dengan mudah. Ada perubahan pembawaan dari dia, gue nggak tau detailnya gimana, tapi kayaknya, pertanyaan dia yang dulu diajuin ke gue—yang selalu ada di jidatnya itu—seolah udah nggak ada. Mungkin udah ketemu? Mungkin.
Gimana, apa, caranya, harus ngapain.
Seperti temen gue, gue juga ngerasa jenuh. Merasa harus cek twitter tiap satu jam sekali, facebook yang juga gue intip, Messangger yang bahkan gue selalu invisible. Gue berharap bisa melakukan sesuatu disana, sayangnya nggak. Nggak tapi gue cek, gue liat, kumpulan orang-orang entah darimana ada di depan mata gue tapi sama sekali nggak bisa gue sentuh, sosialisasi. Andaikan iya, kosong. Nggak ada rasanya. Apa itu yang gue cari? Nggak.
Bukan itu.
New Menu
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Tuesday, August 23, 2011
Posted at : 1:49 AM
Dimana orang bisa saling maki, tendang-tendangan, dan keplak helm. Yang ngemudi seruntulan, yang leletnysa kayak orang mau kawinan, yang nyebrang dengan mental kuat Iman (nyebrang dulu, kalo ketabrak ya takdir). Yang namanya nyawa udah wasalam kagak keitung yang kecabut disana, dari kesenggol spion, nabrak bemper, sampe batok kepala kelindes truk tronton. Tapi disaat semua faktor minus itu ngebuat hati ini nyes dan mikir-mikir lagi buat berkendara, ada aja bapak-bapak yang nawarin ta’jil di tengah lampu merah yang lamanya kaya dosa.
“Teh manis dek, udah adzan..”
:’)
==
Hi yo silver! Been a long time. Belakangan ini ceritanya gue udah sibuk masuk kuliah nih, ceritanya. Tapi kalo dibilang gara-gara itu jadi jarang nulis ya kagak juga, waktu luang masih banyak, waktu nganggur dipake leha-leha, dan tv series sangat menggoda sekali untuk dicolek tombol play nya. Jadi gue nggak sibuk, sebenernya, padet sih padet, tapi tetep fleksibel. Kenapa jarang nulis, ya gue punya satu masalah sih, masalah niat *plak*.
Gak ada cerpen, gak ada dialy rants, gak ada karangan sistematis menye-menye yang ngebuat orang paling humble pun siap menyediakan telapak tangannya buat ngegampar. Padahal bulan agustus mau abis, tapi entri baru sekian, bulan puasa mau abis, tapi nggak ada kenangan yang dikristalisasi kedalam bentuk tulisan. No probs, selama gue menjalaninya dengan cengar-cengir inosen dan ketawa-ketiwi garing, gue kira gue gak perlu tulisan. Elah, becanda, tulisan itu bentuk katarsis satu pihak yang sempurna men, gak mungkin juga gue tinggalin. Ya terus? Tulisan ini mau dibawa kemana? Ya suka-suka gue.
Ngomongin soal kuliah, sekarang kayaknya gue udah agak tenang dikit, lega. Karena, ngobrol soal kuliah, ujung-ujungnya nggak jauh dari yang namanya karir, ya seenggaknya, level gue udah naek dari pengangguran jadi mahasiswa, ceritanya, tenang dikit deh. Dapet tempat kuliah yang bagus, jurusan yang oke, cewek-cewek kampus yang cakep (ngeceng, men), dan pacar yang cakep *lha*. Semuanya kerasa lebih baik, menyenangkan, dan nggak perlu lagu ngurusin tetek bengek permasalahan aneh-aneh. Bebas, men. Permasalahan disini yaa, segala yang pernah mampir sekitar setaun belakangan rasanya coplok gitu aja, di satu titik kayaknya gue tercerahkan—yang semoga aja bukan temporer.
Hubungan sama keluarga juga makin baik, super sekali. Pulang kampung bisa cipika-cipiki sama keluarga, becanda bebas sama tuyul-tuyul itu dua, yang sekarang tingginya udah berkembang dalam level yang membahayakan. Masalahnya, mas Bantong, kalo badan lo gede tapi titit lo kecil, nanti pacar lo beberapa tahun kedepan yang kasian. Oke, gue bukan kakak yang berhak mendapat titel best brother of the year emang, tapi seenggaknya gue tau dong cara biar mereka nggak jauh-jauh hubunganya sama kakaknya yang ngganteng ini (pake ‘ng’, men, maknanya dilipat dua). Itu tuyul umurnya uda duabelas, taun depan udah masuk SMP, bentar lagi udah kenal sama yang namanya masturbasi kayaknya. Mungkin gue harus ngajuin proposal kamar pribadi kali yak buat itu anak? Wakaka.
Si bokap kerjaannya udah mulai greng, men. Tandanya apa? Jadi jarang ngehubungin gue buat minta tolong. Syit men, tapi bagus deh, seenggaknya udah punya duit cukup kalo mau cari istri lagi. Katanya, mau cari yang Abege. Sableng.
Random? Gak juga ah.
Berapa orang yang udah bilang gue itu suram? Entah. Lalu berapa yang bilang gue nggak punya semangat hidup? Lupa. Berapa pula yang bilang gue pundungan? Gak keitung. Gue menolak ide itu, tentunya, toh gue masih pengen dianggap sebagai manusia sehat, yang normal berfungsi sebagaimana mestinya. Siapa yang nggak pengen diterima di lingkungannya sih? Bergaul tanpa harus memikirkan hal-hal yang nggak perlu. Itu, pikiran gue. Tapi dengan bukti sebanyak itu, para juri memutuskan gue adalah manusia yang diklasifikasikan sebagai makhluk suram, apa gue harus terus-terusan menolak itu? Poinnya, hey, bagaimana kalau apa-apa yang mereka bilang itu bener? Apa gue harus tetap menolak kenyataan?
Mungkin gue suram, tapi gue menyesuaikan diri.
Berapa orang yang naikin alis mendengar polah tingkah gue? Tauk. Gua hanya melakukan hal-hal yang pengen gue lakuin, nggak kurang dan nggak lebih. Kalau penilaian orang lain rada miring, bukan salah gue, apalagi mereka. Ini hanya soal sudut pandang yang kebetulan berbeda. Buat gue mungkin adalah hal yang biasa, tapi buat mereka adalah hal yang bahaya. Gue hanya seneng melakukan hal-hal yang orang lain jarang lakuin. Naik motor jarak jauh, hiking sendirian. Beberapa bilang bahaya, buat gue sih hiburan. Dan kalau emang ternyata bahaya, yang penting gue menikmati saat-saat gue melakukannya. Toh saat-saat itu adalah saat-saat gue merasa hidup gue lebih berarti, ngalahin diri sendiri untuk kepuasan. Pengorbanan pasti ada, tapi tetep menyenangkan.
Mungkin lo bilang bahaya, tapi gue menikmatinya, itu cukup kan?
Hidup itu menyenangkan. Makanya, sayang kalau nggak dinikmati dengan popcorn dan soda di tangan. Apa yang gue lakuin adalah, gimana caranya gue memanfaatkan waktu-waktu gue mumpung masih hidup untuk menjadikan hidup gue lebih terasa hidup. Gue pengen mencicipi tiap detilnya, perdetik, permilisekon, bagian paling kecil dari hidup nggak pengen gue lewatin, merasakan semuanya sendiri, pake mata, kuping, kulit dan lidah. Tiap jengkalnya, tiap langkah yang pernah gue ambil adalah satu kata baru yang bakalan mengisi lembaran hidup gue. Itu. Karenanya gue berpergian, karenanya gue berkendara, karena ketika gue mati nanti, gue bisa ngobrol sebentar sama cucu gue, kalo hidup gue itu.. menyenangkan.
Gue mau hidup, hanya itu, hidup yang bener-bener merasakan saripati hidup.
Gue bilang, sengsara itu setia. Derita itu pelengkap. Mengikuti bagai roh kemanapun lo pergi, mendorong kedalam jurang yang dalem, membuat lo berlutut memohon ampun, menyiksa dengan cambukan-cambukan kelewat tajam sampai daging terbelah. Mereka ada. Mereka hadir dalam bentuk yang begitu kejamnya, begitu jijik sampai mata pun terpejam karena baunya yang sengit. Tapi mereka ada buat gue, membuat gue hidup. Karena, hidup nggak akan menyenangkan jika terlalu sempurna, hidup akan kosong bila tak ada kata hampa, karena.. tanpa cacat, hidup tak bisa dibilang menarik. Maka gue bisa bilang, sengsara itu fitrah, kesempatan besar untuk menguji diri, memecut otot, mematahkan tulang, menajamkan taring. Karenanya, gue nggak akan bisa berkembang, diam di tempat menunggu ajal dengan wajah yang rata tanpa senyum. Datar, karena gue nggak pernah mengalami hal-hal sulit, yang membuat gue bahagia ketika gue menyelesaikan persoalan tersebut.
Gue pernah jatuh. Karena sengsara. Tapi gue tetep bangun lagi. Dan gue pun terjatuh lagi tanpa bisa bangun. Gue pun menggeliat, berusaha menggerakkan tiap senti dari badan gue untuk bangun, bergerak-gerak perlahan, lalu merangkak. Lalu apa? Gue jatuh lagi. Ke tanah yang basah, dengan wajah berhias lumpur. Dingin. Tapi toh, gue masih hidup, kaki gue sebagai tumpuan masih terpasang, tangan gue sebagai senjata masih ada pada tempatnya. Tujuan gue hanya satu, bangun lagi dan kembali menikmati hidup yang emang seharusnya dari awal gue nikmatin. Entah berapa kali lagi harus jatuh, yang jelas, hanya diam nggak akan menghasilkan apa-apa, menggerutu dengan mulut berlumur lumpur hanya membuat tampang keliatan kusut. Bangun, dan bangun lagi. Karena gue, dan tentunya kamu, nan, punya banyak hal yang harus dijalani. Perjalanan menuju hidup tenang dengan cucu yang lari-lari sepanjang hari itu masih panjang. Sini, tak gandeng tangannya.
Credit: Makasih buat mas Garib untuk pencerahannya.
Fry-ends.
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Wednesday, August 03, 2011
Posted at : 3:49 AM
Gue gak percaya gue masih melek, sama kayak ga percayanya ketika dibilangin soal interview gue tempo hari, katanya Inggris gue paling lancar, less grammar mistakes, dan satu-satunya yang ngejawab pake full inggris. Percaya? Gue mah kagak. Jadi, seperti biasa, sebagai prolog gue menempatkan derita gue pribadi soal susahnya tidur malem—dan hangover siangnya, tentunya minus tiga shots tequila. Oh yeah, gue nggak bisa ngebayangin muka-muka anak rohis pas baca paragraf ini. Respon yang paling masuk akal: “tobat akhi..”
Oke ngaco. One leap for another. Gue lagi di Jakarta. Devil’s Playground, Lair of the Demons, Lucifer’s Sanctuary, atau apalah nama keren yang ngebuat lidah muter lainnya. Yang jelas pulang kampung, dan kalo ada satu dari elo yang beranggapan kalo gue pulang buat menjalankan puasa pertama bareng keluarga tertjinta, maap-maap aje, kagak. Kagak salah lagi. Kidding. But it’s true. Naaah.. kena deh.
Apaan.
Jadi, suatu malam yang gelap, ketika hujan pun berubah embun, gue melakukan pembicaraan dengan seorang kawan lama, via telpon. Dan isi dari pembicaraan itu kurang lebih membahas yang namanya pertemanan, lebih sempitnya sih, hanya sebuah kasus, tapi menggelitik. Menggelitik? Iya, impuls yang cukup kuat untuk ngebuat gue yang otaknya segede biji kedongong—kecil tapi menusuk *halah—kepikiran selama beberapa hari. Yeah beberapa hari, harusnya gue bisa menuliskan ide itu, rangsangan itu di hari gue ngobrol kemaren, tapi sayangnya pantat gue di pantek ke bantal dan mata gue dipaku ke layar laptop yang menampilkan duet Bromance Jared Padalecki dan Jensen Ackels di Supernatural, jadinya ya.. ide pun menguap bagaikan rokok putih yang lima menit disedot udah tinggal filter.
*Btw, pantatnya Jensen Ackles semok gilak.
*ehem
Temen, pertemanan, sahabat, pacar. Hal-hal dalam koma ini nggak punya tolak ukur, lo nggak bisa mengatakan seberapa erat seseorang berteman pake gelas ukur, seberapa cintanya lo sama pacar, seberapa relanya lo berkorban buat sohib lo. Tentu, kecuali lo Darwinis sejati yang mau bikin patokan-patokan khayal tentang hal-hal tersebut. Ini metafisik. Sejujurnya, gue kadang penasaran, sampe batas manakah yang namanya stranger bisa melemapaui batas sehingga bisa dinamakan temen? Dan sampai dimana yang namanya temen ini bisa disebut sahabat? Apa dari jangka waktu? Seberapa lama seseorang berhubungan? Atau dari kualitas waktu yang digunakan? Atau hanya berdasarkan kesamaan minat dan tujuan? Ini subjektif, tiap orang punya definisi dan misinya masing-masing soal ini toh. Dan goblok total tanpa kompromi kalo ada orang yang maksain pandangannya soal pertemanan ke orang lain. Garansi goblok tiga tahun.
Metafisik. Makanya nggak ada harga pasti tentang sebuah pertemanan. Pastinya mahal, apalagi ini ada sangkut-pautnya sama yang namanya waktu, proses pembuatan, dan gimana menjaganya supaya tetap ajeg. Perjuangan untuk menjadikan seseorang sebagai teman itu nggak enteng, yah walau mungkin prosesnya berjalan dengan mengikuti arus, tapi pasti ada berat-beratnya.
Pertemanan itu soal preferensi. Lo sendiri yang milih siapa aja yang menjadi temen lo, atau sebaliknya, siapa aja yang cocok jadi musuh. Alasannya bisa macem-macem, err.. kalo gue bilang, semacem lingkaran-lingkaran kecil tentang ketertarikan kita sama orang lain. Entah itu hobi yang sama, pergaulan yang sama, minat yang sama, pola pikir, fisik, kondisi psikis, dan hal-hal lainnya. Lo milih bertemen sama si A karena dia demen AC/DC, fine, nggak ada yang salah, dan bukan nggak mungkin lingkaran-lingkaran kecil tadi bersinggungan satu sama lain, dan level hubungan meningkat menjadi sohib? Siapa yang tau. Hey hey, lo mungkin bisa bilang, “gue nggak pilih-pilih temen.” Oke, tapi apa iya? Gue rasa lo juga nggak akan nyaman ngobrol sama orang yang bawa-bawa Demon Goetia ke kampus, sementara lo penghuni tetap gereja pas hari minggu.
Nggak mudah untuk menciptakan sebuah pertemanan yang sehat, dimana lo bisa diterima dengan tangan terbuka lebar tanpa kerutan di dahi. Makanya, kadang beberapa orang mencoba terlalu keras demi mendapatkan hal ini. Sayangnya, nggak semua cara garis keras ini kedengeran sehat dan waras di kuping. Cara yang nggak sehat buat dirinya sendiri, dan juga untuk orang-orang yang jadi target pertemanannya. Janji yang hampa, sedikit tipu, atau bahkan usaha untuk membeli pertemanan—pakek duit. Sehat? Nggak. Dapet? Mungkin iya, tapi ya itung hari pake jari. Dan mereka mengambil jalan itupun bukan tanpa alasan, kayaknya. Faktor terlalu banyak, apalagi kalo ngomongin soal psikis.
Bleh..
Tiga hari dalam keadaan braindead, rasanya gue mau garuk aspal. Tau nggak? Kalau kita mengunyah terlalu banyak informasi, asupan stream data yang terus-terusan masuk ke kepala, tapi tanpa ada output yang bisa dikeluarin, rasanya kayak.. telor yang lo masukin microwave. Kaboom. Isi kepala lo muncrat ke kaca.
Ya nggak begitu juga sih.
Mungkin gue hanya keabisan cerita, mungkin gue perlahan menjadi plain-old-empty-brainded-dull-man yang nggak menarik. Mungkin juga karena gue udah lama nggak mendapatkan materi dari kuliahan—psikologi, yang mana, penerapannya bisa lo langsung taro kedalam tulisan, gosipin orang pake teori, semacam itulah. Atau mungkin juga, hidup gue jadi makin asoy, nggak ada beban pikiran yang ngebuat gue ngerutin jidat dan smoking frenzy. Yang manapun, ngebuat gue ngerasa kaku tiap kali mau norehin tinta di ms word. Aha, penggunaan majas dalam kalimat, itu tandanya gue jujur.
Apapun itu, yang pasti gue nggak ngerasa bosen. Tontonan banyak, materi informasi yang bisa gue kunyah di internet juga panjang listnya, pacar juga senantiasa minta ditelponin tiap hari—manja-manjaan, leyeh-leyeh, adu imut, goyang lidah, semua yang bisa lo sebut—dan motor gue makin keren tiap hari (lha). Apaan sih, maksud gue, post ini bukan this-is-so-random-shit thingy yang pointless, tapi lebih ke well-my-life-is-great-afterall thingy yang nandain gue baik-baik aja. Great good better than you sick minded people out there. Kidding.
Bukan juga stagnasi, pengumpulan informasi yang begitu njeblug banyaknya menandakan gue nggak berhenti disini, tepatnya, otak gue, ogah amit-amit kalo gue sampe jadi tumpul. Kenapa? Badan gue gede soalnya. Masih tanya kenapa? Tau kan, yang namanya manusia itu selalu bawa cap stempel kemanapun mereka pergi, dan tangannya selalu gatel kalo ngeliat orang—pengennya jedotin itu stempel ke muka, masalahnya adalah, stereotipe dari badan gede = idiot. Makanya, kalo lo memilih untuk hidup dengan remarkable body (ecie), maka lo harus punya yang namanya remarkable brain (ciehuhuy). Dan sebenernya, kalau tadi gue bilang post ini kagak pointless, gue mulai merasa tulisan ini udah kagak jelas juntrungannya.
Amen.