Skinpress Demo Rss

Infeksi Sosial

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Monday, September 12, 2011

Posted at : 10:37 PM

Ngomongin soal hubungan antar manusia sekarang itu nggak bakalan mungkin tanpa melibatkan yang namanya teknologi. Segala hal ada hubungannya dengan apa yang kita pencet atau terkoneksi ke internet. Memudahkan emang, orang-orang yang ada dibelahan dunia lain bisa lo kontak dengan segera saat lo mau, cukup pencet satu dua tombol dan lo bisa ngobrol dengan bebas, itu teknologi, dan sesuai dengan tujuan awal teknologi terus berkembang, emang hal ini ditujuin supaya kehidupan manusia dimudahkan. Bisa digarisbawahi tuh, memudahkan, dan bukannya malah bikin susah.

Gue teringet sama seorang temen, waktu yang namanya Blackberry keluar, dia girang bukan main, seneng karena kemungkinan untuk sosialisasi dengan baik semakin kebuka lebar jalannya, dan dia pun beli satu. Seneng? Pasti, lo bisa ngontak siapapun dimanapun dan kapanpun, semacem address book yang bisa ngasih feedback langsung. Bener, dia memanfaatkan gadget satu itu dengan baik, gak cuma pake, tapi bisa memanfaatkan semua fitur yang ada didalemnya secara maksimal. Hidup jadi lebih mudah, kehidupan sosial berasa bersinar dan lo gak akan ngerasa kesepian, karena manusia punya kecenderungan untuk sosialisasi ketika keadaan memungkinkan, dan gadget satu itu ngasih semua kemudahan yang dibutuhin untuk ngelakuin sosialisasi.

Itu awalnya, lama kelamaan dia pun mikir, gunanya apa? Maksudnya, emang bener lo bisa sosialisasi sama siapapun dalam waktu yang gak terbatas, tapi apa iya kalo itu yang dia butuhin, sebagai manusia yang utuh? Ketika suatu saat, lo enek dengan semua hal yang ada di dunia ini, kenyang sama temen, mual sama cinta, dan ngerasa cukup banyak nelen yang namanya konflik sosial, apa sih yang lo butuhin selain waktu sempurna buat diri sendiri? Waktu yang lo ciptain buat lo dan hanya buat lo sendiri, masa iya lo ga butuh itu?

Gue pernah bilang di blog ini juga, nggak ada manusia yang mau sendirian barang satu jam, ya, gue pernah bilang begitu. Tapi kayaknya sekarang gue harus menarik kata-kata itu. Itu hanya sebatas statement yang gue keluarin disaat-saat tertentu, karena lo tau, manusia dikasih otak buat mikir dan hati buat merasa, saat hati mengalami perubahan, otak pun bakal berubah. Waktu itu gue sendirian, atau seenggaknya, merasa seperti itu, disaat lo nggak punya siapa-siapa bahkan untuk diajak ngobrol, jelas lo merasa kalo lo nggak akan pernah mau ngerasa sendirian karena sendirian nggak enak, masalahnya, gue waktu itu udah lupa apa rasanya ada di tengah kerumunan. Apa yang gue pandang sekarang beda dari dulu, itu dua tahun lalu, masa iya gue nggak mengalami perubahan sama sekali?

Temen gue bilang, dari sekian banyak kontak yang ada di handphonenya, berapa sih yang bener-bener dia kontak? Dia temuin dan ajak ngobrol? Katanya sepuluh pun nggak sampe. Ramai, tapi sepi. Mungkin itu yang dia rasain, terlebih efek lainnya dimana dia merasa nggak punya waktu untuk dirinya sendiri. Lalu? Kenapa nggak diciptain aja waktu itu? Nggak segampang itu, ketika ada kemungkinan sekecil apapun untuk berinteraksi, manusia sulit untuk nolaknya walau mereka nggak ingin, karena interaksi itu menyenangkan dan manusia itu makhluk sosial. Memang menyenangkan, tapi kesenangan ini juga yang kadang membuat kita lupa kalo manusia pun itu makhluk yang individual. Makhluk yang didorong oleh alam untuk bertahan hidup dengan kemampuannya sendiri terlepas perannya sebagai bagian dari sebuah komunitas sosial.

Temen gue pun melakukan sebuah gerakan berani, dia mematikan handphonenya total, memutus segala kemungkinan-kemungkinan sosialisasi tersebut sampai pada titik dimana ketika ada orang yang ingin bener-bener sosialisasi sama dia, maka dia harus ditemui langsung. Beberapa waktu yang lalu, gue menemui dia dan apa yang terjadi? Katanya, dia nemuin frekuensi hidupnya yang udah lama hilang, sosialisasi ketika ingin dan waktu berkualitas untuk dirinya sendiri bisa diciptakan dengan mudah. Ada perubahan pembawaan dari dia, gue nggak tau detailnya gimana, tapi kayaknya, pertanyaan dia yang dulu diajuin ke gue—yang selalu ada di jidatnya itu—seolah udah nggak ada. Mungkin udah ketemu? Mungkin.

Gimana, apa, caranya, harus ngapain.

Seperti temen gue, gue juga ngerasa jenuh. Merasa harus cek twitter tiap satu jam sekali, facebook yang juga gue intip, Messangger yang bahkan gue selalu invisible. Gue berharap bisa melakukan sesuatu disana, sayangnya nggak. Nggak tapi gue cek, gue liat, kumpulan orang-orang entah darimana ada di depan mata gue tapi sama sekali nggak bisa gue sentuh, sosialisasi. Andaikan iya, kosong. Nggak ada rasanya. Apa itu yang gue cari? Nggak.

Bukan itu.

0 comment: