Fry-ends.
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Wednesday, August 03, 2011
Posted at : 3:49 AM
Two and a half.
Gue gak percaya gue masih melek, sama kayak ga percayanya ketika dibilangin soal interview gue tempo hari, katanya Inggris gue paling lancar, less grammar mistakes, dan satu-satunya yang ngejawab pake full inggris. Percaya? Gue mah kagak. Jadi, seperti biasa, sebagai prolog gue menempatkan derita gue pribadi soal susahnya tidur malem—dan hangover siangnya, tentunya minus tiga shots tequila. Oh yeah, gue nggak bisa ngebayangin muka-muka anak rohis pas baca paragraf ini. Respon yang paling masuk akal: “tobat akhi..”
Oke ngaco. One leap for another. Gue lagi di Jakarta. Devil’s Playground, Lair of the Demons, Lucifer’s Sanctuary, atau apalah nama keren yang ngebuat lidah muter lainnya. Yang jelas pulang kampung, dan kalo ada satu dari elo yang beranggapan kalo gue pulang buat menjalankan puasa pertama bareng keluarga tertjinta, maap-maap aje, kagak. Kagak salah lagi. Kidding. But it’s true. Naaah.. kena deh.
Apaan.
Jadi, suatu malam yang gelap, ketika hujan pun berubah embun, gue melakukan pembicaraan dengan seorang kawan lama, via telpon. Dan isi dari pembicaraan itu kurang lebih membahas yang namanya pertemanan, lebih sempitnya sih, hanya sebuah kasus, tapi menggelitik. Menggelitik? Iya, impuls yang cukup kuat untuk ngebuat gue yang otaknya segede biji kedongong—kecil tapi menusuk *halah—kepikiran selama beberapa hari. Yeah beberapa hari, harusnya gue bisa menuliskan ide itu, rangsangan itu di hari gue ngobrol kemaren, tapi sayangnya pantat gue di pantek ke bantal dan mata gue dipaku ke layar laptop yang menampilkan duet Bromance Jared Padalecki dan Jensen Ackels di Supernatural, jadinya ya.. ide pun menguap bagaikan rokok putih yang lima menit disedot udah tinggal filter.
*Btw, pantatnya Jensen Ackles semok gilak.
*ehem
Temen, pertemanan, sahabat, pacar. Hal-hal dalam koma ini nggak punya tolak ukur, lo nggak bisa mengatakan seberapa erat seseorang berteman pake gelas ukur, seberapa cintanya lo sama pacar, seberapa relanya lo berkorban buat sohib lo. Tentu, kecuali lo Darwinis sejati yang mau bikin patokan-patokan khayal tentang hal-hal tersebut. Ini metafisik. Sejujurnya, gue kadang penasaran, sampe batas manakah yang namanya stranger bisa melemapaui batas sehingga bisa dinamakan temen? Dan sampai dimana yang namanya temen ini bisa disebut sahabat? Apa dari jangka waktu? Seberapa lama seseorang berhubungan? Atau dari kualitas waktu yang digunakan? Atau hanya berdasarkan kesamaan minat dan tujuan? Ini subjektif, tiap orang punya definisi dan misinya masing-masing soal ini toh. Dan goblok total tanpa kompromi kalo ada orang yang maksain pandangannya soal pertemanan ke orang lain. Garansi goblok tiga tahun.
Metafisik. Makanya nggak ada harga pasti tentang sebuah pertemanan. Pastinya mahal, apalagi ini ada sangkut-pautnya sama yang namanya waktu, proses pembuatan, dan gimana menjaganya supaya tetap ajeg. Perjuangan untuk menjadikan seseorang sebagai teman itu nggak enteng, yah walau mungkin prosesnya berjalan dengan mengikuti arus, tapi pasti ada berat-beratnya.
Pertemanan itu soal preferensi. Lo sendiri yang milih siapa aja yang menjadi temen lo, atau sebaliknya, siapa aja yang cocok jadi musuh. Alasannya bisa macem-macem, err.. kalo gue bilang, semacem lingkaran-lingkaran kecil tentang ketertarikan kita sama orang lain. Entah itu hobi yang sama, pergaulan yang sama, minat yang sama, pola pikir, fisik, kondisi psikis, dan hal-hal lainnya. Lo milih bertemen sama si A karena dia demen AC/DC, fine, nggak ada yang salah, dan bukan nggak mungkin lingkaran-lingkaran kecil tadi bersinggungan satu sama lain, dan level hubungan meningkat menjadi sohib? Siapa yang tau. Hey hey, lo mungkin bisa bilang, “gue nggak pilih-pilih temen.” Oke, tapi apa iya? Gue rasa lo juga nggak akan nyaman ngobrol sama orang yang bawa-bawa Demon Goetia ke kampus, sementara lo penghuni tetap gereja pas hari minggu.
Nggak mudah untuk menciptakan sebuah pertemanan yang sehat, dimana lo bisa diterima dengan tangan terbuka lebar tanpa kerutan di dahi. Makanya, kadang beberapa orang mencoba terlalu keras demi mendapatkan hal ini. Sayangnya, nggak semua cara garis keras ini kedengeran sehat dan waras di kuping. Cara yang nggak sehat buat dirinya sendiri, dan juga untuk orang-orang yang jadi target pertemanannya. Janji yang hampa, sedikit tipu, atau bahkan usaha untuk membeli pertemanan—pakek duit. Sehat? Nggak. Dapet? Mungkin iya, tapi ya itung hari pake jari. Dan mereka mengambil jalan itupun bukan tanpa alasan, kayaknya. Faktor terlalu banyak, apalagi kalo ngomongin soal psikis.
Bleh..
Gue gak percaya gue masih melek, sama kayak ga percayanya ketika dibilangin soal interview gue tempo hari, katanya Inggris gue paling lancar, less grammar mistakes, dan satu-satunya yang ngejawab pake full inggris. Percaya? Gue mah kagak. Jadi, seperti biasa, sebagai prolog gue menempatkan derita gue pribadi soal susahnya tidur malem—dan hangover siangnya, tentunya minus tiga shots tequila. Oh yeah, gue nggak bisa ngebayangin muka-muka anak rohis pas baca paragraf ini. Respon yang paling masuk akal: “tobat akhi..”
Oke ngaco. One leap for another. Gue lagi di Jakarta. Devil’s Playground, Lair of the Demons, Lucifer’s Sanctuary, atau apalah nama keren yang ngebuat lidah muter lainnya. Yang jelas pulang kampung, dan kalo ada satu dari elo yang beranggapan kalo gue pulang buat menjalankan puasa pertama bareng keluarga tertjinta, maap-maap aje, kagak. Kagak salah lagi. Kidding. But it’s true. Naaah.. kena deh.
Apaan.
Jadi, suatu malam yang gelap, ketika hujan pun berubah embun, gue melakukan pembicaraan dengan seorang kawan lama, via telpon. Dan isi dari pembicaraan itu kurang lebih membahas yang namanya pertemanan, lebih sempitnya sih, hanya sebuah kasus, tapi menggelitik. Menggelitik? Iya, impuls yang cukup kuat untuk ngebuat gue yang otaknya segede biji kedongong—kecil tapi menusuk *halah—kepikiran selama beberapa hari. Yeah beberapa hari, harusnya gue bisa menuliskan ide itu, rangsangan itu di hari gue ngobrol kemaren, tapi sayangnya pantat gue di pantek ke bantal dan mata gue dipaku ke layar laptop yang menampilkan duet Bromance Jared Padalecki dan Jensen Ackels di Supernatural, jadinya ya.. ide pun menguap bagaikan rokok putih yang lima menit disedot udah tinggal filter.
*Btw, pantatnya Jensen Ackles semok gilak.
*ehem
Temen, pertemanan, sahabat, pacar. Hal-hal dalam koma ini nggak punya tolak ukur, lo nggak bisa mengatakan seberapa erat seseorang berteman pake gelas ukur, seberapa cintanya lo sama pacar, seberapa relanya lo berkorban buat sohib lo. Tentu, kecuali lo Darwinis sejati yang mau bikin patokan-patokan khayal tentang hal-hal tersebut. Ini metafisik. Sejujurnya, gue kadang penasaran, sampe batas manakah yang namanya stranger bisa melemapaui batas sehingga bisa dinamakan temen? Dan sampai dimana yang namanya temen ini bisa disebut sahabat? Apa dari jangka waktu? Seberapa lama seseorang berhubungan? Atau dari kualitas waktu yang digunakan? Atau hanya berdasarkan kesamaan minat dan tujuan? Ini subjektif, tiap orang punya definisi dan misinya masing-masing soal ini toh. Dan goblok total tanpa kompromi kalo ada orang yang maksain pandangannya soal pertemanan ke orang lain. Garansi goblok tiga tahun.
Metafisik. Makanya nggak ada harga pasti tentang sebuah pertemanan. Pastinya mahal, apalagi ini ada sangkut-pautnya sama yang namanya waktu, proses pembuatan, dan gimana menjaganya supaya tetap ajeg. Perjuangan untuk menjadikan seseorang sebagai teman itu nggak enteng, yah walau mungkin prosesnya berjalan dengan mengikuti arus, tapi pasti ada berat-beratnya.
Pertemanan itu soal preferensi. Lo sendiri yang milih siapa aja yang menjadi temen lo, atau sebaliknya, siapa aja yang cocok jadi musuh. Alasannya bisa macem-macem, err.. kalo gue bilang, semacem lingkaran-lingkaran kecil tentang ketertarikan kita sama orang lain. Entah itu hobi yang sama, pergaulan yang sama, minat yang sama, pola pikir, fisik, kondisi psikis, dan hal-hal lainnya. Lo milih bertemen sama si A karena dia demen AC/DC, fine, nggak ada yang salah, dan bukan nggak mungkin lingkaran-lingkaran kecil tadi bersinggungan satu sama lain, dan level hubungan meningkat menjadi sohib? Siapa yang tau. Hey hey, lo mungkin bisa bilang, “gue nggak pilih-pilih temen.” Oke, tapi apa iya? Gue rasa lo juga nggak akan nyaman ngobrol sama orang yang bawa-bawa Demon Goetia ke kampus, sementara lo penghuni tetap gereja pas hari minggu.
Nggak mudah untuk menciptakan sebuah pertemanan yang sehat, dimana lo bisa diterima dengan tangan terbuka lebar tanpa kerutan di dahi. Makanya, kadang beberapa orang mencoba terlalu keras demi mendapatkan hal ini. Sayangnya, nggak semua cara garis keras ini kedengeran sehat dan waras di kuping. Cara yang nggak sehat buat dirinya sendiri, dan juga untuk orang-orang yang jadi target pertemanannya. Janji yang hampa, sedikit tipu, atau bahkan usaha untuk membeli pertemanan—pakek duit. Sehat? Nggak. Dapet? Mungkin iya, tapi ya itung hari pake jari. Dan mereka mengambil jalan itupun bukan tanpa alasan, kayaknya. Faktor terlalu banyak, apalagi kalo ngomongin soal psikis.
Bleh..
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment