Lo tanya masalah gue apa, gue jawab banyak. Dan mungkin seluruh manusia bakalan ngasih jawaban kolektif sama, banyak. Tapi secara objektif, lo bandingin masalah gue sama Jesus M. Christ, ya jelas banyakan dia, toh menurut literatur, bapak-bapak berjenggot tebal itu mengemban dosa seluruh umat manusia di pundaknya, elah. Gue nggak berbicara soal sekte atau agama tertentu, gue hanya seorang binatang bernama ilmiah homo sapiens yang lagi berusaha menuliskan sesuatu.
Berapa orang yang udah bilang gue itu suram? Entah. Lalu berapa yang bilang gue nggak punya semangat hidup? Lupa. Berapa pula yang bilang gue pundungan? Gak keitung. Gue menolak ide itu, tentunya, toh gue masih pengen dianggap sebagai manusia sehat, yang normal berfungsi sebagaimana mestinya. Siapa yang nggak pengen diterima di lingkungannya sih? Bergaul tanpa harus memikirkan hal-hal yang nggak perlu. Itu, pikiran gue. Tapi dengan bukti sebanyak itu, para juri memutuskan gue adalah manusia yang diklasifikasikan sebagai makhluk suram, apa gue harus terus-terusan menolak itu? Poinnya, hey, bagaimana kalau apa-apa yang mereka bilang itu bener? Apa gue harus tetap menolak kenyataan?
Mungkin gue suram, tapi gue menyesuaikan diri.
Berapa orang yang naikin alis mendengar polah tingkah gue? Tauk. Gua hanya melakukan hal-hal yang pengen gue lakuin, nggak kurang dan nggak lebih. Kalau penilaian orang lain rada miring, bukan salah gue, apalagi mereka. Ini hanya soal sudut pandang yang kebetulan berbeda. Buat gue mungkin adalah hal yang biasa, tapi buat mereka adalah hal yang bahaya. Gue hanya seneng melakukan hal-hal yang orang lain jarang lakuin. Naik motor jarak jauh, hiking sendirian. Beberapa bilang bahaya, buat gue sih hiburan. Dan kalau emang ternyata bahaya, yang penting gue menikmati saat-saat gue melakukannya. Toh saat-saat itu adalah saat-saat gue merasa hidup gue lebih berarti, ngalahin diri sendiri untuk kepuasan. Pengorbanan pasti ada, tapi tetep menyenangkan.
Mungkin lo bilang bahaya, tapi gue menikmatinya, itu cukup kan?
Hidup itu menyenangkan. Makanya, sayang kalau nggak dinikmati dengan popcorn dan soda di tangan. Apa yang gue lakuin adalah, gimana caranya gue memanfaatkan waktu-waktu gue mumpung masih hidup untuk menjadikan hidup gue lebih terasa hidup. Gue pengen mencicipi tiap detilnya, perdetik, permilisekon, bagian paling kecil dari hidup nggak pengen gue lewatin, merasakan semuanya sendiri, pake mata, kuping, kulit dan lidah. Tiap jengkalnya, tiap langkah yang pernah gue ambil adalah satu kata baru yang bakalan mengisi lembaran hidup gue. Itu. Karenanya gue berpergian, karenanya gue berkendara, karena ketika gue mati nanti, gue bisa ngobrol sebentar sama cucu gue, kalo hidup gue itu.. menyenangkan.
Gue mau hidup, hanya itu, hidup yang bener-bener merasakan saripati hidup.
Gue bilang, sengsara itu setia. Derita itu pelengkap. Mengikuti bagai roh kemanapun lo pergi, mendorong kedalam jurang yang dalem, membuat lo berlutut memohon ampun, menyiksa dengan cambukan-cambukan kelewat tajam sampai daging terbelah. Mereka ada. Mereka hadir dalam bentuk yang begitu kejamnya, begitu jijik sampai mata pun terpejam karena baunya yang sengit. Tapi mereka ada buat gue, membuat gue hidup. Karena, hidup nggak akan menyenangkan jika terlalu sempurna, hidup akan kosong bila tak ada kata hampa, karena.. tanpa cacat, hidup tak bisa dibilang menarik. Maka gue bisa bilang, sengsara itu fitrah, kesempatan besar untuk menguji diri, memecut otot, mematahkan tulang, menajamkan taring. Karenanya, gue nggak akan bisa berkembang, diam di tempat menunggu ajal dengan wajah yang rata tanpa senyum. Datar, karena gue nggak pernah mengalami hal-hal sulit, yang membuat gue bahagia ketika gue menyelesaikan persoalan tersebut.
Gue pernah jatuh. Karena sengsara. Tapi gue tetep bangun lagi. Dan gue pun terjatuh lagi tanpa bisa bangun. Gue pun menggeliat, berusaha menggerakkan tiap senti dari badan gue untuk bangun, bergerak-gerak perlahan, lalu merangkak. Lalu apa? Gue jatuh lagi. Ke tanah yang basah, dengan wajah berhias lumpur. Dingin. Tapi toh, gue masih hidup, kaki gue sebagai tumpuan masih terpasang, tangan gue sebagai senjata masih ada pada tempatnya. Tujuan gue hanya satu, bangun lagi dan kembali menikmati hidup yang emang seharusnya dari awal gue nikmatin. Entah berapa kali lagi harus jatuh, yang jelas, hanya diam nggak akan menghasilkan apa-apa, menggerutu dengan mulut berlumur lumpur hanya membuat tampang keliatan kusut. Bangun, dan bangun lagi. Karena gue, dan tentunya kamu, nan, punya banyak hal yang harus dijalani. Perjalanan menuju hidup tenang dengan cucu yang lari-lari sepanjang hari itu masih panjang. Sini, tak gandeng tangannya.
Credit: Makasih buat mas Garib untuk pencerahannya.
Berapa orang yang udah bilang gue itu suram? Entah. Lalu berapa yang bilang gue nggak punya semangat hidup? Lupa. Berapa pula yang bilang gue pundungan? Gak keitung. Gue menolak ide itu, tentunya, toh gue masih pengen dianggap sebagai manusia sehat, yang normal berfungsi sebagaimana mestinya. Siapa yang nggak pengen diterima di lingkungannya sih? Bergaul tanpa harus memikirkan hal-hal yang nggak perlu. Itu, pikiran gue. Tapi dengan bukti sebanyak itu, para juri memutuskan gue adalah manusia yang diklasifikasikan sebagai makhluk suram, apa gue harus terus-terusan menolak itu? Poinnya, hey, bagaimana kalau apa-apa yang mereka bilang itu bener? Apa gue harus tetap menolak kenyataan?
Mungkin gue suram, tapi gue menyesuaikan diri.
Berapa orang yang naikin alis mendengar polah tingkah gue? Tauk. Gua hanya melakukan hal-hal yang pengen gue lakuin, nggak kurang dan nggak lebih. Kalau penilaian orang lain rada miring, bukan salah gue, apalagi mereka. Ini hanya soal sudut pandang yang kebetulan berbeda. Buat gue mungkin adalah hal yang biasa, tapi buat mereka adalah hal yang bahaya. Gue hanya seneng melakukan hal-hal yang orang lain jarang lakuin. Naik motor jarak jauh, hiking sendirian. Beberapa bilang bahaya, buat gue sih hiburan. Dan kalau emang ternyata bahaya, yang penting gue menikmati saat-saat gue melakukannya. Toh saat-saat itu adalah saat-saat gue merasa hidup gue lebih berarti, ngalahin diri sendiri untuk kepuasan. Pengorbanan pasti ada, tapi tetep menyenangkan.
Mungkin lo bilang bahaya, tapi gue menikmatinya, itu cukup kan?
Hidup itu menyenangkan. Makanya, sayang kalau nggak dinikmati dengan popcorn dan soda di tangan. Apa yang gue lakuin adalah, gimana caranya gue memanfaatkan waktu-waktu gue mumpung masih hidup untuk menjadikan hidup gue lebih terasa hidup. Gue pengen mencicipi tiap detilnya, perdetik, permilisekon, bagian paling kecil dari hidup nggak pengen gue lewatin, merasakan semuanya sendiri, pake mata, kuping, kulit dan lidah. Tiap jengkalnya, tiap langkah yang pernah gue ambil adalah satu kata baru yang bakalan mengisi lembaran hidup gue. Itu. Karenanya gue berpergian, karenanya gue berkendara, karena ketika gue mati nanti, gue bisa ngobrol sebentar sama cucu gue, kalo hidup gue itu.. menyenangkan.
Gue mau hidup, hanya itu, hidup yang bener-bener merasakan saripati hidup.
Gue bilang, sengsara itu setia. Derita itu pelengkap. Mengikuti bagai roh kemanapun lo pergi, mendorong kedalam jurang yang dalem, membuat lo berlutut memohon ampun, menyiksa dengan cambukan-cambukan kelewat tajam sampai daging terbelah. Mereka ada. Mereka hadir dalam bentuk yang begitu kejamnya, begitu jijik sampai mata pun terpejam karena baunya yang sengit. Tapi mereka ada buat gue, membuat gue hidup. Karena, hidup nggak akan menyenangkan jika terlalu sempurna, hidup akan kosong bila tak ada kata hampa, karena.. tanpa cacat, hidup tak bisa dibilang menarik. Maka gue bisa bilang, sengsara itu fitrah, kesempatan besar untuk menguji diri, memecut otot, mematahkan tulang, menajamkan taring. Karenanya, gue nggak akan bisa berkembang, diam di tempat menunggu ajal dengan wajah yang rata tanpa senyum. Datar, karena gue nggak pernah mengalami hal-hal sulit, yang membuat gue bahagia ketika gue menyelesaikan persoalan tersebut.
Gue pernah jatuh. Karena sengsara. Tapi gue tetep bangun lagi. Dan gue pun terjatuh lagi tanpa bisa bangun. Gue pun menggeliat, berusaha menggerakkan tiap senti dari badan gue untuk bangun, bergerak-gerak perlahan, lalu merangkak. Lalu apa? Gue jatuh lagi. Ke tanah yang basah, dengan wajah berhias lumpur. Dingin. Tapi toh, gue masih hidup, kaki gue sebagai tumpuan masih terpasang, tangan gue sebagai senjata masih ada pada tempatnya. Tujuan gue hanya satu, bangun lagi dan kembali menikmati hidup yang emang seharusnya dari awal gue nikmatin. Entah berapa kali lagi harus jatuh, yang jelas, hanya diam nggak akan menghasilkan apa-apa, menggerutu dengan mulut berlumur lumpur hanya membuat tampang keliatan kusut. Bangun, dan bangun lagi. Karena gue, dan tentunya kamu, nan, punya banyak hal yang harus dijalani. Perjalanan menuju hidup tenang dengan cucu yang lari-lari sepanjang hari itu masih panjang. Sini, tak gandeng tangannya.
Credit: Makasih buat mas Garib untuk pencerahannya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment