Demonic Pride: Part III
Filed Under (Demonic Pride,For Remember ) by Pitiful Kuro on Monday, March 08, 2010
Posted at : 1:04 AM
Demonic Witch With Angelic Twitches
“Gw yang kesana! Lo diem, diem!”
“Kagak! Gue yang kesana, nyasar kan lo?”
“Kagaak, gue kagak nyasar! FIB kan? FIB? Kanan doang?”
“Aaaah.. dieem!”
*pett*
Grumble.. nenek tua yang memang kalo sudah pikun pasti kerjaannya marah-marah terus, ah, benturan usia memang kadang membuat orang menjadi tambah menyebalkan berbanding lurus dengan waktu yang dilaluinya. Kemeja flanel yang melekat di badan sudah lepek, sambil menggerutu, saya melewati kerumunan mahasiswa yang menatap saya terheran. Ya tentu saja. Di kampus bonafit semacam ini ada seorang lucu yang pakaiannya bisa disamakan dengan tukang pungut sampah. Ah tuan, nyonya, hanya berusaha berjalan senyaman mungkin dan tanpa paksaan. Boleh kan?
Dan sampai.. di tempat penuh kenangan yang beberapa tahun lalu saya injak dengan penuh.. apalah, kenistaan mungkin? Dia berdiri disana, dengan payungnya tegak berdiri, melindungi wajahnya dari hujan yang berusaha mencolek jahil. Gatal rasanya ingin tertawa setiap bertemu dengan orang yang satu ini. Kesan yang ditimbulkan sangat kontradiksi dengan kenampakan fisik yang dimilikinya, antara nenek sihir tua sepuh beradu dengan seorang wanita biasa yang tidak kenal bau kejam. Dua hal berbeda, yang satu ingin sekali rasanya saya jitak, dan satu lagi mungkin, ingin saya tatap dengan senyuman ternista yang saya miliki.
“Nah! Kagak nyasar kan gue?”
“Alaah, jangan sok deh lo, payung nih!”
“Gak usah!”
“Sok sehat, sok kuat! Mana? Batuk tuh lo!”
“Biarin!”
Lalu kita berjalan, menuju destinasi yang sudah ditetapkan sebelumnya, sebuah tempat makan biasa yang ‘tidak biasa’. Mungkin, ketidakbiasaan yang dimiliki tempat ini telah membuat saya, dan dia sama-sama merasa iri. Tempat apakah sebetulnya? Biasa saja, hanya sebuah fakultas di sebuah universitas ternama di bilangan Depok. Hanya saja, isi dari tempat ini adalah kumpulan orang-orang diluar nalar yang pola pikirnya membuat saya ngiler sebanyak mungkin. Yeah, dalam satu tempat berkumpul orang-orang menarik yang memungkinkan untuk saya ajak tukar pikiran, suatu hal yang mungkin tidak dapat saya temukan di tempat saya tinggal sekarang, tentu saja saya ngiler.
Disini kami duduk, di sebuah meja cukup besar dengan lantai penuh coklat khas hujan yang becek, hujan sudah berhenti, menyisakan pengap yang menekan udara dengan hawa hangatnya. Kodok dan serangga-serangga yang berlindung dibalik dedaunan rontok mungkin sedang menghela nafas sedalam-dalamnya, mengisi paru-paru dan trakea mereka dengan segarnya udara hujan yang tawar. Namun dia tetap standar, maksud saya, tidak bergeming. Tentunya tidak biasa bagi saya untuk menemui dia, bahkan dia sendiri sebelumnya mengetahui bahwa dia adalah orang yang enggan saya temui secara langsung.
Film apik tidak dimulai dengan konflik utama, tapi diawali dengan introduksi, pengenalan masalah, dan barulah ke pokok permasalahan. Begitupun juga perbincangan saya dengannya, karena apa yang saya bawa ke dia adalah hal yang tidak bisa dikatakan baik—atau kita boleh mengatakannya juga, tidak pernah dikatakan baik. Maka memberikan straight penuh ke arah muka adalah sama saja bunuh diri, jab-jab ringan yang mengarah ke pundak tentunya lebih manusiawi, terutama, karena saya berbicara dengan manusia supersensitif yang emosinya (sebenarnya) tidak dapat diganggu gugat, tentu saya harus lebih berhati-hati.
Tentang batas, sebuah batas. Batas yang membedakan manusia yang berada didalam jalur dan yang diluar jalur, atau kita bisa mengatakannya dengan mudah: manusia yang patuh pada norma, dan yang tidak. Sebuah pilihan yang mudah, namun sulit untuk dieksekusi. Bilamana menurut pada idealisme diri, maka dia ataupun saya akan memilih berada diluar jalur, melanglang entah kemana, bertualang yang tidak seperti bertualang, yah, hanya kiasan. Menjalani hidup sebagaimana kami memandang hidup, bukan bagaimana hidup memandang kami.
Dan kami, memilih untuk berada didalam jalur. Katakanlah, memilih berada didalam jalur—yang menyerempet ke pinggir—karena kami masih memikirkan adanya norma keparat tadi. Kami tertawa bersama yang maknanya hanya menertawakan diri kami sendiri, kami meletetkan lidah kami dan menunjukkan angkuh jari telunjuk kami kepada mereka, kerabat-kerabat kami yang entah dimana sekarang. Tidak jelas rimbanya. Menantang hidup, membelokkan norma sampai bengkok seperti hidung Gepeto.
Yep. Kami tertawa.
Tidak yakin, apakah kami senang, atau malah marah. Kami mengubur idealisme kami sedalam-dalamnya dengan tanah bermasyarakat, kami aman, mereka tidak, kami tenang, mereka gelisah tiap-tiap milisekon. Lalu, apa yang kami cari kalau begitu?
“Tuh, temen lo dateng, si manusia kelebihan aura positif.”
“Oh.. yah..”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment