Skinpress Demo Rss

Soal Ngerokok

Filed Under () by Pitiful Kuro on Tuesday, February 02, 2010

Posted at : 3:52 PM

Saya masih bisa terbilang daun muda jika dilihat dari kacamata perokok, masih kurang dari setahun saya merokok secara aktif, itupun diselingin sekitar satu bulan percobaan untuk berhenti merokok. Jika ditanya awalnya, mungkin hanya sebentuk selebrasi akan suatu hal, yang mana menurut saya konyol jika harus dirayakan dengan terlalu berlebihan, maka dari itu, saya menerima saja sebatang rokok yang ditawarkan teman saya. Sekarang malah, saya bisa dikatakan lebih candu dan aktif daripada teman saya itu, hehe.

Awalnya sih, saat teman saya menawarkan rokok pertama yang saya coba, saya menolak, tapi karena dia memaksa terus, dan mumpung hati saya lagi ringan bagai bulu saking senang, akhirnya saya terima, eh, dia malah bilang ngga boleh, dan gantian lah saya yang maksa, haha. Sebatang rokok pertama yang saya hisap adalah rokok umat abang-abang di Indonesia, Dji Sam Soe, Kretek non filter. Pilihan yang buruk untuk pemula, disamping rokok tersebut lumayan berat, non filter membuat saya yang notabene binal saat itu (bibir selalu basah, haha), kesusahan. Belum sampai lima hisapan, ujung tempat menghisapnya sudah basah nggak karuan dan bolak balik saya harus meludah membuang tembakau yang masuk ke mulut, sial.

Sejauh ini, beberapa jenis rokok telah saya coba. Kretek, mild, kretek filter, rokok putih dsb. Pilihan saya jatuh kepada rokok kretek filter, alasannya yah, rokok mild terlalu ringan untuk saya hisap—seperti menghisap angin malah, untuk kretek, masih sekali-sekali saya konsumsi, tapi dengan pertimbangan tidak adanya rokok kretek filter disekitar saya, karena alasannya masih sama, saya sulit merokok kretek non filter karena ujungnya keseringan basah dan membuat tembakaunya masuk mulut, jadinya malah ngga enak. Untuk rokok putih, wah, saya juga tidak tahu alasannya, yang jelas beberapa rokok putih yang saya coba itu rasanya ngga mantep, mungkin karena saya orang indonesia murni kali ya? Tembakau polos tanpa racikan apa-apa tidak membuat lidah saya goyang, harus kretek dengan tambahan cengkeh mungkin? Hehe.

Biarpun umur merokok saya masih seumuran kecambah, saya selalu tertarik dan ingin mencoba merokok dengan berbagai macam gaya. Oh bukan, tentunya bukan gaya macam ‘merokok sambil salto’ ataupun ‘merokok dalam air’. Tapi lebih kepada alternatif-alternatif lain seputar merokok yang ada, misal saja, cerutu, merokok dengan pipa, nyangklong, shisha, tingwe (ngelinthing dewe), klobot (rokok dengan kulit jagung sebagai kertas pembungkus) dan mungkin cara lain yang belum saya tahu.

Sejauh ini, lebih dari setengah cara merokok diatas sudah saya coba. Alternatif pertama yang saya coba adalah merokok dengan pipa, awalnya saya mencoba alternatif ini karena mengetahui teman saya—yang juga meracuni saya untuk merokok—sudah mencoba merokok dengan cara ini, katanya kurang mantap. Tapi saya tetap panasaran dan ingin mencobanya. Saya membeli pipa rokok ini pada kesempatan terakhir saya ke Tangkuban Perahu kemarin, harganya kalau tidak salah sekitar 15 ribuan, cukup mahal memang, tapi mengingat ini daerah wisata, saya tidak protes. Pipanya sendiri nampaknya terbuat dari kayu yang dipoles habis sampai bertekstur seperti gading, panjangnya sekitar 10 senti, dan lubangnya pas untuk memasukkan rokok sekelas kretek, dan pastinya kebesaran untuk rokok mild.

Pipa, punya saya gak gini sih, lebih lurus, dan bukan dari gading seperti yang diatas, hek.. ilang

Menurut saya pribadi sih, merokok dengan pipa itu cukup asik. Apalagi untuk orang yang ‘malas’ membuang tembakau yang masuk mulut bolak-balik macam saya, merupakan sebuah alat penolong yang membuat saya dapat merasakan nikmatnya rokok kretek tanpa harus repot-repot lebih dulu. Sifatnya juga praktis karena dapat dibawa kemana-mana, dan menimbulkan prestise tersendiri saat menggunakannya. Hehe, asik juga loh sampai diliat orang-orang saat merokok menggunakan pipa, mungkin karena jarang ada anak muda (wiw, masih berasa muda?) yang merokok pakai pipa. Tapi sayang, pipanya entah dimana sekarang, tahu-tahu tidak ada di tempat saya biasa meletakkannya, mungkin tertinggal entah dimana, hueh. Yang pasti, kalau ada kesempatan untuk membeli lagi, pasti saya akan beli.

Alternatif berikutnya yang saya coba adalah merokok dengan cangklong. Kalau yang ini, sempat di protes oleh pacar saya, karena cangklong identik dengan kakek-kakek. Keinginan untuk mencoba alternatif ini muncul ketika saya melihat gambar-gambar tokoh terkenal macam Einstein dan Pramoedya merokok menggunakan cangklong, selain terlihat ‘nyeni’nya, saya juga merasa bahwa mereka terlihat amat jantan saat mengebulkan asap dari cangklong mereka. Dengan bantuan dari Ibu pacar saya, akhirnya saya mendapatkan cangklong pertama saya.


Cangklong dari si Ibu

Saya mencoba pertama kali menggunakannya dengan menggunakan tembakau dari sebatang rokok Dji Sam Soe, rasanya? Hueek, tidak enak, panas dan membuat mulut serta tenggorokan sakit. Jelas saja, tembakau untuk rokok lintingan dipakai untuk cangklong, ya jelas tidak pas. Lalu saya mencoba menggunakan tembakau murni yang dijual per ons di circle K. Tetap! Tidak enak! Kalau ini, memang pada dasarnya tembakau yang saya gunakan (Mars Brand) memang kualitasnya jelek. Kering, dan aromanya bahkan seperti cumi bakar menurut saya. Lalu saya mencoba membeli tembakau racikan yang dijual di pasar, barulah saya merasakan nikmatnya merokok dengan menggunakan cangklong, pas.

Tapi sayang, merokok itu bukan hanya soal prestise dan kenikmatan, namun kepraktisan dan efisiensi serta efek yang ditimbulkan saat merokok juga harus dipertimbangkan. Nah, hal inilah yang tidak dimiliki cangklong, efisiensi dan kepraktisan. Menggunakan cangklong memang nikmat, tapi tidak portable. Saya harus membawa tembakau secara terpisah jika ingin ‘nyangklong’ di luar. Selain itu, memasukkan tembakau kedalam cangklong juga tidak bisa sembarangan, kalau terlalu padat, nanti malah tidak bisa dihisap, jika terlalu kendor, ujungnya malah seperti menghisap udara kosong. Ke’pas’an dalam meletakkan tembakau inilah yang juga memakan cukup banyak waktu. Jadi, saya lebih memilih untuk menikmati ‘nyangklong’ pada saat santai saya saja, di rumah sendiri, sambil ditemani kopi dan membaca buku, walah, nikmat’e.

Alternatif berikutnya baru saja saya coba kemarin, yaitu tingwe (ngelinthing dewe), atau Indonesianya sih, melinting sendiri. Yah, tidak ada bedanya sih dengan merokok biasa, yang membedakan adalah rokok yang kita hisap itu adalah buatan tangan kita sendiri, bagaimana kedengarannya?

Melinting sendiri bukan kegiatan yang sulit kok, walaupun awalnya pasti kagok dan gagal untuk membuat 1-2 batang pertama, tapi batangan berikutnya saya jamin sudah bagus. Dengan bantuan alat linting manual, kertas papirus, tembakau, filter, dan lem, kita dapat membuat rokok dengan kualitas pabrik. Soal rasa? Ah, jangan ditanya, karena sekarang pun sudah banyak dijual tembakau-tembakau paketan dengan rasa rokok terkenal macam Dji Sam Soe, Djarum Coklat, Sampoerna Mild, dan banyak lagi, walaupun dengan nama plesetan yang merepresentasikan rokok tersebut. Misalnya Margono (Marlboro), Samsuri (Dji Sam Soe), Gafur (Gudang Garam Filter), Supri (Djarum Super) dst.

Perangkat ngelinting rokok

Keunikan dari rokok tingwe adalah, kita dapat membuat rokok yang sangat ‘personalized’, yang sesuai dengan selera kita. Misalkan, saya suka rasa dari Djarum Coklat, tapi saya tidak suka rokok yang tidak terlalu tebal dan tidak berfilter macam yang dijual perbungkus di pasaran. Saya tinggal membeli tembakau rasa Djarum Coklat, menambahkan tembakau sesuai selera, dan memberikan filter diujungnya, jadilah, rokok Djarum Coklat yang tidak tebal dan berfilter sesuai keinginan saya. Mantap bukan?

Selain kita bisa mengkustom rokok sesuai keinginan kita, satu kelebihan tingwe yang lain adalah dari segi ekonomisnya. Mari kita hitung dari pemula yang baru pertama kali mencoba melinting (seperti saya).

Alat linting manual: Rp. 6.000.
Kertas Papirus (isi 100 lembar): Rp. 1.000
Tembakau 1 ons; Rp. 5.000.
Lem: Rp. 1.000.
Filter (isi 100) Rp. 1.500.
Total: Rp. 14.500.

Satu ons tembakau dapat dijadikan 30-60 batang rokok (tergantung selera ketebalan perbatangnya, yang pasti, jika dijadikan 30 batang rokok, ketebalannya nyaris mirip cerutu, hehe). Ekonomis? Pastinya. Rokok pabrik menjadi mahal karena dikenakan pajak macam-macam selain cukai tembakau, sedangkan rokok tingwe hanya dikenakan cukai tembakau saja, selebihnya ya linting dewe. Bila dibandingkan dengan pengeluaran untuk membeli rokok keluaran pabrik, dengan tingwe bisa menghemat sekitar 60 persen lah kira-kira. Dengan Rp. 12.000, menggunakan metode tingwe, bisa saja membuat lebih dari 100 batang rokok (jika sudah mempunyai alat lintingnya terlebih dulu), sedangkan jika membeli rokok pabrik, paling hanya mendapatkan satu-dua bungkus. Jauh?

Paling, yang saya sesalkan adalah tidak adanya tembakau yang merepresentasikan rasa Wismilak (rokok favorit saya), jadilah saya membeli rasa Djarum Coklat, karena rasanya paling bisa saya terima dibandingkan dengan rasa rokok yang lain.

Merokok tingwe mungkin adalah metode yang paling cocok dengan para perokok berat, namun berasal dari kalangan menengah ke bawah—atau mungkin, para anak kos yang punya uang terbatas? Hehe—selain memberikan solusi keuangan yang lebih ngirit, tapi juga memuaskan keinginan untuk meracik sendiri rokok yang benar-benar diinginkan.

Sejauh ini, baru itu alternatif merokok yang saya coba, berikutnya mungkin saya ingin mencoba merasakan bagaimana nikmatnya cerutu, atau mungkin rokok klobot, yah, lihat sajalah nanti.

Rokok, anyone?

11 comment:

Sukasuka said...

wih mantap gan artikelnya...
jadi pengen nyoba yg pakek pipa...
ktanya di Ck juga jual ya pipanya ?

pemulungpip said...

hihihihi....

salam kenal gan....

udah nyoba cigar juga?
cangklong emang enak...saya juga konsumsi teratur sampe rokok saya jadi irit abis :~p

kali2 join group FB gan di WTC cangklong biar banyak temen lagi yang doyan :)

udah nyobain mbako cangklong apa aja?

Raja Berlian said...

situ orang jakarta bukan? kalau iya ane mau tau dong tempat beli itu bahan2 yg disebut diatas, makasih

mbah jangkrik said...

gan...

ane lg cari2 info ting-we,
dengan bako sekelas sam-soe..

racikan nya bgmn ya..

oh ya, font nya di-terangin dikit ngapa gan? kesian mata-mata tua penikmat bako ini..

hehe.. ;-p

Pitiful Kuro said...

untuk yang penasaran dimana bisa beli peralatan diatas, coba cek pasar tradisional yang lumayan besar di kota anda masing-masing.

Biasanya selalu ada penjual khusus bako dan peralatan lintingnya. Bingung nyarinya karena pasarnya luas? ya tanya aja sama para penjual disana :D mereka pasti bisa mengarahkan kok.

Sekedar catatan, saya belinya di pasar geger kalong, Bandung.

Unknown said...

saya menyediakan papir dan tembakau marsbrand

Unknown said...

Masih ada ga ya a di pasar gerlong yg jualnya ? Hehehe

Unknown said...

Masih ada ga ya a di pasar gerlong yg jualnya ? Hehehe

liga21 said...

tanya dong gan,klo rasa dji sam soe kretek,campurannya apa aja yha gan? ,biar mirip gitu,saya pernah beli tembakau secara online,tulisannya sih rasa sam su,tapi pas dicoba..boro2 rasanya,wanginya aja ga mirip sam su....

Kurusetra Computer said...

bagus artikel nya. bagi yang ingin membeli tembakau saya bisa suplai, tembakau madura, paiton, besuki super, kalituri, srintil dll. sms / phone 085 736 167 850

Anonymous said...

Habis makan kenyang baru tuh ngerokok,, pasti nikmat banget rasanya.

http://www.maknyusbener.xyz/