Skinpress Demo Rss

Symphaty For The Devil

Filed Under (, ) by Pitiful Kuro on Wednesday, January 14, 2009

Posted at : 9:37 PM

Familiar dengan judulnya? Yah, lagu yang aslinya dibawain sama Rolling Stones ini emang banyak diremake ulang sih, tapi, yang paling gue suka tentu yang versi Gun’s N Roses (dijadiin OST buat Film Interview With Vampire). Satu lagi yang gue suka itu versinya The Finger, band yang pasti ngga pernah kedengeran di Indonesia deh namanya, haha. Dan ada apa dengan judul lagu itu sampe-sampe gue jadiin judul entri kali ini? Agak berhubungan sama kejadian baru-baru ini sih.

Oke, gue kemalingan, dua hape, dompet (kosong) digondol itu maling waktu gue tidur. Gue ngga sadar? Oh, ya, tentu, gue tidur pules. Hari itu gue tidur jam tiga pagi, ngetik-ngetik tulisan yang ngga jelas gunanya buat apaan. Dan saat gue terbangun paginya, jam setengah tujuh, gue mendapati bahwa itu hape yang bercokol jadi modem semaleman udah ngga ditempat. Beh. Yasudhlah, ngga penting juga gue menuliskan kronologis gue dengan muka bingung bangun tidur toh? Pokoknya, hari itu juga gue langsung pulang ke Jakarta buat ngurus KTP yang ikutan raib bersama dengan si dompet.

Poinnya, setelah kejadian ini, gue mendapatkan perspektif baru soal beberapa hal yang sebenernya umum dan sering kita temuin di keseharian. Prolognya, sebelum hari gue kemalingan, gue membaca satu entry menarik dari blog langganan gue. About the badguy. Mereka eksis, mereka ada, keberadaan mereka dibutuhkan. Mengakui atau ngga, kita, manusia, the human being, mankind, membutuhkan mereka, para orang jahat. Dunia mengenal kata damai, mengenal kata tentram, tapi darimana? Tentu, dari orang jahat. Orang jahat ada, mereka membuat kericuhan sana sini, disingkirkan, maka barulah tercipta yang namanya kedamaian.

Dikatakan mereka pemberani, yeah, ada yang bilang menjadi orang baik itu susah. Sebenernya sih, menjadi orang baik itu cukup mudah kok, cukup diam dan diam, anggukan kepala mengikuti irama nilai dan norma, maka anda akan dengan otomatis diakui sebagai orang baik oleh tatanan masyarakat dimana anda tinggal. Kalau yang dimaksud baik itu susah berdasarkan hati, well, lain cerita.

Untuk orang jahat? Kenapa tadi gue bilang susah, plus pemberani pula? Mereka ada untuk dibenci, mereka ada untuk dijadikan tumbal kedamaian, mereka eksis hanya untuk menjadi buah bibir negatif masyarakat. Ah, tentunya, dengan segala pengorbanan mereka, kita juga masih susah memberikan terima kasih toh? Yaa, mereka melakukan hal yang bikin rugi sih, dan gue juga, sebagai penulis entri ini masih enggan memberikan kata terima kasih untuk mereka, jadi? Seenggaknya, terima sedikit rasa simpati gue untuk kalian deh, haha. Yah, kehilangan hape yang gue gunain sebagai modem? Jah, penderitaan lahir batin untuk ansos macem gue.

Seorang anak Psikologi malah bersyukur saat tau gue kemalingan hape. Bagus, katanya, karena dia melihat gue yang inetan meluluuu dikamar, ngga bergaul, keluar cuma pas makan, kuliah sama Badminton doang. Badan juga kaga keurus, kopi gila-gilaan, makan juga yang gampang—mie melulu, dan gue, juga pasti ngga akan berenti sebelum emang bener-bener ditimpa musibah kaya gini. Haha, bener juga sih, gue terlalu nyaman dengan kebiasaan macem itu, ngga ada niatan berubah sama sekali dari guenya. Makanya dia bersyukur. Weh, baik sekali niatan mu nak. Tapi kayanya bulan depan gue bakalan beli hape khusus inetan dah, nyahaha.

***

Ah, tanpa net? Beberapa hari ini gue mengais-ngais setiap sudut ruangan yang gue datengin, nyari buku yang sekiranya bisa gue baca. Yeah, tanpa inet, bukan berarti gue membebaskan diri dari kegiatan ansos gue dong? Ahaha. Btw, gue sekarang lagi ngebaca Tunnels karya Roderick Gordon & Brian Williams. Buku ini diramalkan akan menjadi sama fenomenalnya kaya Harpot, mengingat editor buku ini adalah orang yang sama dengan yang nemuin J.K Rowling’s Harry Potter. Barry Cunningham. Tau apa reaksi gue saat membaca buku Tunnels ini? Ah men, gue familiar, sangat familiar sama gaya penulisannya. No, no, seinget gue, gue ngga pernah membaca karya lain dari duo novelis ini, ngga. Dan apa yang membuat gue begitu familiar sama tulisan mereka? Well, bukannya sok-sokan, belagu, atau kepedean, tapi gue merasa tulisan mereka itu sangat mirip dengan gaya RPG gue. Oh, oke, silahkan kalo mau nimpuk gue karena kelewar pede, tapi gue merasakan seperti itu. Terutama susunan kata dan penggunaan tanda komanya. Pokoknya kalimat yang bila pendek, maka akan sangat pendek, dan bila panjang, maka akan sangat panjang. Ahaha, kepedean kah? Dunno.

Salah satu kalimat gue.
Dan ya, mungkin kau benar, Kristobal, dunia terlalu luas, dan umurnya baru empat belas tahun, mungkin masih banyak, banyak yang belum ia lihat, dan mungkin memang terlalu cepat untuk menyerahkan dirinya kepada orang itu, mungkin.

Kalimat dari buku Tunnels.
Cal mempercepat langkahnya saat mereka melewati sekelompok penduduk Colony yang, dilihat dari cara mereka memandang, jelas mengetahui siapa Will sebenarnya.

Kenapa? Ngga mirip? Bodo ah, pokoknya pemotongan kata, dan penggunaan tanda koma yang diatas normal itu gue rasa sangat familiar dengan gaya tulisan gue. :p. Buat Tunnels nya sendiri? Ah, gue suka, ngebacanya penuh rasa penasaran. Ngga seliar Harry Potter sih, tapi memberikan sensasi lain yang ngga Harry Potter berikan, sensasi Thriller. Alurnya memang cukup lambat, tapi gue sempet menyelesaikan tiga ratus halaman dengan waktu kurang dari setengah hari kemaren, gue rasa itu cukup membuktikan seberapa excitednya gue baca itu buku kan?

***

Buku lain? Gue menyelesaikan kumpulan cerpen Akutaga Ryunosuke dan Yakuza Moon kemaren. Buat Akutagawa Ryunosuke, ngga salah deh gue ngefans ama cerpenis satu ini dari dulu. Top. Setiap cerpennya selalu punya nilai-nilai moral tersembunyi yang khas. Dari kesemua yang ada disana, gue paling suka Kumo no Ito (Spider Web), dan tentunya Rashomon. Rashomon udah gue baca telebih dulu versi Inggrisnya, menarik, lebih oke daripada versi Indonesianya deh gue rasa.

Dan, dan, dan.. Gue menemukan hal konyol setelah baca kumpulan cerpen tersebut, gue teringat sama pertunjukan teater beberapa waktu lalu di Taman Ismail Marzuki. Gue nonton berdua sama Lutfi. Judul teaternya, ‘Rashomon’. Saat menyaksikan teaternya, gue heran, kok jalan ceritanya beda sama yang gue baca dulu di cerpen? Tapi karena gue tau kalo versi cerpen dan filmnya itu beda dan katanya itu teater diadaptasi dari film, maka gue diem aja nonton itu teater, secara gue belom nonton filmnya. DAN TERNYATA, KAWAN!! Setelah gue baca itu kumpulan cerpen, gue baru sadar ternyata kelompok teater itu melakukan kesalahan FATAL. Yang mereka tampilkan itu bukan Rashomon! Tapi, In a Grove! (didalam belukar, lupa judul Jepangnya). Beh, kaga abis pikir, kok bisa salah judul gitu? Apa mereka ngga baca dengan bener adaptasi tersebut, heh? Mana disana beberapa orang yang asal nyablak pula, katanya Akutagawa Ryunosuke itu cerpenis humor? Oh please! Dia itu cerpenis sosialis di antara cerpenis naturalis yang lagi booming saat itu. Isi cerpennya itu sindirian-sindiran satir terhadap tatanan sosial masyarakat Jepang saat itu men, lucu darimananya? Dari Hongkong? (ah, makanya gue ngga mau ke Hongkong..)

Buat satu buku lagi, Yakuza Moon. Hmm, kisahnya cukup mengerikan. Ternyata ada orang yang sebegitu dekat sama yang namanya neraka. Yah, dari segi cerita, cukup membosankan sih, khas otobiografi soalnya, nyeritain diri sendiri. Tapi yah, mengikuti kehidupan Shoko Tendo juga cukup menarik. Ngga banyak yang bisa gue tulis soal buku ini, mending baca aja dan siap-siap bergidik deh :D.

Walah, panjang juga entri yang ini. Semoga ada manfaatnya. Dan buat Ussi, di YM trakir itu gue becanda men -___-a. Pengen ngejelasin sambil ketawa-tawa tapi gue lupa dan off duluan, haha. See yah.