Apathetic : A Prologue.
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Wednesday, December 17, 2008
Posted at : 12:24 AM
Oke, salah gue emang, menunda-nunda waktu pengerjaan makalah yang sebenernya mencapai satu bulan, tapi dengan cerdasnya gue menggunakan dua puluh delapan hari dengan ongkang-ongkangan kaki. Guess what? Yeah, lusa ada pengumpulan tugas makalah resensi buku, dan bagian terbaiknya, gue belom kelar, bahkan setengah isi dari buku yang mau gue resensi.. Cakep dah. Dan sekarang, di pagi buta gini, di-sela-sela menyelesaikan bab VI, gue mau menumpahkan beberapa hal yang ada di otak. Oke? Seep.
Sekarang gue mau mengisi blog gue dengan hal yang berguna sedikit, setelah insomnia dan artikel adaptasi dari Volker Grassmuck, jelas, blog ini selebihnya cuma berisikan sampah-sampah yang ngga bisa didaur ulang lagi, rite. Well, honestly, banyak hal yang lewat dikepala gue dalam sepuluh jam terakhir. Seolah orang-orang diluar sana itu berkomplot dalam suatu konspirasi untuk menjebak gue agar tenggelam dalam de javu berkepanjangan yang terasa nyata, cis, kalian kejam. Oke, dari sekian blabber yang lewat, gue memilih satu tema, satu kata yang sejujurnya cukup melekat dalam definisi siapa gue sekarang. That word will sounds : Apathetic.
Apatis, gue bukan orang yang rajin membuka KBBI, untuk definisi berbahasa Indonesia-nya, gue mempersilahkan orang lain yang bersuara, sip? Siiip. Definition is quoted from Wikipedia.
is a state of indifference, or the suppression of emotions such as concern, excitement, motivation and passion.
Oke, apa yang ada dipikiran gue saat membaca definisi manis yang diberikan om wiki kita tercinta? Oh yeah, gue mengangguk. Kalimat majemuk diatas itu menggambarkan seperti apa gue pada saat ini. Bahkan, di suatu kesempatan, gue ditanya, “mau meninggal umur berapa?” oleh seseorang dari angkatan atas. Dan gue, dengan ragu-ragu, menjawab, “40,” yes. Gue ragu, gue ragu andaikata gue menyebutkan angka dua puluh satu, maka pertemuan itu akan berubah jadi ceramah singkat soal bersyukur-tidaknya kita menjalani hidup, for god sake, i lie.
Kenapa otak gue menset sedemikian singkatnya gue mau hidup? Jawaban gampang yang bisa gue berikan adalah, “yeap, ngga ada hal yang menyenangkan-menyenangkan amat kok di dunia ini, percayalah,” gue akan jawab begitu. Yeah, dua hal dari definisi itu udah gue penuhi, Excitement, and motivation sukses gue buang jauh-jauh ketempat sampah, haha. Oh ya, bloody damn believe me, gue punya passion, dan gue concern dalam menjalankannya, kalo ngga, gue ngga bakal duduk di bangku kuliah sekarang. Sibuk nyari kepuasan hidup, katakanlah demikian.
Dan yah, yang menyebalkan lagi, apatis ini menganak sungai ke penyakit-penyakit yang bau-baunya lebih serem. Alzhemer, dementia (no, gue masih 18), PSP, dan yang paling ngga elit dalam daftar adalah.. kekurangan vitamin D.. Kampret. Dan disaat gue melihat daftar panjang penyakit yang gejala awalnya ke-apatisan hidup, gue menemukan satu penyakit yang sekali dapet, elo bakal dapat bonus heboh, ibarat beli kacang goreng, trus elo dapet rumah lima milyar. Oke, nama penyakitnya, Creutzfeldt Jakob disease. Eh? Jangan liatin gue dengan tampang gendek gitu dong, gue juga cuma kopipas itu nama doang. *ehem*, inti dari penyakit itu adalah, gabungan dari dementia, alzheimer, spinocerebral ataxia, schizophrenia, multiple personality disorder, dan ujung dari penyakit ini adalah Brain dead. Perfect.
Oke, kesampingkan penyakit-penyakit serem tersebut, walaupun gue berharap mati muda, bukan berarti gue mau mati dengan cara mati otak lebih dulu, itu menyedihkan. Kanker lambung, atau serangan jantung kedengeran lebih oke, menurut gue.
it is a psychological problem for some depressed people, in which they get a sense that "nothing matters", the "lack of will to go on and the inability to care about the consequences".
Yes, sekali lagi, terima kasih. Tepat, gue rasa. Gue cukup tidak peduli sama yang namanya konsekuensi sampai-sampai gue mangkir dari LDKM. Entah bakalan dicerca sama angkatan atas or something that never sound’s good, ngek. Yah, selain idealisme gue yang sangat ngga suka sama yang namanya badan eksekutif di lembaga formal, entah itu bernama OSIS, Himpunan, dan sekarang BEM, perfect. Gue menjalani pendidikan formal gue dengan kebencian akan hal tersebut, sip, ngga bakalan dapet fitrah deh gue belajar.
Dalam hubungan dengan manusia lain, tentu, gue menjaga apa yang udah gue dapet, dan hal itu udah gue tulis di beberapa entri yang lalu, mereka dan hanya mereka. Gue total, untuk saat ini ngga peduli dengan yang namanya membangun hubungan sama orang lain. I’m suck at it. Dan gue udah terlalu malas untuk ngerasain perjuang pahit-pahit asam manis sambal gula merah perjuangan untuk sekedar mendapatkan titel berbunyi ‘teman’. Banyak kecewa, banyak duka, dan kesimpulan dari ratusan premis-premis konyol itu ngga pasti berbunyi baik.
Well then, i’m a weird, skeptical apathetic human. If you wanna provide me, tell the satan to move aside, then. -_-a
Sekarang gue mau mengisi blog gue dengan hal yang berguna sedikit, setelah insomnia dan artikel adaptasi dari Volker Grassmuck, jelas, blog ini selebihnya cuma berisikan sampah-sampah yang ngga bisa didaur ulang lagi, rite. Well, honestly, banyak hal yang lewat dikepala gue dalam sepuluh jam terakhir. Seolah orang-orang diluar sana itu berkomplot dalam suatu konspirasi untuk menjebak gue agar tenggelam dalam de javu berkepanjangan yang terasa nyata, cis, kalian kejam. Oke, dari sekian blabber yang lewat, gue memilih satu tema, satu kata yang sejujurnya cukup melekat dalam definisi siapa gue sekarang. That word will sounds : Apathetic.
Apatis, gue bukan orang yang rajin membuka KBBI, untuk definisi berbahasa Indonesia-nya, gue mempersilahkan orang lain yang bersuara, sip? Siiip. Definition is quoted from Wikipedia.
is a state of indifference, or the suppression of emotions such as concern, excitement, motivation and passion.
Oke, apa yang ada dipikiran gue saat membaca definisi manis yang diberikan om wiki kita tercinta? Oh yeah, gue mengangguk. Kalimat majemuk diatas itu menggambarkan seperti apa gue pada saat ini. Bahkan, di suatu kesempatan, gue ditanya, “mau meninggal umur berapa?” oleh seseorang dari angkatan atas. Dan gue, dengan ragu-ragu, menjawab, “40,” yes. Gue ragu, gue ragu andaikata gue menyebutkan angka dua puluh satu, maka pertemuan itu akan berubah jadi ceramah singkat soal bersyukur-tidaknya kita menjalani hidup, for god sake, i lie.
Kenapa otak gue menset sedemikian singkatnya gue mau hidup? Jawaban gampang yang bisa gue berikan adalah, “yeap, ngga ada hal yang menyenangkan-menyenangkan amat kok di dunia ini, percayalah,” gue akan jawab begitu. Yeah, dua hal dari definisi itu udah gue penuhi, Excitement, and motivation sukses gue buang jauh-jauh ketempat sampah, haha. Oh ya, bloody damn believe me, gue punya passion, dan gue concern dalam menjalankannya, kalo ngga, gue ngga bakal duduk di bangku kuliah sekarang. Sibuk nyari kepuasan hidup, katakanlah demikian.
Dan yah, yang menyebalkan lagi, apatis ini menganak sungai ke penyakit-penyakit yang bau-baunya lebih serem. Alzhemer, dementia (no, gue masih 18), PSP, dan yang paling ngga elit dalam daftar adalah.. kekurangan vitamin D.. Kampret. Dan disaat gue melihat daftar panjang penyakit yang gejala awalnya ke-apatisan hidup, gue menemukan satu penyakit yang sekali dapet, elo bakal dapat bonus heboh, ibarat beli kacang goreng, trus elo dapet rumah lima milyar. Oke, nama penyakitnya, Creutzfeldt Jakob disease. Eh? Jangan liatin gue dengan tampang gendek gitu dong, gue juga cuma kopipas itu nama doang. *ehem*, inti dari penyakit itu adalah, gabungan dari dementia, alzheimer, spinocerebral ataxia, schizophrenia, multiple personality disorder, dan ujung dari penyakit ini adalah Brain dead. Perfect.
Oke, kesampingkan penyakit-penyakit serem tersebut, walaupun gue berharap mati muda, bukan berarti gue mau mati dengan cara mati otak lebih dulu, itu menyedihkan. Kanker lambung, atau serangan jantung kedengeran lebih oke, menurut gue.
it is a psychological problem for some depressed people, in which they get a sense that "nothing matters", the "lack of will to go on and the inability to care about the consequences".
Yes, sekali lagi, terima kasih. Tepat, gue rasa. Gue cukup tidak peduli sama yang namanya konsekuensi sampai-sampai gue mangkir dari LDKM. Entah bakalan dicerca sama angkatan atas or something that never sound’s good, ngek. Yah, selain idealisme gue yang sangat ngga suka sama yang namanya badan eksekutif di lembaga formal, entah itu bernama OSIS, Himpunan, dan sekarang BEM, perfect. Gue menjalani pendidikan formal gue dengan kebencian akan hal tersebut, sip, ngga bakalan dapet fitrah deh gue belajar.
Dalam hubungan dengan manusia lain, tentu, gue menjaga apa yang udah gue dapet, dan hal itu udah gue tulis di beberapa entri yang lalu, mereka dan hanya mereka. Gue total, untuk saat ini ngga peduli dengan yang namanya membangun hubungan sama orang lain. I’m suck at it. Dan gue udah terlalu malas untuk ngerasain perjuang pahit-pahit asam manis sambal gula merah perjuangan untuk sekedar mendapatkan titel berbunyi ‘teman’. Banyak kecewa, banyak duka, dan kesimpulan dari ratusan premis-premis konyol itu ngga pasti berbunyi baik.
Well then, i’m a weird, skeptical apathetic human. If you wanna provide me, tell the satan to move aside, then. -_-a