Didn't Care
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Friday, December 27, 2013
Posted at : 1:33 PM
Jelata di
lingkungan, ditindas di kandang.
Mungkin susah
untuk dipercaya kalau hanya dalam bentuk tulisan, dengan melihat sendiripun gue
masih ragu apa ada golongan orang yang semacam itu. Bahasa lokalnya: bahan
gencetan. Kita semua menganggap itu hanya bercandaan, nggak sampai pada tahap
serius. Di dalam kepala kita yang mungil-mungil ini menganggap, waktu dia
pulang kerumah nanti, tetap ada orang yang setia menyambut sama pelukan, kata-kata
manis dan makanan hangat. Tapi apa lo yakin kenyataannya seperti itu? Kita ngebuat
stigma, azaz praduga tak bersalah pada hal-hal kecil yang padahal urgen. Semua bakal
baik-baik aja pada akhirnya, tapi apa iya?
Secara sains,
survival of the fittest itu udah nggak berlaku, kita udah punya listrik,
berburu bukan hal yang signifikan untuk bertahan hidup, tempat berteduh
tinggadibeli, kerjaan tinggal dicari. Itu semua seperti selimut, sarung, layar
hitam yang nutupin fakta kalau bertahan hidup di jaman sekarang itu nggak
penting-penting amat. Ada. Dengan bentuk yang lebih sublim, lo tetep harus
bertahan di lingkungan yang keliatannya kondusif ini, gue bisa bilang kita
sekarang lagi perang, nggak fisik, pikiran. Kita perang, bersaing secara
individual dengan bahan dasar intelegensia, stereotipe dan standar-standar yang
ada di lingkungan sosial kita, yang sudah berdiri kokoh bahkan sejak kita
merangkak keluar dari rahim emak masing-masing.
Gimana
dengan yang gak mengikuti aturan-aturan itu? Mereka adalah raja, didalam
lingkaran kecil seluas kamarnya, area dimana dia berlaku tuhan pada dirinya
sendiri. Melakukan apapun yang ingin dia lakukan. Definisi orang paling bebas
di dalam kamus manapun: yang tertindas. Masalahnya hanya satu, kebebasan hanya
terbatas ketika dia tidak bertemu dengan orang lain. Tersisihkan, terbuang,
titik rawan bagi mereka yang merasa lebih kuat untuk menunjukkan supremasi. Sesimpel
itu. Cuma diam, menerima, sampai pada titik dimana mereka yang tertindas
mengambil tindakan, balas dendam. Apa kita harus takut dengan itu? Nggak. Hal yang
paling kejam yang mereka bisa lakukan kepada para penindas:
Ambil
pistol, arahkan ke kepala.
Dor.
The Wicked
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Monday, October 28, 2013
Posted at : 3:40 AM
Haha..
Gue abis
baca postingan lama di blog tetangga, tertulis akhir taun 2011. Dari tulisan
itu, bau-baunya gue lagi struggling lumayan mantep ngadepin lingkungan kuliah
baru dan persoalan rumah yang lagi anget-angetnya. Diceritakan bahwa gue abis
ngeliat foto keluarga bahagia di website entah apa, gue lupa, trus gue
berkomentar yang kurang lebih itu bunyinya begini,
“itu
senyumnya beneran? Dibalik senyum itu ada masalah apa aja? Berapa banyak duit
yang dikeluarin buat nyewa pecun? Berapa kali pipi si istri ketampar sama si
suami? Berapa sabetan iket pinggang yang diterima anak-anaknya?”
Skeptis parah
emang, tapi itulah yang waktu itu gue pikirin dalam sekali liat. Mungkin kepercayaan
gue lagi tipis-tipisnya waktu itu? Atau juga dukungan dari pacar yang masih
sama-sama suram maksimum? Nggak tau, tapi jujur sih, ngebaca ulang paragraf
demi paragraf apa yang gue tulis bikin merinding sendiri (selain grammar
mistakes yang ga keitung, iye, in english bok), kontennya, pola pikirnya,
segala detail kecilnya, yang gue sekarang nggak akan bisa seperhatian itu. Seperhatian
itu buat nyari borok orang yang bahkan gue nggak kenal.
“apa itu
nyata? Beneran? Senyum segitu bagusnya sampai enak banget buat difoto? Atau itu
emang senyum yang beneran? Beneran buat sesi foto?”
Gue nggak
pernah berpikir kalau yang gue alami beberapa tahun kebelakang itu trust issue,
lebih tepatnya ke sinis keterlaluan, susah percaya sesuatu yang begitu idealnya
sampai bisa dijadiin bahan sinetron religi ‘tukang ramen naik haji’. Soalnya nggak
pernah liat secara langsung, sekalinya liat secara langsung, korengnya banyak
ampun-ampunan, ya gimana mau percaya? Soalnya nggak ada yang namanya ideal itu
nyata, karena namanya sendiri ideal—utopia. Itu sih, yang gue pikirin dulu,
bukan sekarang yak, sekarang sih makan di warteg ‘lorong’ seharga 10 rebu juga
udeh ideal banget buat gue.
“I
think it was real. It’s about how long you can keep it 'that' real way, without
a scars to be healed, shame to be covered.”
Mungkin?
Gue menghidari
pola pikir seperti itu, maka jadilah gue yang sekarang. Yang simpel, yang nggak
banyak mikir, yang punya switch on/off siap teken kapan aja. Yang mana bikin
paragraf 200 kata soal diri gue sendiri sekarang aja susahnya amit-amit. Tapi gue
baik-baik aja, atau berusaha baik-baik aja? Yang manapun, dengan ‘god mode’
macem ini, kadang masih ada satu-dua kalimat tertentu yang nendang gue balik ke
pola pikir lama walau sesaat, yang satu-dua kalimat itu gue tau nggak ditujukan
dengan serius, murni candaan tapi tetep kerasa nusuk paru-paru sampe bolong. Kayak
udah capek-capek upgrade badan ke stainless steel tapi tetep disiram
hidrosulfur acid. Halah-halah.
Gue nggak
menerimanya sebagai sesuatu yang ofensif walau kerasanya emang keserang. Mungkin
gue kurang informatif? Kurang terbuka? Kurang simpel otak? Yang manapun, tetep
jadi bahan pikir di kepala yang tinggal jalan setengah ini.
Salam syare.
1. Jangan Pakai Lampu Jauh
Filed Under () by Pitiful Kuro on Sunday, October 06, 2013
Posted at : 11:04 PM
Considerate..
Konsep yang
mungkin agaknya kedengeran agak konyol. Buat apa juga gue melakukan/tidak
melakukan sesuatu yang nggak ada profitnya sama sekali buat gue? Terlebih lagi,
ini dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan orang lain. Terlalu baik juga
bukan jawaban, toh gue bukan orang yang baek-baek amat. Tapi lebih ke harapan
dan ekspektasi.
Ekspektasi
yang lo harapkan dari orang lain untuk dilakukan terhadap elo sendiri. Kenapa gue
nggak menggunakan lampu jauh waktu malam hari? Soalnya gue juga mengharapkan
orang lain nggak menggunakan lampu jauh ke mata gue. Silau. Itu, mungkin bentuk
consideration yang paling primitif di jaman modern kayak sekarang. Gak usah
susah-susah ke bentuk yang tinggi-tinggi amat, itu aja dulu. Pake lampu deket
pun nggak akan ngebuat lo instan nabrak, malah mungkin lo menyelamatkan nyawa
orang dengan hal yang sesimpel itu.
Considerate.
Kedengeran konyol, tapi bener-bener kita butuhin di waktu dimana orang bisa
nginjek orang juga cuman buat ngambil duit lima rebuan.
Apa Yang Bakalan Gue Bilang Ke Anak Gue Nanti
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Wednesday, October 02, 2013
Posted at : 11:42 PM
1. Jangan pakai lampu jauh saat berkendara di malam hari
2. Say hi
3. Jangan tanya "maunya kemana?"
2. Say hi
3. Jangan tanya "maunya kemana?"
4. Jangan pakai topi saat dalam ruangan
5. Dan sunglass
6. Jangan halangi jalan orang
7. Kumpul sama teman
8. Listen to your father's songs
9. Masakan emak paling enak
10. Tong gandeng goblog
11. Hormati setiap pedagang, mereka lagi nyoba cari penghasilan
12. Pelajari basic komputer
13. Shut down your phone when you are with your friends
14. Hutang itu memberatkan
15. Trim your facial hair
16. Selesaikan kalimat (gak tau, ya gitu lah, skip-skip)
17. Belajar alat musik
18. Belajar masak, the right way
19. Lo harus tau apa yang lo ucapin
20. olahraga
21. Your friend's exes are out of limit
22. Adaptasi di segala lingkungan
23. Learn the language where you live in
24. Kunci pintu kalau mau 'ehe-ehe'
25. Jangan merusak suasana
5. Dan sunglass
6. Jangan halangi jalan orang
7. Kumpul sama teman
8. Listen to your father's songs
9. Masakan emak paling enak
10. Tong gandeng goblog
11. Hormati setiap pedagang, mereka lagi nyoba cari penghasilan
12. Pelajari basic komputer
13. Shut down your phone when you are with your friends
14. Hutang itu memberatkan
15. Trim your facial hair
16. Selesaikan kalimat (gak tau, ya gitu lah, skip-skip)
17. Belajar alat musik
18. Belajar masak, the right way
19. Lo harus tau apa yang lo ucapin
20. olahraga
21. Your friend's exes are out of limit
22. Adaptasi di segala lingkungan
23. Learn the language where you live in
24. Kunci pintu kalau mau 'ehe-ehe'
25. Jangan merusak suasana
Without Border
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Wednesday, August 28, 2013
Posted at : 2:32 AM
Menjadi bagian
dalam suatu grup itu menyenangkan, mungkin bisa dibilang kebutuhan. Karena lo
butuh sosialisasi pastinya, dan grup mem-provide hampir sebagian besar
kebutuhan sosialisasi lo. Grup itu dekat dengan hidup sehari-hari, rutinitas. Kebanyakan
grup terbentuk secara insidentil, entah itu lingkaran pertemanan kampus, tempat
yang lo datangi secara rutin, atau karena punya satu tujuan yang sama, yang
mana seiring waktu bakal punya kesan emosional. Teman, sama kayak grup, cuman
sifatnya lebih personal. Yah, nggak ada definisi baku emang, tapi gue
mengategorikan teman itu bentuk mini dari grup, dilihat dari sisi lain,
teman/pertemanan bisa dibilang sebagai bentuk interaksi antar-personal dalam grup.
Mungkin.
Gue butuh
keduanya. Jelas. Toh gue butuh sosialisasi juga. Khususnya apa yang disebut
dengan pertemanan antar laki-laki, gaulnya: Brotherhood.
Gue menganggap
hal-hal yang gue sebutin diatas tuh penting, dalam takaran diatas normal. Gue butuh
dalam taraf dan dosis yang lumayan tinggi, plus, gue junjung dengan tinggi
pula. Gue nggak tau influence dari mana, kata-kata ‘bro’ punya artian khusus
buat gue dan bukan sekedar panggilan akrab. Brotherhood, brother without
border, brolationship, bromance. Apapun sebutannya, gue selalu butuh itu. Dalam
banyak konteks, bahkan lebih penting daripada keluarga darah.
Gue seneng
dengan lingkaran pertemanan gue sekarang, secara langsung maupun nggak, gue
meng-influence mereka dengan paham yang satu itu. Pelan, tapi keliatan. Lo bisa
bilang gue ngedoktrin, mungkin emang iya. Soalnya, brotherhood nggak akan bisa
kebentuk dengan alami dalam waktu yang singkat. Harus ada yang mencetus dan
ngebentuk secara ‘paksa’. Dalam artian, ide-ide tentang brotherhood secara
konstan diberikan ke tiap-tiap orang yang ada dalam grup. Natural? Nggak, tapi
nggak ada salahnya juga untuk dilakuin.
Terbentuk secara
paksa, berarti banyak halangan dan tembok-tembok yang harus dibobol? Iya. Nggak
sedikit hal-hal personal yang hanya bisa diketahui dalam jangka panjang. Tiap personal
dalam grup punya watak dan bentukan yang beda, gimana cara untuk mengetahui
plus-minus dan hal-hal yang tabu untuk tiap personal itulah yang kadang jadi
halangan. Benturan mungkin sering kejadian tanpa sadar, dan rekonsiliasi juga
bukan hal yang gampang dilakuin kalau terjadi berulang-ulang. Tapi mungkin
disana seninya, seni dari brotherhood prematur yang terkesan dipaksa. Menyenangkan?
Banget.
Brotherhood
punya kaitan emosional? Iya. Sisi plus dari brotherhood ‘paksaan’ atau prematur
ini, secara nggak langsung lebih minim ekspektasi, kadar kaitan emosional yang
lebih rendah. Kaidah ‘just be it’ atau ‘let by gone be bygone’ sering
kedengeran di kepala masing-masing, dimana seleksi natural tetep main peran
kayak brotherhood yang alami. Nyisain mereka-mereka yang emang ingin bertahan
dan mempersilahkan siapa-siapa aja yang pengen keluar. Amen.
Beda dengan
yang alami, ekspektasi tinggi dan kadar emosional yang pekat cuman bikin lo
punyeng doang mikirin kata ‘kenapa?’
Dor.
Inne Sanctuary
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Thursday, August 15, 2013
Posted at : 6:27 AM
Waktu nulis gue emang superb. Jam 6 pagi.
Heh?
Kedengerannye
gue super uptight kali yak? Dimana matahari masih ngintip-ngintip malu lewat
pemandangan bukit depan kamar, gue udeh bangun dan mulai ngetik. Salah. Gue belon
tidur. Thanks buat liburan lumayan panjang ini, jam tidur gue kembali seperti
semula(?). Hari ini kayaknya bakalan mendung, kelaitan dari gerombolan awan
bebentuk kapas yang bejejer kayak harum manis. Harusnya gue seneng, tapi karena
gue lagi njemur baju, gak ada salahnya lah nongol dikit-dikit itu lampu sejuta
watt. Kolor udeh abis.
Oke. Asli gapenting.
Lo tau
privasi gak sih?
Kerahasiaan
pribadi. Tiap orang punya, hak dimana urusan personal dan kehidupan dia nggak
sepenuhnya diketahui sama publik. Dan gue adalah orang yang punya kebutuhan
privasi yang tinggi. Kagak, bukan dalam artian gue bakal ngamuk-ngamuk kalo
hape gue dibongkar, atau tiba-tiba ditanya pertanyaan-pertanyaan (yang mungkin
dianggep kebanyakan orang) sensitif. Gue nggak ada masalah sama sekali dengan
itu. Tanya gue apa aja dan gue mungkin bakalan ngasih jawaban yang kagak pegen
lo denger. Kagak. Privasi gue sifatnya spesifik, karena spesifik inilah mungkin
kadarnya diatas rata-rata.
Privasi gue
soal kamar.
Gue juga
nggak begitu paham, kenapa gue bisa sangat-sangat terganggu ketika ada orang
masuk kamar gue—walau sesopan apapun. Sadarnya pun lumayan telat, sekitaran 2-3
tahun lalu mungkin, ketika temen deket gue tinggal selama beberapa waktu di kamar.
Gue super anxious dalem 3 jam pertama, kagak tahan dan bawaannya pengen ngusir
itu orang, walo kagak direalisasiin. Itu temen deket gue, yang bahkan bisa aje
tukeran kolor kalo ukurannya emang sama. Gimana yang kagak begitu kenal?
Pada satu
titik, malah gue pernah ninggalin kamar gue selama beberapa jam supaya gue agak
tenang sedikit. Iya, separah itu.
Gue nganggep
kamar itu kayak sanctuary, area dewa dimana gue berperan sebagai tuhan disana. Eaa..
deskripsi ajib. Gak segitunya emang, tapi cukup menggambarkan betapa pentingnya
privasi kamar buat gue. Disana itu tempat gue makan, tidur, apalagi pas libur,
hampir 90 persen waktu gue sehari-hari dipake buat ngejogrog di kamar. Begitu ada
benda asing masuk, gue kayak laba-laba dengan segala model mekanisme pertahanan
dirinya, entah itu masang toleransi setinggi-tingginya, berusaha ignoran dengan
segala ketidaknyamanan atau perasaan ingin lompat dari lante tiga kosan gue.
Sukur-sukurnya,
gue nggak se-impulsif dulu saat pertama kali sadar sama kelakuan gue satu ini. Gue
bisa nerima tamu—bahkan kadang ngundang, ngejamu atau sampai ke level nerima
aja yang mau sleepover. Tapi bukan berarti ilang gitu aja, masih, sampe
sekarang. Tapi toh gue juga butuh temen ngobrol sembari ngopi. Gak jelek-jelek
amat kok.
Subscribe to:
Posts (Atom)