Skinpress Demo Rss

Tenang Kali?

Filed Under () by Pitiful Kuro on Sunday, April 29, 2012

Posted at : 2:07 AM

Gue selalu percaya kalau menulis itu nggak akan bisa dilakukan dalam keadaan yang prima. Prima dalam artian fisik maupun psikis. Oke oke,  tanpa dasar, kalau gitu gue ciutkan argumen tadi ke bentuk yang lebih simpel: gue. Gue ngerasa, dan percaya kalau gue nggak akan bisa menulis dengan baik dalam keadaan prima. Nggak cuma menulis sebenernya, lebih tepatnya, mengeluarkan pendapat, khususnya dalam konteks ini ya tulisan. Jelas, gue nggak tau gimana orang lain, apa Ayu Utami nyelesein tulisan-tulian apiknya dalam keadaan bahagia damai sejahtera? Apa Stephen King bikin masterpiecenya yang berjejer itu dalam posisi yang membahagiakan? Gak tau ya. Tapi buat gue, ini berlaku.

Menulis itu menyenangkan, tapi dalam eksekusinya, menyenangkan mungkin bisa dimasukin ke ketenangan, titik dimana lo ngerasa ada di tempat terkeren yang bisa lo bayangin. Menyenangkan buat gue, adalah menapakkan kaki di kepala gue sendiri, bukan akrobat, tapi masuk jauh ke tempat yang nggak akan bisa gue datangi kalau gue cuman bengong doang depan Alfamart sambil ngecengin cewe-cewe kampus yang lagi pake baju batik seksi.

Ketenangan-ketenangan ini bisa gue dapat di banyak tempat, nggak cuman di depan keyboard di malam buta kayak sekarang. Masa-masa kosong, nihil yang gue jalani di tempat yang acak, kayak saat-saat gue nongkrong di tengah hutan belantara daerah Kudus, atau waktu gue berjalan malem buta dengan judul cari angin nyambi nyari kopi buat diseruput, atau bahkan saat-saat gue nongkrong di WC pagi-pagi pas mau ngampus. Kesemuanya inspiratif, sayangnya, gue nggak bisa pegang keyboard di waktu-waktu itu buat numpahin segala-gala yang mau keluar dari jari jemari gue.

Karena ketenangan-ketenangan tersebut nggak bisa diciptakan dengan mudah, makanya, gue mengambil jalan pintas, gue melakukan berbagai macem cara supaya kondisi trance itu bisa muncul. Caranya jelas nggak indah, nyambung dari paragraf pertama diatas, yaitu dengan membentuk kondisi fisik yang minus. Jelek? Iya, candu? Iya juga. Pertama kali gue menemukan cara ini, gue bener-bener girang. Karena gue nggak harus buru-buru dari tempat A—dimana ketenangan gue tercipta—ke tempat dimana ada keyboard dan monitor ada untuk menuangkan ide-ide tersebut. Tapi gue bisa ciptain kondisinya, secara spontan dengan persiapan tertentu. Sekali lagi, ya nggak indah.

Kadang gue harus menahan untuk nggak makan beberapa hari, kadang gue milih untuk nggak tidur sekian hari. Dua cara yang efektif buat mencapai kondisi sempurna dimana gue bisa menuangkan apa yang gue pikirin dengan mudah. Haha. Gue pun bertanya-tanya, kapan waktunya gue bisa nulis dengan ketenangan menyenangkan dan bisa gue lakuin tiap saat. Karena ini rasanya sepet men.

Bahagia itu menyenangkan, tapi ngebuat pikiran lo tumpul, datar, hambar. Suram jelas bukan pilihan bagus, bukan opsi juga, tapi alangkah mantepnya kalo gue bisa mendapatkan ketenangan gue di masa-masa suram itu dalam alur hidup yang sekarang.

Banyak maunye.






Waktu Kosong Lagi

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Friday, April 20, 2012

Posted at : 9:44 AM


Kadang gue bangun di pagi hari libur, dan gue hanya pengen meluk bantal, nunggu pagi lewat menjelang siang dan gue baru membuka mata. Kadang, gue menyadari kalau sore hari datang dan lampu kamar belum dinyalakan, gue suka menunggu terang yang menjelma gelap, pasir oranye yang tertiup angin tembaga, meleleh menjadi kelabu dan akhirnya hitam pekat. Titik-titik kesendirian murni yang nggak akan bisa diacuhkan, walau gue setengah mati fokus pada hal lain, nyanyian sunyi itu masih sanggup menembus dinding perhatian gue yang dialihkan entah kemana.

Gue berpikir banyak hal disana, suatu waktu gue hanya merasa kangen dengan adik-adik gue yang ada di Jakarta, di waktu lain, gue kangen sama mbah yang ada di Solo, bahkan ada saatnya gue rindu sama orang-orang yang pernah mengisi hidup gue entah kapan. Bisa temen-temen SMP gue yang entah sekarang pada dimana, bisa mantan kecengan gue pas SMA atau mungkin orang-orang anonim yang gue temui di kereta dulu—yang daya tariknya luar biasa sampai sulit untuk gue labeli mereka anon. I gaze upon the black dawn, and I see nothing more than a fiery cloud with anything but me.

Momen-momen sendirian bisa aja nyebelin doang, tapi dengan sedikit perputaran paradigma, hal-hal kecil ini juga bisa menjadi menyenangkan dengan cara yang aneh. Gak mungkin gue bisa inget orang-orang yang disebut diatas, yang sekian banyaknya tanpa momen kosong ini. Mengingat bahwa gue pernah melakukan hal yang begitu eksentrik atau mungkin sesederhana menyenangkan, cukup membuat gelapnya sore terasa mengawang.  Rasa kangen bisa membunuh, rindu bisa menyiksa, tapi kangen dan rindu juga bisa menjadi dorongan, poin-poin matematik yang akan lo urutkan, dan akan lo lakukan ketika lo punya waktu luang yang kelewat luang. Mungkin di waktu kosong nanti, gue akan mampir ke tempat siapa entah gue nggak tau, temen lama, rekan lama, siapapun.

Kosong juga menjadi inspirasi, di tengah godokan aktivitas harian yang mendempet waktu, mencuci segala semangat untuk berbuat lain selain tidur di pojokan kamar yang udah berbau apek, kosong memberi energi. Waktu kosong, memaksa untuk berpikir apa yang akan dilakukan berikutnya? Tanpa ada agenda dan janji yang harus ditepati. Maka logika berjalan, kearah dimana gelap pekat menjadi titik cahaya yang memandu untuk bergerak sporadis, berpikir yang tidak terpikir. Dalam keadaan normal, mungkin gue memilih tidur, tapi terima kasih untuk pagi yang kosong, gue memutuskan untuk kembali menulis disini.

Pagi yang terasa seperti sore, sore yang melantunkan mata berdebu, seperti magis, lagu ini selalu keputer di playlist tiap saat momen-momen serupa muncul. Nggak mengerikan, namun membuat senyum pertama di hari yang kayaknya nggak akan menyenangkan. Atau nggak? Gue nggak akan pernah tau toh. Satu hal yang pasti, ekspektasi rendah akan menimbulkan hasil yang impresif, karena dari awal nggak pakai harapan, hasil medioker pun akan keliatan awesome.

Happy Friday.

Nyegah Goblok

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Wednesday, April 04, 2012

Posted at : 12:31 AM


Akhir-akhir ini hidup makin kerasa asik, walau sebenernya bebentuk stagnan, tapi kata asik dan stagnan yang berada dalam satu paragraf gue rasa bukan hal yang jelek. Kuliahan lancar jaya, makan tetep kaya biasa (lagi berduit makan anti irit, lagi miskin makan mie mecin), masih selalu kebayang-bayang kehidupan sosial gue di jakarta yang keliatannya kemerlap gemilau—walau nyatanya sih, kemerlap lampu pinggir jalan depan angkringan. Pacar masih sama, yang itu-itu aje sampe bosen denger ketawanye tiap malem *jual mahal—tarik ulur*.

Kehidupan sosial nih yang mantep. Gue pernah bilang, gue nggak sekuper dulu, tapi perkembangannya sekarang? Kayak penyebaran tomket. Dari tukang nunduk melu-melu uyek jari, sampe bebentuk ‘nice boobs’ tiap kali ada candy lewat. Perhitungan gue udah nggak memakai skala ‘batuk’ dari saudara Luthfi Garib Fauzie lagi, tapi udah pake skala ‘leher patah’, yaitu, seberapa jauh leher gue nengok kalo ketemu cewek semlohai. Oke, bahasan ini bakalan mengacu ke klasifikasi toket berdasarkan ukuran dan bentuk, orientasi arah dan potensi lovely crack, daripada ini blog di flag BB17++, mending di skip dulu.

Gaul sama rata sama rasa, nggak ngumpet di pojokan tapi ngider dari sisi A ke sisi B, dari Tiko sampe Cino, dari yang belok sampe yang sipit. Gue mengamini semuanya, berada di tengah ketika ombak bergulung tinggi, dan nonton sambil ketawa dari luar ketika semuanya tenang tanpa angin. Gue nggak pernah se-mbaur ini, nggak pernah se tenang ini ketika berada di kumpulan orang, bahkan cenderung hiperaktif, ngasih atensi kanan-kiri, joget dan nyanyi  walau tampak kaya bencong monumen Dipatiukur, gak ambil pusing.

Mudah, enak, gue bisa nikmati dan tanpa beban pikiran yang harus ngebuat gue nekuk jidat sama pipi dalam waktu 1x24 jam.

Gue ngerasa ini gampang, sekarang, maka ketika gue putar waktu beberapa waktu lalu, kenapa gue harus jumpalitan pecut daging sekedar buat ngerasa diterima? Itu pun masih ada kata ‘ngerasa’. Aneh? Absurd? Ah masa? Sialnya, pada saat gue berusaha membuka lembar memori di buku gembel yang nangkring di pala gue, ada beberapa analisis kacangan yang ternyata nongol secara goib. Mungkin gue nggak tau kalau dulu ada pintu yang masih ketutup, mungkin gue nggak tau kalau ada beberapa kewajiban yang harus gue lakuin ketika gue mengharapkan hak, mungkin juga.. gue nggak lebih dari sekedar idiot yang blo’on kebablasan waktu itu.

Seperti helm (lumayan baru) gue yang ilang hari ini, nyesel pun udah lewat waktunya, mau berlagak antisipasi juga udah kejadian sekian waktu lalu, dan gak rela-pun.. hal itu udah ilang-lewat. Yang udah kejadian nggak akan bisa diapa-apain, nangis jenggo juga nggak akan ngembaliin waktu, yang bisa gue lakuin hanya nyatet memo, poin-poin apa yang bisa gue ambil dan tulis, dan entah gimana caranya, di waktu yang berikutnya dan saat ini, kebego’an gue yang dulu-dulu nggak akan terulang dengan kronologis tragis yang sama na’asnya.

Hidup anti-goblog!

Belajar Ngerem

Filed Under () by Pitiful Kuro on Tuesday, April 03, 2012

Posted at : 1:10 AM

Yang panjang nggak selalu lebih baik (loh?), yang selalu berjalan juga belum tentu lebih lancar. Mengakhiri kalimat dengan tanda titik, dan bikin keputusan buat ngerem, kata amin dan mengakhiri sesuatu kadang adalah hal yang pas. Yang begitu justru kadang susah, makanya, ketika elo-elo lagi pada berenti di belakang zebra cross, coba liat-liat ke belakang, ke samping, dan ke depan..

Jalan yang diambil udah bener blom?