Gue selalu percaya
kalau menulis itu nggak akan bisa dilakukan dalam keadaan yang prima. Prima dalam
artian fisik maupun psikis. Oke oke,
tanpa dasar, kalau gitu gue ciutkan argumen tadi ke bentuk yang lebih
simpel: gue. Gue ngerasa, dan percaya kalau gue nggak akan bisa menulis dengan
baik dalam keadaan prima. Nggak cuma menulis sebenernya, lebih tepatnya,
mengeluarkan pendapat, khususnya dalam konteks ini ya tulisan. Jelas, gue nggak
tau gimana orang lain, apa Ayu Utami nyelesein tulisan-tulian apiknya dalam
keadaan bahagia damai sejahtera? Apa Stephen King bikin masterpiecenya yang
berjejer itu dalam posisi yang membahagiakan? Gak tau ya. Tapi buat gue, ini
berlaku.
Menulis itu
menyenangkan, tapi dalam eksekusinya, menyenangkan mungkin bisa dimasukin ke
ketenangan, titik dimana lo ngerasa ada di tempat terkeren yang bisa lo
bayangin. Menyenangkan buat gue, adalah menapakkan kaki di kepala gue sendiri,
bukan akrobat, tapi masuk jauh ke tempat yang nggak akan bisa gue datangi kalau
gue cuman bengong doang depan Alfamart sambil ngecengin cewe-cewe kampus yang
lagi pake baju batik seksi.
Ketenangan-ketenangan
ini bisa gue dapat di banyak tempat, nggak cuman di depan keyboard di malam
buta kayak sekarang. Masa-masa kosong, nihil yang gue jalani di tempat yang
acak, kayak saat-saat gue nongkrong di tengah hutan belantara daerah Kudus,
atau waktu gue berjalan malem buta dengan judul cari angin nyambi nyari kopi
buat diseruput, atau bahkan saat-saat gue nongkrong di WC pagi-pagi pas mau
ngampus. Kesemuanya inspiratif, sayangnya, gue nggak bisa pegang keyboard di
waktu-waktu itu buat numpahin segala-gala yang mau keluar dari jari jemari gue.
Karena ketenangan-ketenangan
tersebut nggak bisa diciptakan dengan mudah, makanya, gue mengambil jalan
pintas, gue melakukan berbagai macem cara supaya kondisi trance itu bisa
muncul. Caranya jelas nggak indah, nyambung dari paragraf pertama diatas, yaitu
dengan membentuk kondisi fisik yang minus. Jelek? Iya, candu? Iya juga. Pertama
kali gue menemukan cara ini, gue bener-bener girang. Karena gue nggak harus
buru-buru dari tempat A—dimana ketenangan gue tercipta—ke tempat dimana ada
keyboard dan monitor ada untuk menuangkan ide-ide tersebut. Tapi gue bisa
ciptain kondisinya, secara spontan dengan persiapan tertentu. Sekali lagi, ya
nggak indah.
Kadang gue harus
menahan untuk nggak makan beberapa hari, kadang gue milih untuk nggak tidur
sekian hari. Dua cara yang efektif buat mencapai kondisi sempurna dimana gue
bisa menuangkan apa yang gue pikirin dengan mudah. Haha. Gue pun
bertanya-tanya, kapan waktunya gue bisa nulis dengan ketenangan menyenangkan
dan bisa gue lakuin tiap saat. Karena ini rasanya sepet men.
Bahagia itu
menyenangkan, tapi ngebuat pikiran lo tumpul, datar, hambar. Suram jelas bukan
pilihan bagus, bukan opsi juga, tapi alangkah mantepnya kalo gue bisa
mendapatkan ketenangan gue di masa-masa suram itu dalam alur hidup yang sekarang.
Banyak maunye.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment