Waktu Kosong
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Friday, March 25, 2011
Posted at : 3:06 PM
Kadang aku bingung, kadang aku merasa menjadi orang yang plin-plan. Aneh. Ketika aku sedang di peraduanku, di depan tuts-tuts keyboard mencoba merumuskan apa-apa saja yang ada di kepalaku, rasanya ingin sekali pergi ke suatu tempat yang jauh. Cukup jauh sehingga aku berpikir mungkin akan mendapatkan ide-ide luar biasa menarik disana. Tapi hei, lihatlah aku disini, hanya lima kilometer dari tempatku tidur, dan rasanya ingin sekali aku menarikan jemariku mengetik sambil nyengir. Kenapa, kau tanya? Ide-ide itu datang tanpa permisi, langsung nyelonong masuk dan minta camilan serta teh manis, tidak ada sopan santunnya sama sekali.
Hari setengah terik, kadang mendung masih lewat sekali-sekali, kopiku yang tadinya mengepul lebat hanya tersisa coklat menggoda—kopi susu. Hitam bertemu putih. Motorku diparkir tak jauh dari pandangan, tukang parkir tersenyum rupiah melihatku datang, akrab kenal walau tak bertukar nama, aku pelanggan di warung ini, warung kopi. Tempat yang familiar, wajah-wajah familiar yang anonim, bertukar mata dan seolah hapal menu yang akan kupesan di luar kepala, tapi tetap, esensi ngopi akan hambar kalau aku tidak menyebutkan sendiri menu yang akan kupesan.
“Kopi susu Indocina, mbak, satu.”
“Ini dulu mas?”
“Iya.”
Aku menghela nafas seolah telah menempuh jarak 190 kilometer Jakarta – Bandung, ada kepuasan yang sama walaupun kondisinya berbeda. Aku bisa saja menyamakan rasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh dengan kepuasan ketika aku duduk di tempat favoritku setelah terkena sedikit macet Jakarta. Ritsleting jaket kuturunkan se-diafragma, pengalihan yang mungkin saja semu akan panas Ibukota yang luar biasa pengap. Hampir seumur hidup aku tinggal disini, tapi tetap saja kalau panas ya kepanasan. Tas selempangku kuletakkan di bangku kosong, kukeluarkan buku bacaan yang sedang berusaha kuselesaikan. Sudesi. Wah, buku ini cukup lama kubaca, hampir dua bulan dan pertengahan saja belum. Bukan jelek, nyatanya, tulisan Arswendo Atmowiloto ini ringan menghibur, sedikit menggurui secara implisit, tapi enteng untuk dibaca seharian. Lalu, kenapa sulit diselesaikan?
Hmm..
Sedikit masalah niat, sebenarnya sih. Belakangan lebih getol menulis daripada membaca, tidak harus berkesinambungan dan berbanding lurus sebenarnya, antara menulis dan membaca. Tapi buatku keseimbangan diantara keduanya penting. Ah, itu buatku.
Ups, kopinya datang. Aku tersenyum kepada si pengantar kopi yang juga senyum balik. Kuharap tulus dan bukannya senyum pekerja yang dibayar senyum. Tanpa basa-basi, kuminum air dingin yang menjadi satu paket kalau kita memesan kopi panas di warung ini, segar, apalagi di tengah terik demikian. Kubuka halaman yang kutandai sebelumnya, membaca sedikit-sedikit dan sesekali senyum tergelitik. Sudesi, atau kepanjangan dari Sukses Dengan Satu Istri ini memiliki dasar konsep yang menarik. Garis besarnya sih, digambarkan dengan kendaraan. Ketika kita memiliki istri dua, maka dapat disamakan dengan sepeda yang beroda dua, tiga, samakan dengan bajai atau bemo, empat, mobil, dst. Ketika kita memiliki dua istri, seperti sepeda, tentunya stabil, begitu pula tiga, tentunya keseimbangan tetap terjaga, empat yang seperti mobil apalagi, enam, delapan dan seterusnya yang semakin lama semakin stabil.
Tapi itu tidak seru. Ketika kita memiliki satu istri, umpamakan dengan sepeda roda satu. Aneh, sulit untuk dilakukan, tapi ketika kita bisa menguasai teknik dan cara mengendarainya, orang akan terkagum-kagum melihat kita melakukannya. Hmm.. aku berpikir ada benarnya juga, bersamaan dengan halaman yang semakin tebal kubaca, aku mendalami lagi apa yang dimaksud dengan Sudesi, dan tanpa sadar pula, aku telah membeli konsep ini dan memasukkannya kedalam daftar pola pikir yang kugunakan. Wah.
Serombongan perempuan muda memasuki warung, kisaran 20an awal, mungkin pekerja, aku melihat mereka, dan mereka melihatku. Aku tersenyum kecil, yang mungkin tanpa sadar merekapun membalas senyumku. Ada gelitik di hatiku, gatal. Mereka duduk tak jauh, berhadapan langsung dengan mejaku. Tak kubuang kesempatan, disela halaman yang kubuka, kusematkan selintas pandang kearah mereka, mereka melihatku, tertawa kecil dan entah berbisik apa. Walah, jadi kepedean.
Loh. Katanya Sudesi.
Memang. Karena konsep Sudesi tidak selesai sampai disana saja. Sudesi mengambil kepercayaan bahwa yang namanya istri itu harus satu, setia, tapi tidak menutup kemungkinan akan adanya kekasih-kekasih dalam bentuk lain. Tapi tetap, satu istri. Hihi. Mungkin secara kasat mata, konsep ini mendukung adanya perselingkuhan, tapi justru itu, kalau perselingkuhan malah bisa menyelamatkan sebuah perkawinan, apa salahnya, yang penting istri tetap satu. Yah, aku tak setuju, tapi kuaplikasikan dalam bentuk yang lebih dangkal. Aku ogah selingkuh, tapi tidak ada salahnya sedikit melirik kanan kiri kalau ada yang menarik sedikit. Yang penting nggak ngapa-ngapain, hatiku tetap pada tempatnya.
Ahh..
Bunyi seruput terdengar jelas dari gelas kopiku yang bertemu bibir, sengaja kukeraskan, agar terlihat bahwa aku benar-benar menikmati secangkir kopi ini. Ketidaksopanan bukan hanya mengartikan ketidaksopanan, tidak semua hal hanya memiliki satu makna. Dalam hal makanan misal, beberapa kultur justru menganggap makan yang berantakan, mulut yang mengecap, suara-suara yang mungkin sebenarnya mengganggu secara umum itu bisa saja diartikan penghormatan. Dan inilah bentuk penghormatanku pada sang barista yang menggunakan tangannya untuk meracik kopiku, suara seruput tanda nikmat.
Oh tentu, kami masih sering bertukar pandang, sesekali mereka menyeka mulutnya cepat, seolah sadar aku mengamati, lalu tertawa terkikik, berbisik, melihatku lagi, dan baru melanjutkan suapan baru. Begitu terus sampai akhirnya kopiku habis tanpa ampas—aku memesan menggunakan drip. Jakarta makin terasa panas dan aku mulai merindukan peraduanku yang adem terhantam kipas angin, merindukan saat-saat aku mengetik ide yang sedang kurajut dalam benakku ini nantinya. Ah. Lihat, belum sampai tiga jam aku meninggalkan komputerku dengan keinginan mencari wangsit, sekarang aku sudah ingin menumpahkannya lagi, makanya kubilang plin-plan.
Mungkin harus kuubah sudut pandangku, aku ingin berpergian, tapi nampaknya bukan yang jauh. Yang dekat-dekat saja, cari waktuku sendiri untuk kuhabiskan bermetafora dengan bahasa, menikmati sekitarku yang sebenarnya penuh akan susunan kata, tenggelam dalam irama jukebox, mencari ketenangan jiwa dan raga yang terlanjur penuh dahaga. Huh.. waktunya pulang. Aku membereskan segala pernah pernik yang kubawa kembali ke tas selempangku. Menuju kasir dan membayar secukupnya. Tak lupa tentunya, lemparan pandangan mata ke segerombolan perempuan tadi, sekedar sapa. Hehe.
Motorku mengaum, kususuri jalan Jakarta yang tidak pernah habis cerita, iseng sedikit menghampiriku, aku ambil jalan pulan agak memutar, menikmati waktuku, sekalian tambahan ide untuk tulisanku. Ah. Saat-saat begini, jadi kangen pacarku.
Hari setengah terik, kadang mendung masih lewat sekali-sekali, kopiku yang tadinya mengepul lebat hanya tersisa coklat menggoda—kopi susu. Hitam bertemu putih. Motorku diparkir tak jauh dari pandangan, tukang parkir tersenyum rupiah melihatku datang, akrab kenal walau tak bertukar nama, aku pelanggan di warung ini, warung kopi. Tempat yang familiar, wajah-wajah familiar yang anonim, bertukar mata dan seolah hapal menu yang akan kupesan di luar kepala, tapi tetap, esensi ngopi akan hambar kalau aku tidak menyebutkan sendiri menu yang akan kupesan.
“Kopi susu Indocina, mbak, satu.”
“Ini dulu mas?”
“Iya.”
Aku menghela nafas seolah telah menempuh jarak 190 kilometer Jakarta – Bandung, ada kepuasan yang sama walaupun kondisinya berbeda. Aku bisa saja menyamakan rasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh dengan kepuasan ketika aku duduk di tempat favoritku setelah terkena sedikit macet Jakarta. Ritsleting jaket kuturunkan se-diafragma, pengalihan yang mungkin saja semu akan panas Ibukota yang luar biasa pengap. Hampir seumur hidup aku tinggal disini, tapi tetap saja kalau panas ya kepanasan. Tas selempangku kuletakkan di bangku kosong, kukeluarkan buku bacaan yang sedang berusaha kuselesaikan. Sudesi. Wah, buku ini cukup lama kubaca, hampir dua bulan dan pertengahan saja belum. Bukan jelek, nyatanya, tulisan Arswendo Atmowiloto ini ringan menghibur, sedikit menggurui secara implisit, tapi enteng untuk dibaca seharian. Lalu, kenapa sulit diselesaikan?
Hmm..
Sedikit masalah niat, sebenarnya sih. Belakangan lebih getol menulis daripada membaca, tidak harus berkesinambungan dan berbanding lurus sebenarnya, antara menulis dan membaca. Tapi buatku keseimbangan diantara keduanya penting. Ah, itu buatku.
Ups, kopinya datang. Aku tersenyum kepada si pengantar kopi yang juga senyum balik. Kuharap tulus dan bukannya senyum pekerja yang dibayar senyum. Tanpa basa-basi, kuminum air dingin yang menjadi satu paket kalau kita memesan kopi panas di warung ini, segar, apalagi di tengah terik demikian. Kubuka halaman yang kutandai sebelumnya, membaca sedikit-sedikit dan sesekali senyum tergelitik. Sudesi, atau kepanjangan dari Sukses Dengan Satu Istri ini memiliki dasar konsep yang menarik. Garis besarnya sih, digambarkan dengan kendaraan. Ketika kita memiliki istri dua, maka dapat disamakan dengan sepeda yang beroda dua, tiga, samakan dengan bajai atau bemo, empat, mobil, dst. Ketika kita memiliki dua istri, seperti sepeda, tentunya stabil, begitu pula tiga, tentunya keseimbangan tetap terjaga, empat yang seperti mobil apalagi, enam, delapan dan seterusnya yang semakin lama semakin stabil.
Tapi itu tidak seru. Ketika kita memiliki satu istri, umpamakan dengan sepeda roda satu. Aneh, sulit untuk dilakukan, tapi ketika kita bisa menguasai teknik dan cara mengendarainya, orang akan terkagum-kagum melihat kita melakukannya. Hmm.. aku berpikir ada benarnya juga, bersamaan dengan halaman yang semakin tebal kubaca, aku mendalami lagi apa yang dimaksud dengan Sudesi, dan tanpa sadar pula, aku telah membeli konsep ini dan memasukkannya kedalam daftar pola pikir yang kugunakan. Wah.
Serombongan perempuan muda memasuki warung, kisaran 20an awal, mungkin pekerja, aku melihat mereka, dan mereka melihatku. Aku tersenyum kecil, yang mungkin tanpa sadar merekapun membalas senyumku. Ada gelitik di hatiku, gatal. Mereka duduk tak jauh, berhadapan langsung dengan mejaku. Tak kubuang kesempatan, disela halaman yang kubuka, kusematkan selintas pandang kearah mereka, mereka melihatku, tertawa kecil dan entah berbisik apa. Walah, jadi kepedean.
Loh. Katanya Sudesi.
Memang. Karena konsep Sudesi tidak selesai sampai disana saja. Sudesi mengambil kepercayaan bahwa yang namanya istri itu harus satu, setia, tapi tidak menutup kemungkinan akan adanya kekasih-kekasih dalam bentuk lain. Tapi tetap, satu istri. Hihi. Mungkin secara kasat mata, konsep ini mendukung adanya perselingkuhan, tapi justru itu, kalau perselingkuhan malah bisa menyelamatkan sebuah perkawinan, apa salahnya, yang penting istri tetap satu. Yah, aku tak setuju, tapi kuaplikasikan dalam bentuk yang lebih dangkal. Aku ogah selingkuh, tapi tidak ada salahnya sedikit melirik kanan kiri kalau ada yang menarik sedikit. Yang penting nggak ngapa-ngapain, hatiku tetap pada tempatnya.
Ahh..
Bunyi seruput terdengar jelas dari gelas kopiku yang bertemu bibir, sengaja kukeraskan, agar terlihat bahwa aku benar-benar menikmati secangkir kopi ini. Ketidaksopanan bukan hanya mengartikan ketidaksopanan, tidak semua hal hanya memiliki satu makna. Dalam hal makanan misal, beberapa kultur justru menganggap makan yang berantakan, mulut yang mengecap, suara-suara yang mungkin sebenarnya mengganggu secara umum itu bisa saja diartikan penghormatan. Dan inilah bentuk penghormatanku pada sang barista yang menggunakan tangannya untuk meracik kopiku, suara seruput tanda nikmat.
Oh tentu, kami masih sering bertukar pandang, sesekali mereka menyeka mulutnya cepat, seolah sadar aku mengamati, lalu tertawa terkikik, berbisik, melihatku lagi, dan baru melanjutkan suapan baru. Begitu terus sampai akhirnya kopiku habis tanpa ampas—aku memesan menggunakan drip. Jakarta makin terasa panas dan aku mulai merindukan peraduanku yang adem terhantam kipas angin, merindukan saat-saat aku mengetik ide yang sedang kurajut dalam benakku ini nantinya. Ah. Lihat, belum sampai tiga jam aku meninggalkan komputerku dengan keinginan mencari wangsit, sekarang aku sudah ingin menumpahkannya lagi, makanya kubilang plin-plan.
Mungkin harus kuubah sudut pandangku, aku ingin berpergian, tapi nampaknya bukan yang jauh. Yang dekat-dekat saja, cari waktuku sendiri untuk kuhabiskan bermetafora dengan bahasa, menikmati sekitarku yang sebenarnya penuh akan susunan kata, tenggelam dalam irama jukebox, mencari ketenangan jiwa dan raga yang terlanjur penuh dahaga. Huh.. waktunya pulang. Aku membereskan segala pernah pernik yang kubawa kembali ke tas selempangku. Menuju kasir dan membayar secukupnya. Tak lupa tentunya, lemparan pandangan mata ke segerombolan perempuan tadi, sekedar sapa. Hehe.
Motorku mengaum, kususuri jalan Jakarta yang tidak pernah habis cerita, iseng sedikit menghampiriku, aku ambil jalan pulan agak memutar, menikmati waktuku, sekalian tambahan ide untuk tulisanku. Ah. Saat-saat begini, jadi kangen pacarku.
Ini bukan sensus penduduk apalagi justifikasi, dan jangan pernah mikir kata prejudice, sambit nih. Jadi, abis lompat-lompat blog, blogwalking, iseng kemana-mana, dari satu blogroll ke blogroll lainnya, baca-baca apa aja yang orang pikirin dan ditulis disana, dan ada hal menarik yang gue temuin. Tentang hasrat dominatriks seorang manusia, lha, bukan ini sih, tapi tulisannya bikin pengen ngambil tema ini.
Nggak, lagi nggak minat buka KBBI dan soal definisi gue serahkan pada nerdus-nerdus pencaplok buku itu aja. Tau kan apa itu dominasi? Lebih detailnya dominasi cowok. Setiap cowok, sewajarnya dan seyogyanya punya keinginan untuk mendominasi, nature yang membuat dia ingin selalu menyerang, menguasai, mengambil alih dan kontrol sesuatu, dalam hal ini, cewek. Oh yea, dalam sebuah hubungan, maksudnya.
Bentar, rokok gue abis.
Oke, lanjut. Siapa sih cowok yang ga pengen dianggep cowok? Semua gue rasa, dan andaikan ada yang submisif manut-manut doang kerjaannya kayak ayam mau dikebiri, coba buka celananya, segede apa penisnya. Taking control above all, mate, mungkin nggak bisa semua, tentu, tapi di hal yang nggak dia dominasi, pastilah ada sentilan sedikit di otaknya, kalau nggak bisa disini, maka gue akan mencoba lebih handal dalam hal lain, sampai hal yang gue kalah tadi cuma sekiprit maknanya. Ketika gue kalah soal level bahasa Inggris misal, dominatriks cowok akan bekerja, gak mau kalah dong? Pilihannya, belajar enggres sampai goblok, sampai jauh ninggalin itu perempuan, atau, mahir di bahasa lain, eskimo, misal. Gue bisa bilang ini pasti, kalau enggak? Terserah, toh ini blog gue, pret.
Bisa ditunjukkin, bisa engga, bisa disadari, bisa enggak. Tapi yang pasti, semua cowo punya pemikiran demikian, apa iya harga diri gue yang tinggi ini rela diinjek-injek cewek gue sendiri? Berkasta dibawahnya? Yeah, engga dong. Relationship itu soal persaingan, dan umumnya hanya cowok yang sadar akan persaingan ini, kenapa? Jawabannya di paragraf berikutnya deh. Makanya, cowok jarang—sangat jarang, tersinggung ketika kelemahannya disebut, kecuali soal per-ranjang-an, kayaknya. Kenapa? Karena ketika kelemahan mereka disebut, dikritisi, mereka biasanya langsung puter otak gimana caranya kelemahan itu hilang karena progres diri, atau ketutup sama hal lain yang substitusional.
Tapi apa iya dominasi cowo sebegitu seremnya?
Gue bilang, nggak. Cewek pun mendominasi dengan caranya sendiri. Caranya? Ada yang mengaplikasikan pola dominasi cowok seperti yang gue jabarin diatas, berusaha mengungguli atau mengganti. Tapi. Gue punya teori kacangan tentang bagaimana dominasi cewe sebenarnya, ya kacangan, kagak pake riset dan bukti lapangan yang komprehensif, asal bacot. Menurut gue, submisif. Heu? Yea, mereka mendominasi dengan ke-submisif-an mereka, dengan kepasrahan, angguk-angguk, nrimo, mengiyakan tapi menusuk.
Bisa? Kayaknya, toh teori ngasal. Ketika si cowok menyinggung suatu hal yang memang diakui si cewek adalah hal dimana dia merasa kalah disana, si cewek justru malah berkata begini.
“Iya deh, gue emang nggak terlalu pinter kok kalau dibandingin elo.”
This.
Muji, tapi nurunin derajat sendiri. Kepasrahan yang ditunjukkin ini sadar nggak sadar akan ngebuat cowoknya keki. Iya dong, emang salah dia kalau pinter? Salah emaknya ngasih telor setengah mateng buat sarapan? Salah tukang sayur ngasih sayuran seger-seger? Berada diatas angin tapi disalahin, rasanya apa coba? Pengen turun dong. Nyamain derajat. Kebanyakan cowok tentunya akan bilang, “yaudah, belajar aja yang banyak, kejar gue kalau bisa!”—atau sejenisnya. Tapi justru malah dianggap pemarjinalan, tujuan nantang biar sederajat, biar nggak minderan, ini malah ngerasa makin rendah. Si cowok bingung, tiap ngobrol selalu aja itu diungkit, bahkan kadang bisa aja berpikir, yawes, gue nurunin derajat, kekang otak gue dan selamat, gue sama gobloknya ama elo. Kasarnya sih.
Dan hal ini bisa mencakup banyak hal, dari otak, penampilan fisik, kesehatan badan, prinsip dan seterusnya, masukin aja yang lo temuin. Polanya sama. Sampai gue bisa narik kesimpulan, dominasi cowok, kompetitif, dominasi cewek (submisif), pasrah mbikin kekiis #teot. Apa coba.
Cukup bersyukur makanya, ketika my Brown Sugar, Nanda, adalah tipe cewek nomer satu, yang menggunakan pola dominasi cowok dalam berhubungan, serba nggak mau kalah dan mau menang semuanya, bahkan hal-hal kecil sekalipun. Makanya gue pun terpacu. Ketika gue ngerasa kalah soal materi, udah kerja dianya toh, sementara gue pengangguran dan bisa apa gue mengusahakan kerjaan? Ya gue coba unggul di hal lain, nulis misal, bahkan tulisan dia aja bagus bener, ya makin terpacu. Gue juga melakukan progres di ngegitar karena dia bisa main gitar, gak terima kalah main musik ama cewek lah, enak aja. Gue juga memperbaiki temper gue yang amat jelek ini karena dia masih bisa sestagnan stupa ketika gue udah marah, weh. Dan masih banyak persaingan-persaingan lain yang gak akan bisa gue sebutin satu-satu.
Sayangnya, submisifnya dia masih ada, yaiya, ngga ada orang yang ngerasa sempurna, ada kalanya dia minder, apalagi masalah fisik. Gue tau kok, badannya ringkih, hepatitis lah, suka pingsan sendiri lah, lalala. Minder ya boleh, tapi jangan destruktif, konstruk di hal lain, mungkin. Dan seperti yang gue bilang, gue nggak pernah mempermasalahin kekurangan barang setitik, gue selalu nganggep itu paket yang ada di tiap orang yang gue pacarin, mau penyakitan kek, mau (nganggep dirinya) goblok kek, mau jelek kek, kalau udah gue pacarin ya Titi Sjuman lewaaat, Irene Sukandar kelindes jauuuh. Mata gue ketutup kacamata kuda, yang paling cantik ya dia, yang paling pinter ya dia, titik, gak pake kompromi.
Buat yang cewek, jangan submisif, itu hanya akan jadi bibit-bibit berantem ga ada juntrungan, coba deh bersaing dan jadiin hubungan elo elo pada lebih fun. Karena dengan ngerasa kalah, sadar gak sadar, sama aja ngebuat si pasangan kehilangan dorongan untuk ngembangin diri. Buat yang cowok, protes untuk ngejadiin lebih baik ya boleh, bukan ngatain apalagi ngebandingin (kecuali dengan gaya bercanda supaya dia makin kepecut, kenapa engga), kalau si cewek salah tangkep, berabe, tau kan jurus pemungkasnya? Pe Em Es.
Pret.
Bleh, tulisan apa ini? Sebentar lagi gue ikutan Hitman System kayaknya, oke, saat itu tiba, pasti penis gue bercabang dua. Ya ga mungkin lah yaa..
Nggak, lagi nggak minat buka KBBI dan soal definisi gue serahkan pada nerdus-nerdus pencaplok buku itu aja. Tau kan apa itu dominasi? Lebih detailnya dominasi cowok. Setiap cowok, sewajarnya dan seyogyanya punya keinginan untuk mendominasi, nature yang membuat dia ingin selalu menyerang, menguasai, mengambil alih dan kontrol sesuatu, dalam hal ini, cewek. Oh yea, dalam sebuah hubungan, maksudnya.
Bentar, rokok gue abis.
Oke, lanjut. Siapa sih cowok yang ga pengen dianggep cowok? Semua gue rasa, dan andaikan ada yang submisif manut-manut doang kerjaannya kayak ayam mau dikebiri, coba buka celananya, segede apa penisnya. Taking control above all, mate, mungkin nggak bisa semua, tentu, tapi di hal yang nggak dia dominasi, pastilah ada sentilan sedikit di otaknya, kalau nggak bisa disini, maka gue akan mencoba lebih handal dalam hal lain, sampai hal yang gue kalah tadi cuma sekiprit maknanya. Ketika gue kalah soal level bahasa Inggris misal, dominatriks cowok akan bekerja, gak mau kalah dong? Pilihannya, belajar enggres sampai goblok, sampai jauh ninggalin itu perempuan, atau, mahir di bahasa lain, eskimo, misal. Gue bisa bilang ini pasti, kalau enggak? Terserah, toh ini blog gue, pret.
Bisa ditunjukkin, bisa engga, bisa disadari, bisa enggak. Tapi yang pasti, semua cowo punya pemikiran demikian, apa iya harga diri gue yang tinggi ini rela diinjek-injek cewek gue sendiri? Berkasta dibawahnya? Yeah, engga dong. Relationship itu soal persaingan, dan umumnya hanya cowok yang sadar akan persaingan ini, kenapa? Jawabannya di paragraf berikutnya deh. Makanya, cowok jarang—sangat jarang, tersinggung ketika kelemahannya disebut, kecuali soal per-ranjang-an, kayaknya. Kenapa? Karena ketika kelemahan mereka disebut, dikritisi, mereka biasanya langsung puter otak gimana caranya kelemahan itu hilang karena progres diri, atau ketutup sama hal lain yang substitusional.
Tapi apa iya dominasi cowo sebegitu seremnya?
Gue bilang, nggak. Cewek pun mendominasi dengan caranya sendiri. Caranya? Ada yang mengaplikasikan pola dominasi cowok seperti yang gue jabarin diatas, berusaha mengungguli atau mengganti. Tapi. Gue punya teori kacangan tentang bagaimana dominasi cewe sebenarnya, ya kacangan, kagak pake riset dan bukti lapangan yang komprehensif, asal bacot. Menurut gue, submisif. Heu? Yea, mereka mendominasi dengan ke-submisif-an mereka, dengan kepasrahan, angguk-angguk, nrimo, mengiyakan tapi menusuk.
Bisa? Kayaknya, toh teori ngasal. Ketika si cowok menyinggung suatu hal yang memang diakui si cewek adalah hal dimana dia merasa kalah disana, si cewek justru malah berkata begini.
“Iya deh, gue emang nggak terlalu pinter kok kalau dibandingin elo.”
This.
Muji, tapi nurunin derajat sendiri. Kepasrahan yang ditunjukkin ini sadar nggak sadar akan ngebuat cowoknya keki. Iya dong, emang salah dia kalau pinter? Salah emaknya ngasih telor setengah mateng buat sarapan? Salah tukang sayur ngasih sayuran seger-seger? Berada diatas angin tapi disalahin, rasanya apa coba? Pengen turun dong. Nyamain derajat. Kebanyakan cowok tentunya akan bilang, “yaudah, belajar aja yang banyak, kejar gue kalau bisa!”—atau sejenisnya. Tapi justru malah dianggap pemarjinalan, tujuan nantang biar sederajat, biar nggak minderan, ini malah ngerasa makin rendah. Si cowok bingung, tiap ngobrol selalu aja itu diungkit, bahkan kadang bisa aja berpikir, yawes, gue nurunin derajat, kekang otak gue dan selamat, gue sama gobloknya ama elo. Kasarnya sih.
Dan hal ini bisa mencakup banyak hal, dari otak, penampilan fisik, kesehatan badan, prinsip dan seterusnya, masukin aja yang lo temuin. Polanya sama. Sampai gue bisa narik kesimpulan, dominasi cowok, kompetitif, dominasi cewek (submisif), pasrah mbikin kekiis #teot. Apa coba.
Cukup bersyukur makanya, ketika my Brown Sugar, Nanda, adalah tipe cewek nomer satu, yang menggunakan pola dominasi cowok dalam berhubungan, serba nggak mau kalah dan mau menang semuanya, bahkan hal-hal kecil sekalipun. Makanya gue pun terpacu. Ketika gue ngerasa kalah soal materi, udah kerja dianya toh, sementara gue pengangguran dan bisa apa gue mengusahakan kerjaan? Ya gue coba unggul di hal lain, nulis misal, bahkan tulisan dia aja bagus bener, ya makin terpacu. Gue juga melakukan progres di ngegitar karena dia bisa main gitar, gak terima kalah main musik ama cewek lah, enak aja. Gue juga memperbaiki temper gue yang amat jelek ini karena dia masih bisa sestagnan stupa ketika gue udah marah, weh. Dan masih banyak persaingan-persaingan lain yang gak akan bisa gue sebutin satu-satu.
Sayangnya, submisifnya dia masih ada, yaiya, ngga ada orang yang ngerasa sempurna, ada kalanya dia minder, apalagi masalah fisik. Gue tau kok, badannya ringkih, hepatitis lah, suka pingsan sendiri lah, lalala. Minder ya boleh, tapi jangan destruktif, konstruk di hal lain, mungkin. Dan seperti yang gue bilang, gue nggak pernah mempermasalahin kekurangan barang setitik, gue selalu nganggep itu paket yang ada di tiap orang yang gue pacarin, mau penyakitan kek, mau (nganggep dirinya) goblok kek, mau jelek kek, kalau udah gue pacarin ya Titi Sjuman lewaaat, Irene Sukandar kelindes jauuuh. Mata gue ketutup kacamata kuda, yang paling cantik ya dia, yang paling pinter ya dia, titik, gak pake kompromi.
Buat yang cewek, jangan submisif, itu hanya akan jadi bibit-bibit berantem ga ada juntrungan, coba deh bersaing dan jadiin hubungan elo elo pada lebih fun. Karena dengan ngerasa kalah, sadar gak sadar, sama aja ngebuat si pasangan kehilangan dorongan untuk ngembangin diri. Buat yang cowok, protes untuk ngejadiin lebih baik ya boleh, bukan ngatain apalagi ngebandingin (kecuali dengan gaya bercanda supaya dia makin kepecut, kenapa engga), kalau si cewek salah tangkep, berabe, tau kan jurus pemungkasnya? Pe Em Es.
Pret.
Bleh, tulisan apa ini? Sebentar lagi gue ikutan Hitman System kayaknya, oke, saat itu tiba, pasti penis gue bercabang dua. Ya ga mungkin lah yaa..
Judas, Yuda, Yudas
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Tuesday, March 15, 2011
Posted at : 9:32 PM
Aku tidak pernah memberinya nama.
Nihil tapi ada, hampa tapi terasa, tidak dapat disentuh namun bisa berbicara. Jangan tanya apa, yang ada hanya ribuan pertanyaan muncul di kepala, tatapan tidak percaya dan tidak jarang kata yang meremehkan. Makanya aku malas menyebut dia, tidak ada daya guna, aku punya dan kau tidak, jangan jadikan itu sebagai cemooh jika apa yang aku punya itu tidak ada sepertimu. Kalau ketidakmampuan kau bayar dengan ketiadaan, sampai mati kamu tidak akan dapat mengerti. Katakanlah, mati dulu sekali, mungkin pandanganmu tentangku bisa berubah, jika tidak, mungkin aku yang akan merubah sudut pandangku. Siapa yang tahu.
Dia memelukku erat dalam gelap, menggenggam tanganku dengan hangatnya menenangkan, dadanya menyentuh punggungku, antara dingin dan ingin. Ingin aku berbalik dan mencumbunya liar, merasakan lidahnya di lidahku, hidungnya yang bertemu dengan hidungku, dan mata-mata kami yang saling beradu. Tapi aku tidak bisa, terlebih dia hanya kabut hitam yang mengambang memenuhi paru-paruku, mengelus tengkukku halus tanpa ragu, dan bahkan mencambuk dagingku dengan arit kematiannya. Aku tercerahkan, aku ditenangkan. Dengan cara paling kejam yang bisa kau bayangkan, paling keras dan paling sadis yang aku sendiri tidak bisa membayangkan. Dia disini, disana, di hatiku dan di hatimu.
Kami sesama kami, pelaku sekaligus korban. Seolah fiktif tak logis, tapi nyata terbalut fakta empiris.
Kalimatku tidak akan terdengar padu, kecuali kamu adalah aku, dalam artian, kita mengalami hal yang sama. Aku bertemu dengannya, satu dari jenisku yang tidak kusangka. Aku ternganga, bayangkan saja, aku berada di sebuah titik dimana aku berspekulasi bahwa akulah yang salah, yang tidak lurus, yang otaknya sudah bergeser. Mungkin bergeser, tapi tidak. Ketika tidak ada fakta logis, pembuktian nyata yang dapat dipertanggungjawabkan, sebuah kata hanyalah kata, kalimat tetap disebut kalimat dan bukannya bukti otentik. Aku bersyukur setengah ngeri, dia berbicara sebagaimana aku ingin berbicara, satu dari jenisku, menjelaskan hal yang sebelumnya enggan aku jelaskan, tawa dingin yang juga menjadi tawaku, arogansi sepintas dangkal tapi justru adalah arogansi sebenarnya, sikap pembawa kematian yang justru adalah semangat hidup paling murni. Aku bukan dia dan dia bukan aku, tapi kami mengalami hal yang katakanlah sama, dengan interpretasi dan paradigma yang berbeda, jadilah kami satu spesies yang sama dengan gen berbeda.
“Lukas.”
Aku tidak pernah memberinya nama.
Bukan enggan atau tak ingin, tidak terpikir bahkan selintas kedip. Aku pun tidak pernah menganggapnya teman, rekan, saudara, padahal ia ada dalam setiap tarikan nafasku. Aku tidak pernah berusaha mengenalnya, padahal secara halus aku sudah bersetubuh dengannya. Kami bagaikan sepasang kuda yang membelit satu sama lain di malam hari, dan keesokan pagi seolah tak ada apapun yang telah terjadi. Nafsu yang begitu nyata seakan ilusi, sentuhan hangatnya kubuat maya, kalimat yang mengalir dari bibir tipisnya kubuat buram, aku menghilangkannya. Mungkin. Tapi dia ada, setiap aku menarik nafas.
Aku merasa dia berkhianat, menghancurkanku, melindasku dengan kaki domba nya yang kuat bagai bambu. Merobek jantungku dengan kata-katanya yang lebih tajam dari scalpel, meremukkan semua tulangku dengan tubuhnya yang bagai lembu jantan. Aku menyalahkannya, walau kurasa tak tepat. Aku berkhianat, kepada yang mengkhianatiku. Atau, kukira aku dikhianati. Tidak akan selesai sampai kiamat.
Ya, aku tidak pernah memberinya nama.
Mungkin.. tidak. Tidak terlambat. Syukur lah.
Nihil tapi ada, hampa tapi terasa, tidak dapat disentuh namun bisa berbicara. Jangan tanya apa, yang ada hanya ribuan pertanyaan muncul di kepala, tatapan tidak percaya dan tidak jarang kata yang meremehkan. Makanya aku malas menyebut dia, tidak ada daya guna, aku punya dan kau tidak, jangan jadikan itu sebagai cemooh jika apa yang aku punya itu tidak ada sepertimu. Kalau ketidakmampuan kau bayar dengan ketiadaan, sampai mati kamu tidak akan dapat mengerti. Katakanlah, mati dulu sekali, mungkin pandanganmu tentangku bisa berubah, jika tidak, mungkin aku yang akan merubah sudut pandangku. Siapa yang tahu.
Dia memelukku erat dalam gelap, menggenggam tanganku dengan hangatnya menenangkan, dadanya menyentuh punggungku, antara dingin dan ingin. Ingin aku berbalik dan mencumbunya liar, merasakan lidahnya di lidahku, hidungnya yang bertemu dengan hidungku, dan mata-mata kami yang saling beradu. Tapi aku tidak bisa, terlebih dia hanya kabut hitam yang mengambang memenuhi paru-paruku, mengelus tengkukku halus tanpa ragu, dan bahkan mencambuk dagingku dengan arit kematiannya. Aku tercerahkan, aku ditenangkan. Dengan cara paling kejam yang bisa kau bayangkan, paling keras dan paling sadis yang aku sendiri tidak bisa membayangkan. Dia disini, disana, di hatiku dan di hatimu.
Kami sesama kami, pelaku sekaligus korban. Seolah fiktif tak logis, tapi nyata terbalut fakta empiris.
Kalimatku tidak akan terdengar padu, kecuali kamu adalah aku, dalam artian, kita mengalami hal yang sama. Aku bertemu dengannya, satu dari jenisku yang tidak kusangka. Aku ternganga, bayangkan saja, aku berada di sebuah titik dimana aku berspekulasi bahwa akulah yang salah, yang tidak lurus, yang otaknya sudah bergeser. Mungkin bergeser, tapi tidak. Ketika tidak ada fakta logis, pembuktian nyata yang dapat dipertanggungjawabkan, sebuah kata hanyalah kata, kalimat tetap disebut kalimat dan bukannya bukti otentik. Aku bersyukur setengah ngeri, dia berbicara sebagaimana aku ingin berbicara, satu dari jenisku, menjelaskan hal yang sebelumnya enggan aku jelaskan, tawa dingin yang juga menjadi tawaku, arogansi sepintas dangkal tapi justru adalah arogansi sebenarnya, sikap pembawa kematian yang justru adalah semangat hidup paling murni. Aku bukan dia dan dia bukan aku, tapi kami mengalami hal yang katakanlah sama, dengan interpretasi dan paradigma yang berbeda, jadilah kami satu spesies yang sama dengan gen berbeda.
“Lukas.”
Aku tidak pernah memberinya nama.
Bukan enggan atau tak ingin, tidak terpikir bahkan selintas kedip. Aku pun tidak pernah menganggapnya teman, rekan, saudara, padahal ia ada dalam setiap tarikan nafasku. Aku tidak pernah berusaha mengenalnya, padahal secara halus aku sudah bersetubuh dengannya. Kami bagaikan sepasang kuda yang membelit satu sama lain di malam hari, dan keesokan pagi seolah tak ada apapun yang telah terjadi. Nafsu yang begitu nyata seakan ilusi, sentuhan hangatnya kubuat maya, kalimat yang mengalir dari bibir tipisnya kubuat buram, aku menghilangkannya. Mungkin. Tapi dia ada, setiap aku menarik nafas.
Aku merasa dia berkhianat, menghancurkanku, melindasku dengan kaki domba nya yang kuat bagai bambu. Merobek jantungku dengan kata-katanya yang lebih tajam dari scalpel, meremukkan semua tulangku dengan tubuhnya yang bagai lembu jantan. Aku menyalahkannya, walau kurasa tak tepat. Aku berkhianat, kepada yang mengkhianatiku. Atau, kukira aku dikhianati. Tidak akan selesai sampai kiamat.
Ya, aku tidak pernah memberinya nama.
Mungkin.. tidak. Tidak terlambat. Syukur lah.
Subscribe to:
Posts (Atom)