Tidak Jelas Juntrungannya
Filed Under (Sikit Karya ) by Pitiful Kuro on Monday, October 26, 2009
Posted at : 12:42 AM
Selalu mudah membuat cerita dengan awalan sebuah awal. Huruf pertama dari suku kata pertama dari kalimat pertama dari paragraf pertama, dan apakah itu? Aku. Aku duduk, tertidur, namun aku sadar. Sadar bahwa aku masih hidup, jantungku berdetak sebagaimana mestinya sebuah jantung bergerak, nafasku memburu terengah-engah, tapi diatas semua itu, aku masih hidup. Tidak peduli berapa satuan cc yang tertumpah ke jok mobil orang yang panik disampingku, tak peduli seberapa indah penampilanku sudah didandani manis oleh darahku sendiri, sekali lagi satu hal yang kutegaskan, aku masih hidup.
Tapi aku tak ditubuhku.
Aku melihat aku, duduk di dashboard melihat diriku sendiri yang merintih sakit, kesannya lucu, dan mungkin adalah kesempatan sekali seumur hidup—atau terakhir—yang bisa saja terjadi. Aku tentu tidak merasa sakit, tapi sepertinya dia, maksudku aku, tampak kepayahan. Pft—
Si supir nampak panik, begitupula dua orang yang ada di bangku penumpang, err.. tentu saja, melihat salah satu anggota keluarganya berpeluh darah tak sadar, bagaimana bisa tenang, mereka pasti sedih memikirkan bagaimana mengurus mayatku nanti, ergh.. proses kremasi, tanah pekuburan, dan tetek bengek birokrasi lainnya soal penguburan mayat yang dulu pernah kudengar hanya bikin pusing, jelas saja mereka panik. Maaf, terlalu sinis? Ah ya, kalau begitu, mereka pasti sedih akan kehilanganku, puas ralatnya?
Langit sudah memeluk bumi dengan gulita pekatnya, menyisihkan ruang sempit untuk selusin bintang paling terang bereksibisi pamer cahaya, sedangkan aku, dengan tubuh astral ringan tak lebih berat dari zarah menikmatinya santai. Sayang, rintihan dia—maaf—aku, mengganggu saja. Tak pernah menyangka dengan tubuh macam ini bisa menikmati dunia senikmat-nikmatnyanya, tahu tidak? Rasanya, emm.. seperti menyatu dengan alam, maksudku, benar-benar menyatu, ah, sudahlah, kalau belum sepertiku takkan tahu rasanya.
Aku menghirup udara yang sebenarnya tak perlu, merasakan dingin udara perbuktian yang seharusnya tak bisa kurasakan, dan mendengarkan kabar-kabar dari serangga di kejauhan gelapnya malam. Ah~ dunia.. ups! Maksudku, akhirat. Euh. Tak tega, kawan. Meskipun aku dianugrahi sinisme tingkat empat dan sarkasme level dewa, aku tak bisa membiarkan dia—ergh, maksudku tubuhku—merintih demikian hebatnya. Tak percaya aku, bagaimana mungkin seorang kuat seperti diriku, si keras kepala pantang mengeluh dan tukang injak kelemahan orang, bisa berteriak pilu begitu. Halalah, malu aku. Kapan sih prosesnya selesai? Halo? Tuhan? Kau disana? Sini dong ah.
“Yap?”
Ergh? Siapa? Aih aih, datang? Sewujud entitas berdiri (maksudku, benar-benar berdiri) diatas kap mobil yang melaju 80km/jam, bukan manusia kan? Aku membalik badanku, memaksimalkan akomodasi mata astralku untuk melihat lebih jelas wujud makhluk yang asik nangkring semeter didepanku. Apa.. si Tuhan sendiri yang menyempatkan datang ke mobil sedan butut keluaran 80an ini untuk menjemputku secara langsung?
“Oh.. bukan-bukan..”
Dia membaca pikiranku?
“Tentu,”
Waw, dia tersenyum, yang ngerinya, bukan senyuman manusia, err, secara literal. Karena saat mataku mulai dapat melihat dengan baik, kepalanya bukan kepala manusia, tapi.. anjing?
“Koreksi, pak, ini kepala Jackal, bukan anjing. Mitos mesir kuno di dunia atas, pernah dengar?”
“Dunia atas?”
“Ah, tentu tidak tahu ya, maksudku dunia orang hidup,”
Tampak lebih jelas sekarang, sosok itu berbentuk manusia utuh, hanya saja berkepala an—maksudku, Jackal. Mengenakan setelan jas hitam plus kemeja putih, nampak seperti orang yang menghadiri pemakaman. Aku turut keluar mobil mendekatinya, menembus kaca depan, dan duduk persis didepan.. emm.. siapa?
“Wah, maaf pak, terlambat memperkenalkan diri saya, anda dapat menyebut saya dengan berbagai sebutan yang ada di dunia atas sesuka anda, Shinigami, dewa kematian, Izrail, Anubis, Domorad, Elynthiok, atau apapun yang pernah anda dengar,”
“Oh, tukang cabut nyawa,”
“Ya bolehlah.. kalau begitu, mulai saja. Farhan Putranto, lahir 6 maret 1985 pukul 08.11 pagi, meninggal 8 Febuari 2010 pukul 02.54 pagi. Anak dari bapak Catur Marti—“
Err.. aku menengok sekilas ke dashboard, jam masih menunjukkan pukul 01.49, 5 menit lagi?
“—cucu dari—astaga! Pak, tolong dengarkan! Ini prosedurnya!”
“Euh, baik.. tapi.. apakah lima menit sisa ini akan digunakan untuk mendengarkan anda berbicara soal silsilah panjang yang bahkan-aku-tak-tahu-anda-sebut-siapa? Boleh ngobrol saja?”
Plop
Ah, dia menutup bukunya.
“Tentu pak,”
“Baiklah, biasanya aku mengobrol sambil minum kopi, apakah mungkin aku bisa minum kopi dengan tubuh begini? Atau aku kembali sebentar ke tubuhku untuk minum kopi? Aih, tapi nampaknya aku hanya akan kesakitan ya?”
“Mungkin..”
“Aduh, ngobrol atuh pak, saya hanya punya waktu kurang dari empat menit untuk ada disini kan? Kooperatif sedikit sesekali untuk memenuhi permintaan terakhir orang yang akan meninggal dong..”
“Sebenarnya, dalam catatan, anda sudah tercatat meninggal,”
“Ah ya.. baiklah, kalau begitu saya saja yang bertanya, nanti akan dibawa kemana saya? Surga? Neraka? Atau reinkarnasi seperti film-film kungfu itu?”
“Anda yakin ingin tahu?”
“Err... tidak akan ada bedanya tahu sekarang dan nanti kan?”
Waw, takut sih sebenarnya, berbuat baik aku jarang, berbuat jahat tidak pernah, ibadah kurasa cukup, aku sering membantu orang, hei, aku psikolog, itu terhitung membantu kan? Walau ada bayarannya, tetap saja hitungannya membantu orang. Pasti surga, eh, tapi rasanya terlalu mudah, lagipula aku baru saja jadi psikolog setahun terakhir, apa sudah cukup banyak orang yang kutolong? Bagaimana-bagaimana—
“Ehm Ehm..”
“Euh, maaf pak, lupa kalau anda bisa tahu apa yang saya pikir,”
“Begini (membuka catatan), waktu kecil anda pernah memukul kepala teman anda dengan gelas, itu minus, lalu pernah menaruh paku payung di bangku guru, minus, pernah melempari teman sekelas dengan plastik air kencing, minus, ah.. ini baik, memberi makan kucing dengan susu, plus, lalu—blablabla—oke, surga.”
“Hah?”
“Jangan senang dulu, surga dan neraka hanya berbeda suhu, di surga lebih sejuk, sementara neraka panas sedikit. Yah, kalau di dunia orang hidup, surga itu seperti bumi bagian barat—apa namanya?—ah, eropa. Neraka, katakanlah seperti daerah tropis. Saya pribadi lebih suka berlibur di neraka—ah.. maaf, melantur, ehm. Dan anda bisa berkunjung atau pindah ke dua bagian dunia itu jika anda mau. Yang berbeda dari dunia orang hidup, disana anda dapat mati, tapi di tempat yang anda kunjungi nanti, anda abadi. Mudah saja.”
“...”
“Pak?”
“Gentayangan sajalah..”
Tapi aku tak ditubuhku.
Aku melihat aku, duduk di dashboard melihat diriku sendiri yang merintih sakit, kesannya lucu, dan mungkin adalah kesempatan sekali seumur hidup—atau terakhir—yang bisa saja terjadi. Aku tentu tidak merasa sakit, tapi sepertinya dia, maksudku aku, tampak kepayahan. Pft—
Si supir nampak panik, begitupula dua orang yang ada di bangku penumpang, err.. tentu saja, melihat salah satu anggota keluarganya berpeluh darah tak sadar, bagaimana bisa tenang, mereka pasti sedih memikirkan bagaimana mengurus mayatku nanti, ergh.. proses kremasi, tanah pekuburan, dan tetek bengek birokrasi lainnya soal penguburan mayat yang dulu pernah kudengar hanya bikin pusing, jelas saja mereka panik. Maaf, terlalu sinis? Ah ya, kalau begitu, mereka pasti sedih akan kehilanganku, puas ralatnya?
Langit sudah memeluk bumi dengan gulita pekatnya, menyisihkan ruang sempit untuk selusin bintang paling terang bereksibisi pamer cahaya, sedangkan aku, dengan tubuh astral ringan tak lebih berat dari zarah menikmatinya santai. Sayang, rintihan dia—maaf—aku, mengganggu saja. Tak pernah menyangka dengan tubuh macam ini bisa menikmati dunia senikmat-nikmatnyanya, tahu tidak? Rasanya, emm.. seperti menyatu dengan alam, maksudku, benar-benar menyatu, ah, sudahlah, kalau belum sepertiku takkan tahu rasanya.
Aku menghirup udara yang sebenarnya tak perlu, merasakan dingin udara perbuktian yang seharusnya tak bisa kurasakan, dan mendengarkan kabar-kabar dari serangga di kejauhan gelapnya malam. Ah~ dunia.. ups! Maksudku, akhirat. Euh. Tak tega, kawan. Meskipun aku dianugrahi sinisme tingkat empat dan sarkasme level dewa, aku tak bisa membiarkan dia—ergh, maksudku tubuhku—merintih demikian hebatnya. Tak percaya aku, bagaimana mungkin seorang kuat seperti diriku, si keras kepala pantang mengeluh dan tukang injak kelemahan orang, bisa berteriak pilu begitu. Halalah, malu aku. Kapan sih prosesnya selesai? Halo? Tuhan? Kau disana? Sini dong ah.
“Yap?”
Ergh? Siapa? Aih aih, datang? Sewujud entitas berdiri (maksudku, benar-benar berdiri) diatas kap mobil yang melaju 80km/jam, bukan manusia kan? Aku membalik badanku, memaksimalkan akomodasi mata astralku untuk melihat lebih jelas wujud makhluk yang asik nangkring semeter didepanku. Apa.. si Tuhan sendiri yang menyempatkan datang ke mobil sedan butut keluaran 80an ini untuk menjemputku secara langsung?
“Oh.. bukan-bukan..”
Dia membaca pikiranku?
“Tentu,”
Waw, dia tersenyum, yang ngerinya, bukan senyuman manusia, err, secara literal. Karena saat mataku mulai dapat melihat dengan baik, kepalanya bukan kepala manusia, tapi.. anjing?
“Koreksi, pak, ini kepala Jackal, bukan anjing. Mitos mesir kuno di dunia atas, pernah dengar?”
“Dunia atas?”
“Ah, tentu tidak tahu ya, maksudku dunia orang hidup,”
Tampak lebih jelas sekarang, sosok itu berbentuk manusia utuh, hanya saja berkepala an—maksudku, Jackal. Mengenakan setelan jas hitam plus kemeja putih, nampak seperti orang yang menghadiri pemakaman. Aku turut keluar mobil mendekatinya, menembus kaca depan, dan duduk persis didepan.. emm.. siapa?
“Wah, maaf pak, terlambat memperkenalkan diri saya, anda dapat menyebut saya dengan berbagai sebutan yang ada di dunia atas sesuka anda, Shinigami, dewa kematian, Izrail, Anubis, Domorad, Elynthiok, atau apapun yang pernah anda dengar,”
“Oh, tukang cabut nyawa,”
“Ya bolehlah.. kalau begitu, mulai saja. Farhan Putranto, lahir 6 maret 1985 pukul 08.11 pagi, meninggal 8 Febuari 2010 pukul 02.54 pagi. Anak dari bapak Catur Marti—“
Err.. aku menengok sekilas ke dashboard, jam masih menunjukkan pukul 01.49, 5 menit lagi?
“—cucu dari—astaga! Pak, tolong dengarkan! Ini prosedurnya!”
“Euh, baik.. tapi.. apakah lima menit sisa ini akan digunakan untuk mendengarkan anda berbicara soal silsilah panjang yang bahkan-aku-tak-tahu-anda-sebut-siapa? Boleh ngobrol saja?”
Plop
Ah, dia menutup bukunya.
“Tentu pak,”
“Baiklah, biasanya aku mengobrol sambil minum kopi, apakah mungkin aku bisa minum kopi dengan tubuh begini? Atau aku kembali sebentar ke tubuhku untuk minum kopi? Aih, tapi nampaknya aku hanya akan kesakitan ya?”
“Mungkin..”
“Aduh, ngobrol atuh pak, saya hanya punya waktu kurang dari empat menit untuk ada disini kan? Kooperatif sedikit sesekali untuk memenuhi permintaan terakhir orang yang akan meninggal dong..”
“Sebenarnya, dalam catatan, anda sudah tercatat meninggal,”
“Ah ya.. baiklah, kalau begitu saya saja yang bertanya, nanti akan dibawa kemana saya? Surga? Neraka? Atau reinkarnasi seperti film-film kungfu itu?”
“Anda yakin ingin tahu?”
“Err... tidak akan ada bedanya tahu sekarang dan nanti kan?”
Waw, takut sih sebenarnya, berbuat baik aku jarang, berbuat jahat tidak pernah, ibadah kurasa cukup, aku sering membantu orang, hei, aku psikolog, itu terhitung membantu kan? Walau ada bayarannya, tetap saja hitungannya membantu orang. Pasti surga, eh, tapi rasanya terlalu mudah, lagipula aku baru saja jadi psikolog setahun terakhir, apa sudah cukup banyak orang yang kutolong? Bagaimana-bagaimana—
“Ehm Ehm..”
“Euh, maaf pak, lupa kalau anda bisa tahu apa yang saya pikir,”
“Begini (membuka catatan), waktu kecil anda pernah memukul kepala teman anda dengan gelas, itu minus, lalu pernah menaruh paku payung di bangku guru, minus, pernah melempari teman sekelas dengan plastik air kencing, minus, ah.. ini baik, memberi makan kucing dengan susu, plus, lalu—blablabla—oke, surga.”
“Hah?”
“Jangan senang dulu, surga dan neraka hanya berbeda suhu, di surga lebih sejuk, sementara neraka panas sedikit. Yah, kalau di dunia orang hidup, surga itu seperti bumi bagian barat—apa namanya?—ah, eropa. Neraka, katakanlah seperti daerah tropis. Saya pribadi lebih suka berlibur di neraka—ah.. maaf, melantur, ehm. Dan anda bisa berkunjung atau pindah ke dua bagian dunia itu jika anda mau. Yang berbeda dari dunia orang hidup, disana anda dapat mati, tapi di tempat yang anda kunjungi nanti, anda abadi. Mudah saja.”
“...”
“Pak?”
“Gentayangan sajalah..”
Ada pepatah lama yang mengatakan, setejam-tajamnya pisau, apabila tidak pernah diasah, pasti akan tumpul juga. Can’t more agree with that. Kemampuan nulis gue makin jongkok karena lama ngga pernah digunakan untuk tulisan bebas. Karya ilmiah, makalah, dan esai, itu semua adalah bentuk tulisan yang gue buat dalam beberapa bulan terakhir. Tidak ada cerpen, tidak ada prosa, tidak ada pula yang namanya puisi (emang pernah gue bikin puisi?), ha. Semua kegiatan yang berhubungan dengan bahasa terpotong sudah bagai t*t*t yang di sunat, tau ngga? Bahkan ngga ada satu buku pun yang gue selesaikan dalam beberapa bulan terakhir (buku diktat dan motivasi ga di hitung, maksudnya sastra).
Apa alasannya? Yang jelas, bukan kehilangan minat, minat gue pada bidang ini masih sangat besar. Bahkan keinginan-mustahil-terwujud gue untuk ngambil program ganda dengan sastra indonesia masih belum pudar, ingin tapi ngga mungkin, sort of. Di bilang sibuk pun sebenernya ngga terlalu, banyak waktu kosong yang dipergunakan secara tidak efektif dan cuma nyampahin waktu: browsing tanpa tujuan, tidur, bahkan—melamun. Oh keren. No, no, time that i spend with meine freundin is not such a waste, gue melihatnya sebagai penghabisan waktu yang berkualitas, walau tidak melakukan apapun. Ha..
Untuk itu, gue mencoba untuk membangkitkan insting menulis yang entah sejak kapan tumpul. Caranya? Alamak, tidak ada jaminan seperti yang di berikan seperti saat kita meminjam uang ke bank, kalau gue memberi janji, nanti jaminannya disita, haha. Mudah sajalah, diusahakan untuk mengisi blog ini dengan rutin, amin gak? Amin dong ah.
Langkah pertama, gue meminta seseorang teman baik untuk memilihkan satu topik secara acak, berikutnya terserah gue akan mengembangkan topik itu menjadi seperti apa nantinya. Here it is.
__
Ejaan Yang Disempurnakan.
Ah, jangan keburu mengerutkan dahi terlebih dahulu setelah melihat judul diatas, salahkan Bayu Adiputro yang memilih topik itu.
Ejaan yang disempurnakan atau lebih akrab kita kenal dengan singkatan EYD adalah ejaan yang mulai dipakai di Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1972. Mencakup 12 aspek total dan mungkin ratusan poin-poin kecil peranakan dari 12 aspek tersebut. 12 aspek tersebut adalah. Kapitalisasi, tanda koma, titik, seru, hubung, titik koma, tanya, petik, titik dua, kurung, elipsis dan tanda garis miring.
Sering kali kita sebagai bangsa Indonesia mengerdilkan fungsi dari EYD ini dan jelas-jelas meludahi tata bahasa yang ada. Mungkin masih dimaafkan apabila penggunaan EYD ini tidak terlalu dijunjung tinggi pada penulisan karya sastra, dengan dalih agar membuat karya tersebut menjadi lebih menarik dan lebih asik untuk dikonsumsi. Misal saja, penggunaan tanda titik berurutan untuk menimbulkan kesan hening dan membuat efek suram pada sebuah dialog, tentu dimaafkan. Tapi jika kesalahan terang-terangan tersebut digunakan dalam sebuah karya ilmiah, wah, tidak bisa berkomentar saya.
Walah, tidak usah jauh-jauh ke penulisan karya ilmiah yang meribetkan jiwa membuat pusing mata itulah, mari pindah saja ke fenomena sosial yang sedang marak belakangan ini. Situs jejaring sosial, tempat dimana tulisan menjadi media utama komunikasi—disamping fitur foto dan sebagainya, tentu. Mungkin bisa saya katakan, bahwa situs jejaring sosial semacam facebook atau myspace dapat dijadikan sampel bagaimana kondisi bangsa ini memandang sebuah bahasa. Saya tidak munafik, tentunya bahasa slang lebih menarik digunakan dalam keseharian, jadi saya tidak akan mengkritisi soal kosakata disini. Yang jadi masalah adalah, cara menulis, tipografi. Mengerti maksud saya? Begini.
Aku, menjadi aq.
Kamu, menjadi kmoch.
Dsb, ngga kuat melanjutkan, maaf.
Mengerti kan maksud saya? Tidak masalah dengan bahasa slang, tidak ada masalah dengan kosakata, tapi setidaknya, gunakanlah bahasa sebagaimana mestinya seperti yang sudah diatur oleh para pendahulu kita di masa lampau. Jika ingin membuat kata baru, maka akan sangat dipersilahkan, tapi janganlah merubah kata yang sudah ajeg, menjadi suatu bentuk lain yang (maaf) membuat merinding orang yang membacanya. Tidak harus menggunakan tata bahasa yang sebagaimana saya sebutkan di paragraf pertama, tanda baca yang baik dan benar. Tidak harus titik setelah akhir kalimat, tidak harus koma setelah satu kalimat selesai, tapi cukup gunakanlah dengan bijak. Karena satu tanda titik sudah cukup untuk mengakhiri, satu tanda seru sudah cukup untuk membuat satu kalimat berartikan seru, dan satu tanda tanya sudah menjelaskan dengan amat jelas kalau kita sedang bertanya.
Dalam facebook sendiri, cukup banyak grup yang menentang penggunaan bahasa demikian, jadi bukan hanya saya kan yang agak terlalu perfeksionis? Ada pula yang menyebutkan bahwa tata bahasa demikian adalah tata bahasa alay, entahlah, saya lebih suka menyebutnya sebagai penggunaan tipografi yang kebablasan daripada jenis bahasa yang digunakan oleh suatu kelompok tertentu. Saya juga tidak mendiskreditkan pengguna bahasa demikian, hanya saja, saya menghimbau untuk menggunakan bahasa sebagaimana mestinya. EYD diciptakan oleh orang Indonesia, kalau bukan orang Indonesia sendiri yang menggunakan serta melestarikannya, siapa lagi? Tidak lucu jika suatu saat nanti, kitab suci bahasa Indonesia kita yang melampirkan EYD diklaim oleh bangsa lain bukan? Jangan sampai kita berlatah ria menggunakan tatanan bahasa yang seharusnya pada saat itu, sudah terlalu terlambat, kawan.
Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, saya tidak munafik, bahasa slang lebih membuat saya nyaman daripada harus berkaku setiap saat dalam setiap kesempatan. Saya juga tidak menjadikan KBBI sebagai kitab saya, walau selalu saya buka pada saat ada kesempatan. Namun untuk tanda baca, kata yang sudah ada, baiklah kita gunakan sebijaknya dan jangan diubah, karena penyusunan yang demikian tidaklah mudah untuk dibuat oleh para sepuh kita dulu. Hargai jerih payah mereka, Yap?
Apa alasannya? Yang jelas, bukan kehilangan minat, minat gue pada bidang ini masih sangat besar. Bahkan keinginan-mustahil-terwujud gue untuk ngambil program ganda dengan sastra indonesia masih belum pudar, ingin tapi ngga mungkin, sort of. Di bilang sibuk pun sebenernya ngga terlalu, banyak waktu kosong yang dipergunakan secara tidak efektif dan cuma nyampahin waktu: browsing tanpa tujuan, tidur, bahkan—melamun. Oh keren. No, no, time that i spend with meine freundin is not such a waste, gue melihatnya sebagai penghabisan waktu yang berkualitas, walau tidak melakukan apapun. Ha..
Untuk itu, gue mencoba untuk membangkitkan insting menulis yang entah sejak kapan tumpul. Caranya? Alamak, tidak ada jaminan seperti yang di berikan seperti saat kita meminjam uang ke bank, kalau gue memberi janji, nanti jaminannya disita, haha. Mudah sajalah, diusahakan untuk mengisi blog ini dengan rutin, amin gak? Amin dong ah.
Langkah pertama, gue meminta seseorang teman baik untuk memilihkan satu topik secara acak, berikutnya terserah gue akan mengembangkan topik itu menjadi seperti apa nantinya. Here it is.
__
Ejaan Yang Disempurnakan.
Ah, jangan keburu mengerutkan dahi terlebih dahulu setelah melihat judul diatas, salahkan Bayu Adiputro yang memilih topik itu.
Ejaan yang disempurnakan atau lebih akrab kita kenal dengan singkatan EYD adalah ejaan yang mulai dipakai di Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1972. Mencakup 12 aspek total dan mungkin ratusan poin-poin kecil peranakan dari 12 aspek tersebut. 12 aspek tersebut adalah. Kapitalisasi, tanda koma, titik, seru, hubung, titik koma, tanya, petik, titik dua, kurung, elipsis dan tanda garis miring.
Sering kali kita sebagai bangsa Indonesia mengerdilkan fungsi dari EYD ini dan jelas-jelas meludahi tata bahasa yang ada. Mungkin masih dimaafkan apabila penggunaan EYD ini tidak terlalu dijunjung tinggi pada penulisan karya sastra, dengan dalih agar membuat karya tersebut menjadi lebih menarik dan lebih asik untuk dikonsumsi. Misal saja, penggunaan tanda titik berurutan untuk menimbulkan kesan hening dan membuat efek suram pada sebuah dialog, tentu dimaafkan. Tapi jika kesalahan terang-terangan tersebut digunakan dalam sebuah karya ilmiah, wah, tidak bisa berkomentar saya.
Walah, tidak usah jauh-jauh ke penulisan karya ilmiah yang meribetkan jiwa membuat pusing mata itulah, mari pindah saja ke fenomena sosial yang sedang marak belakangan ini. Situs jejaring sosial, tempat dimana tulisan menjadi media utama komunikasi—disamping fitur foto dan sebagainya, tentu. Mungkin bisa saya katakan, bahwa situs jejaring sosial semacam facebook atau myspace dapat dijadikan sampel bagaimana kondisi bangsa ini memandang sebuah bahasa. Saya tidak munafik, tentunya bahasa slang lebih menarik digunakan dalam keseharian, jadi saya tidak akan mengkritisi soal kosakata disini. Yang jadi masalah adalah, cara menulis, tipografi. Mengerti maksud saya? Begini.
Aku, menjadi aq.
Kamu, menjadi kmoch.
Dsb, ngga kuat melanjutkan, maaf.
Mengerti kan maksud saya? Tidak masalah dengan bahasa slang, tidak ada masalah dengan kosakata, tapi setidaknya, gunakanlah bahasa sebagaimana mestinya seperti yang sudah diatur oleh para pendahulu kita di masa lampau. Jika ingin membuat kata baru, maka akan sangat dipersilahkan, tapi janganlah merubah kata yang sudah ajeg, menjadi suatu bentuk lain yang (maaf) membuat merinding orang yang membacanya. Tidak harus menggunakan tata bahasa yang sebagaimana saya sebutkan di paragraf pertama, tanda baca yang baik dan benar. Tidak harus titik setelah akhir kalimat, tidak harus koma setelah satu kalimat selesai, tapi cukup gunakanlah dengan bijak. Karena satu tanda titik sudah cukup untuk mengakhiri, satu tanda seru sudah cukup untuk membuat satu kalimat berartikan seru, dan satu tanda tanya sudah menjelaskan dengan amat jelas kalau kita sedang bertanya.
Dalam facebook sendiri, cukup banyak grup yang menentang penggunaan bahasa demikian, jadi bukan hanya saya kan yang agak terlalu perfeksionis? Ada pula yang menyebutkan bahwa tata bahasa demikian adalah tata bahasa alay, entahlah, saya lebih suka menyebutnya sebagai penggunaan tipografi yang kebablasan daripada jenis bahasa yang digunakan oleh suatu kelompok tertentu. Saya juga tidak mendiskreditkan pengguna bahasa demikian, hanya saja, saya menghimbau untuk menggunakan bahasa sebagaimana mestinya. EYD diciptakan oleh orang Indonesia, kalau bukan orang Indonesia sendiri yang menggunakan serta melestarikannya, siapa lagi? Tidak lucu jika suatu saat nanti, kitab suci bahasa Indonesia kita yang melampirkan EYD diklaim oleh bangsa lain bukan? Jangan sampai kita berlatah ria menggunakan tatanan bahasa yang seharusnya pada saat itu, sudah terlalu terlambat, kawan.
Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, saya tidak munafik, bahasa slang lebih membuat saya nyaman daripada harus berkaku setiap saat dalam setiap kesempatan. Saya juga tidak menjadikan KBBI sebagai kitab saya, walau selalu saya buka pada saat ada kesempatan. Namun untuk tanda baca, kata yang sudah ada, baiklah kita gunakan sebijaknya dan jangan diubah, karena penyusunan yang demikian tidaklah mudah untuk dibuat oleh para sepuh kita dulu. Hargai jerih payah mereka, Yap?
Subscribe to:
Posts (Atom)