Skinpress Demo Rss

Masalah Takdir

Filed Under () by Pitiful Kuro on Thursday, September 04, 2025

Posted at : 2:58 AM


Ketika gue berumur 17 taun, gue memimpikan gue mati di umur 21. Tanpa alasan, cuma feeling dan kerasa bener aja pada saat itu. Dan ketika umur 21 tiba, ada kejadian yang menyenggol garis nyawa gue waktu itu, yang sukurnya (sayangnya?) gue selamet.


Ketika gue umur 22, gue memimpikan gue bakal mati di umur 27. Alesannya juga ngga bisa dipertanggungjawabkan. Cuma feels right. Idola-idola gue juga mati diumur segituan, ditambah teenage drive yang nggak kekontrol, kayak bener aja. Dan diumur 27 gue baik-baik aja—sort of, gangguan dari hubungan pernikahan yang kaga mulus-mulus amat sempet bikin gue condong kearah sana.


Tapi aman sih. 


Guenya doang aja punya tendensi suicidal dari sononya. Puyeng dikit langsung bayangin lompat dari ITC Cempaka Mas lantai 5. So easy, tanpa penjagaan apapun. Keknya gampang. Surat pernyataan tinggal taro dijepit ke sepatu dan gue berangkat ke alam hampa, gelap, kosong, hitam.


Tapi gue sekarang 35. Tanpa pikiran suicidal sama sekali kecuali dalam tiga bulan kebelakang. Gue merasa perlu menetapkan deadline kapan harusnya gue mangkat dalam beberapa waktu kedepan. Nggak ada gambaran kayak dulu. Apakah pas gue umur 40? 38? Besok? Entah, nggak ada gambaran. Mimpi itu hilang.


Antara gue sebenernya nggak suicidal lagi, atau pola menggebu-gebu khas anak mudanya udah nggak nongol. Cuma kerasa hampa doang. Udah. Hampa yang sesak, yang ngebuat lo pengen bergulung di posisi fetus tanpa harus bangun lagi. Ujungnya nggak keliatan.


Kosong, imploding kedalam dada tanpa dasar.

Hiatus

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Wednesday, April 30, 2014

Posted at : 1:28 AM

Blog ini bakalan gue telantarin dalam jangka waktu yang kagak bisa gue tentuin sendiri, tulisan gue berikutnya akan (cukup) rajin di post di wisangkopi.com

Live long and prosper!

Didn't Care

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Friday, December 27, 2013

Posted at : 1:33 PM



Jelata di lingkungan, ditindas di kandang.

Mungkin susah untuk dipercaya kalau hanya dalam bentuk tulisan, dengan melihat sendiripun gue masih ragu apa ada golongan orang yang semacam itu. Bahasa lokalnya: bahan gencetan. Kita semua menganggap itu hanya bercandaan, nggak sampai pada tahap serius. Di dalam kepala kita yang mungil-mungil ini menganggap, waktu dia pulang kerumah nanti, tetap ada orang yang setia menyambut sama pelukan, kata-kata manis dan makanan hangat. Tapi apa lo yakin kenyataannya seperti itu? Kita ngebuat stigma, azaz praduga tak bersalah pada hal-hal kecil yang padahal urgen. Semua bakal baik-baik aja pada akhirnya, tapi apa iya?

Secara sains, survival of the fittest itu udah nggak berlaku, kita udah punya listrik, berburu bukan hal yang signifikan untuk bertahan hidup, tempat berteduh tinggadibeli, kerjaan tinggal dicari. Itu semua seperti selimut, sarung, layar hitam yang nutupin fakta kalau bertahan hidup di jaman sekarang itu nggak penting-penting amat. Ada. Dengan bentuk yang lebih sublim, lo tetep harus bertahan di lingkungan yang keliatannya kondusif ini, gue bisa bilang kita sekarang lagi perang, nggak fisik, pikiran. Kita perang, bersaing secara individual dengan bahan dasar intelegensia, stereotipe dan standar-standar yang ada di lingkungan sosial kita, yang sudah berdiri kokoh bahkan sejak kita merangkak keluar dari rahim emak masing-masing.

Gimana dengan yang gak mengikuti aturan-aturan itu? Mereka adalah raja, didalam lingkaran kecil seluas kamarnya, area dimana dia berlaku tuhan pada dirinya sendiri. Melakukan apapun yang ingin dia lakukan. Definisi orang paling bebas di dalam kamus manapun: yang tertindas. Masalahnya hanya satu, kebebasan hanya terbatas ketika dia tidak bertemu dengan orang lain. Tersisihkan, terbuang, titik rawan bagi mereka yang merasa lebih kuat untuk menunjukkan supremasi. Sesimpel itu. Cuma diam, menerima, sampai pada titik dimana mereka yang tertindas mengambil tindakan, balas dendam. Apa kita harus takut dengan itu? Nggak. Hal yang paling kejam yang mereka bisa lakukan kepada para penindas:

Ambil pistol, arahkan ke kepala.

Dor.

The Wicked

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Monday, October 28, 2013

Posted at : 3:40 AM



Haha..

Gue abis baca postingan lama di blog tetangga, tertulis akhir taun 2011. Dari tulisan itu, bau-baunya gue lagi struggling lumayan mantep ngadepin lingkungan kuliah baru dan persoalan rumah yang lagi anget-angetnya. Diceritakan bahwa gue abis ngeliat foto keluarga bahagia di website entah apa, gue lupa, trus gue berkomentar yang kurang lebih itu bunyinya begini,

“itu senyumnya beneran? Dibalik senyum itu ada masalah apa aja? Berapa banyak duit yang dikeluarin buat nyewa pecun? Berapa kali pipi si istri ketampar sama si suami? Berapa sabetan iket pinggang yang diterima anak-anaknya?”

Skeptis parah emang, tapi itulah yang waktu itu gue pikirin dalam sekali liat. Mungkin kepercayaan gue lagi tipis-tipisnya waktu itu? Atau juga dukungan dari pacar yang masih sama-sama suram maksimum? Nggak tau, tapi jujur sih, ngebaca ulang paragraf demi paragraf apa yang gue tulis bikin merinding sendiri (selain grammar mistakes yang ga keitung, iye, in english bok), kontennya, pola pikirnya, segala detail kecilnya, yang gue sekarang nggak akan bisa seperhatian itu. Seperhatian itu buat nyari borok orang yang bahkan gue nggak kenal.

“apa itu nyata? Beneran? Senyum segitu bagusnya sampai enak banget buat difoto? Atau itu emang senyum yang beneran? Beneran buat sesi foto?”

Gue nggak pernah berpikir kalau yang gue alami beberapa tahun kebelakang itu trust issue, lebih tepatnya ke sinis keterlaluan, susah percaya sesuatu yang begitu idealnya sampai bisa dijadiin bahan sinetron religi ‘tukang ramen naik haji’. Soalnya nggak pernah liat secara langsung, sekalinya liat secara langsung, korengnya banyak ampun-ampunan, ya gimana mau percaya? Soalnya nggak ada yang namanya ideal itu nyata, karena namanya sendiri ideal—utopia. Itu sih, yang gue pikirin dulu, bukan sekarang yak, sekarang sih makan di warteg ‘lorong’ seharga 10 rebu juga udeh ideal banget buat gue.

I think it was real. It’s about how long you can keep it 'that' real way, without a scars to be healed, shame to be covered.

Mungkin?

Gue menghidari pola pikir seperti itu, maka jadilah gue yang sekarang. Yang simpel, yang nggak banyak mikir, yang punya switch on/off siap teken kapan aja. Yang mana bikin paragraf 200 kata soal diri gue sendiri sekarang aja susahnya amit-amit. Tapi gue baik-baik aja, atau berusaha baik-baik aja? Yang manapun, dengan ‘god mode’ macem ini, kadang masih ada satu-dua kalimat tertentu yang nendang gue balik ke pola pikir lama walau sesaat, yang satu-dua kalimat itu gue tau nggak ditujukan dengan serius, murni candaan tapi tetep kerasa nusuk paru-paru sampe bolong. Kayak udah capek-capek upgrade badan ke stainless steel tapi tetep disiram hidrosulfur acid. Halah-halah.

Gue nggak menerimanya sebagai sesuatu yang ofensif walau kerasanya emang keserang. Mungkin gue kurang informatif? Kurang terbuka? Kurang simpel otak? Yang manapun, tetep jadi bahan pikir di kepala yang tinggal jalan setengah ini.

Salam syare.

1. Jangan Pakai Lampu Jauh

Filed Under () by Pitiful Kuro on Sunday, October 06, 2013

Posted at : 11:04 PM



Considerate..

Konsep yang mungkin agaknya kedengeran agak konyol. Buat apa juga gue melakukan/tidak melakukan sesuatu yang nggak ada profitnya sama sekali buat gue? Terlebih lagi, ini dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan orang lain. Terlalu baik juga bukan jawaban, toh gue bukan orang yang baek-baek amat. Tapi lebih ke harapan dan ekspektasi.

Ekspektasi yang lo harapkan dari orang lain untuk dilakukan terhadap elo sendiri. Kenapa gue nggak menggunakan lampu jauh waktu malam hari? Soalnya gue juga mengharapkan orang lain nggak menggunakan lampu jauh ke mata gue. Silau. Itu, mungkin bentuk consideration yang paling primitif di jaman modern kayak sekarang. Gak usah susah-susah ke bentuk yang tinggi-tinggi amat, itu aja dulu. Pake lampu deket pun nggak akan ngebuat lo instan nabrak, malah mungkin lo menyelamatkan nyawa orang dengan hal yang sesimpel itu.

Considerate. Kedengeran konyol, tapi bener-bener kita butuhin di waktu dimana orang bisa nginjek orang juga cuman buat ngambil duit lima rebuan.