An Image
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Thursday, November 15, 2012
Posted at : 10:13 PM
An image can be
tricky, it’s not a personality, I might say, it’s what you want to show to
other people. What kind of yourself? What kind of words you’re gonna use? What kind
of motion are you gonna do? It’s an image, for my narrow side of perspective. I
say, it’s right to be playing with those, since you can control it, why not
making fun of it?
It’s practical, it may
be changed during a certain circumstances as you like. Like, when you’re need a
good brotherly image to stay sharp with your brothers, a garm-looking bastard
to prevent some bandit reach your group, or a foul mouthed jerk without sense
of consideration of what he’s going to say. It’s all fun to do and have their
own benefit, depends on what kind of image you’re gonna use.
Like a secondary invisible weapon that you didn’t
have to carry, but always there on your pocket. An image is not a personality,
you may changed it at one time and change it back on the later times, but you’re
no the image you’re using. An image is
not something you use to adjust yourself with your environment. It’s not a form
of conformity, or on the further notion, a survival method. It is not. Once again,
it’s used for a benefit, your own benefit. Not because you’re afraid to be
judged by others. Image is not a mask, that you’re using for deceiving others,
to make people think what you want them to think of. An image is used when a
certain people you know are known of who you really are.
It is tricky, which is
which?
You’re using image for
making people believe what you’re shown, but at the same times, it’s not meant
to be deceiveng others. For a benefit, for fun. Maybe it’s the right words to
play with it. Maybe not? I don’t really sure, It’s hard to get a definition
with something that just comes out of a bollocks. Haha. You’re gonna play with
yourself, with an audience of others, the show will success when you see those faces changed, maybe
shock, not believing of what they just saw or heard. Because it’s coming from
someone that unlikely to do so.
Like now, l really
love being foul mouthed, I just don’t know which part of it is fun when you’re
gotten a disgust looks from others. Maybe it’s just that, those priceless
expression might be the reason. Tho, someone gotta play a bastard when there’s
only a good people in it.
Ritual
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Thursday, November 01, 2012
Posted at : 1:17 AM
One for tonight,
another one for tommorow. It’s what I said to myself a few minutes earlier, it’s
about cigarettes, I only have two cigs left. Even my tongue are burning with
bitter and my throat is screaming in agony, I always need those
cancer-infested-money-spender thing., no matter what. One for now, and another
one for later, it’s simply because my morning is incomplete without a smoke, I can
handle my morning without coffee, but not a smoke. A habit, you can say it’s a
bad one, but not for me. Though, theres a good habit in me, my morning habit.
Yeah, my morning
always start with a lovely sound of my phone’s alarm, an old one, it’s not too
loud, but I always woke up with it. I turn on the water heater and heating my
iron. Then I go to the bathroom. For a cold day, I only brush my teeth and wash
my head, not a single drip of water touch my warm-over-night body. Well, I love
cold, but not this kind of cold. If the weathers warm enough, I still ended
burrito-ing my body over my blanket, still cold, a damn cold one.
When I finished my
bath, my water for coffee is already boiling, get a cup and scoop a spoonful of
coffee (usually Aroma, sometimes Jenggo). Pour the boiling water to the cup,
wait one minute for the coffee to ‘cooked’ and then stir it gently. Then I do
the ironing of my uniform with my coffee on the side, and a cig stick on my
mouth, don’t forget about the music, Sore’s Somos Libres or Mata Berdebu always
played on the winamp. When I got a little time left, I usually polish my shoes,
I love shiny shoes, but I love polishing it more. Thanks to artofmanliness.com,
now I have a different prespective about polishing. Like, a manly habit.
(maybe.)
And done. I fully
prepared to campus. While in fact, the ironing is not that big of a difference,
I don’t know, since I was in a junior grade, my cloth always had a wrinkle in
it, no matter who iron it. Some kind of magic.
Yeah. It’s my daily
morning ritual that I’m proud of. That is why a cig is so important I could save them for tomorrow. Still, mulut
asem always the big problem in this saving problem.
Now I wonder, why I
post this in english since my englishs grammar is so ecekeblek? The answer
might be.. ngetes aje.
Sendokiran
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Sunday, October 21, 2012
Posted at : 3:13 AM
Jalan-jalan itu asik,
ke tempat yang belum pernah didatangi sebelumnya yang kadang tanpa tujuan, atau
malah terencana. Penyebabnya bisa karena ada kesempatan, atau tiba-tiba
kepikiran di tengah jalan pulang. Asiknya bawa temen, tapi nggak jarang juga
sendirian. Walau kadang rasanya agak sepi, tapi justru itu yang kadang-kadang
memang kita cari. Sendirian, waktu kosong yang disediakan untuk ngelamun,
mikirin hal-hal remeh-temen selintas apa yang lewat. Penting juga nggak,
apalagi urgen. Soalnya kita emang butuh sosialisasi, tap kadang juga butuh
sendiri-sendiri.
Gue lumayan lama nggak
pergi sendiri, kalau sendiri pun biasanya ke tempat yang emang familiar, warung
kopi. Deket sama kosan, langganan disana hampir setahun, sama penjualnya udah
colek-colekan, bengong pun bakal disapa ramah. Dulu biasanya cuma ngerokok di
tempat yang agak jauh, nongkrong depan alfamart, modalnya soda lima ribuan sama
rokok sebungkus, itu bisa tahan dua-tiga jam. Bengong doang, mikirin nasib.
Kagak.
Lucunya sih betah,
orang kebanyakan paling garuk-garuk kepala, nongkrongnya oke, tapi kenapa depan
retail mini-market? Kenapa? Kalau gue nongkrong di café, sendirian—walau senormal
apapun keliatannya, tetep aja aneh. Di depan mini-market, orang nggak akan
heran, toh itu tempat umum, ada orang didepannya pun nggak akan lama, yang
ngeliat gue disana ya ganti-ganti, bukan cuma sepasang cowok-cewek yang sesekali
ngelirik ke gue terus bisik-bisik. Lagian, pergantian orang tadi yang gue
butuhin, hiburan mata, sukur-sukur ada cucian mata lewat, nggak pun, masih ada
aneka ragam manusia yang bisa gue lirik. Walau cuma selenting, bikin
tebak-tebakan nilai personal seseorang dari kenampakan luar seseorang juga
lumayan seru.
Kayaknya mulut gue
penuh sama sosialisasi, lidah terbiasa berucap dengan lawan bicara, bukannya
refleksi yang mantul ke tenggorokan sendiri kayak dulu. Minim temen,
kedengerannya suram, tapi pas diinget kayak mau ketawa sendiri. Kalau sekarang mau
ngobrol, tinggal sms dan serombongan dateng ke warung kopi langganan tadi. Gampang,
nggak usah susah-susah nyari tempat sepi demi ketenangan batin, kopi pula. Kayak
triple kill kalo di DotA, dapet temen ngobrol asik, tempat enak, dan kopi
juara.
Sendirian nggak
selamanya jelek, sendirian memperkuat mental, ngasah pikiran. Selama dalam
taraf wajar dan bukannya menarik diri. Menjadi sendirian itu kebutuhan buat gue—dan
gue rasa juga semua orang. Tenggorokan kecapean kalau terus-menerus geter,
vibrasi hasil konversasi dalam kepala itu perlu dilakuin. Semacem persiapan
untuk menghadapi lingkungan sosial yang pastinya bakalan berubah terus-menerus. Iya dong. Nggak mungkin gue nongkrong di
warung kopi langganan itu sampe gue kerja atau tua nanti. Kalau iya, itu
bakalan jadi roman, kalau nggak, ya berarti itu hanya lembaran cerita dalam
buku hidup gue doang.
Gimana kalau dua tahun
lagi gue tinggal di tempat yang sama sekali baru, tanpa teman-teman lama atau
tempat familiar yang bisa gue kunjungi dan merasa dirumah? Nggak mungkin kalau
gue jadi depresi terus rengek-rengek buat pulang kampung. Sendirian itu
penting, tapi sendirian bukan selalu diartikan sebagai kesepian. Gue bisa have
fun dengan sebatang rokok dan soda, prosesnya panjang untuk sampe kesana, yang
sukurnya dibiasain dari sendirian tadi.
Sendirian bukan waktu
untuk ngerasa kesepian, tentunya lo bisa aja pake untuk ngeluh soal ‘kenapa gue
nggak ada temennya?’ tapi ngapain juga? Selama isi kepala dikontrol diri
sendiri, ngapain? Dipake buat fun, ketawa sendirian, masa bodo dengan
orang-orang lalu –lalang, soalnya mereka juga kagak peduli sama apa yang mereka
liat di tengah jalan.
Ketika Musik Mengalun
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Monday, October 01, 2012
Posted at : 10:06 PM
Gue masih seneng
dengerin lagu, terutama untuk ngebangun niat. Tapi gue (tetep) nggak bisa
ngelakuin gerak produktif selama lagu itu mengalun. Kayak sekarang, gue lagi
mati-matian nulis blog post ini dengan diiringi sama Violet Hill, lagunya
Coldplay yang mungkin satu-satunya gue suka. Direkomendasiin Pradit, mungkin
karena itu gue suka, rekomendasi. Kayak Englishman In New York yang kagak ada
berentinya gue puter tiap pagi belakangan ini, direkomendasiin Sonny, gara-gara
dia juga tiap gue bengong pasti senandungnya lagu ini.
Atau Mata Berdebu-nya
Sore yang tiap pagi juga gue puter, rekomendasi yang tidak lain dan tidak bukan
dari Bapak Garib Fauzie. Walopun lagu-lagu itu kesannya suram, gue nggak
terlalu mandang, yang penting ada orang dibalik lagu itu, mungkin itu cukup
buat ngasih dorongan mental di muka yang masih dijalar iler. Sekarang gue mau
nugas, makanya gue setel lagu, tapi nantinya bakalan gue matiin kalau gerak
jari ini udah mulai niat pindah halaman word.
Apa lagi ya? Oh iya,
ada juga Lemon Tree, gue direkomendasiin lagu ini sama Sigi, iya, Sigi yang
itu. Kalo nggak salah, waktu itu dia tiba-tiba IM gue dan bilang bahwa suramnya
hari minggu dia makin menggema gara-gara lagu itu. Terus ada juga Shape Of My
Heart, Sting, sama juga dari Sigi, gue lupa ada cerita apaan dibaliknye. Endah
Rhesa, terutama Catch The Windblows sama Blue Day yang dikasih Della, kalo ini
biasanya diputer pas hari libur doang. Ga tau ye, kesannya kan gloomy abitch
gitchu. Apaan.. kagak, enak aje didenger.
Kebanyakan lagu-lagu
itu nggak gue ngerti sama sekali artinya, baca iya, denger iya, diapalin pun
kadang iya, tapi nggak ada satupun yang gue artiin secara harafiah untuk
mencari makna. Seolah buat gue itu nggak penting. Mungkin ini nandain kalo gue
emang kagak bisa multitasking, denger lagu ya denger aje, otak gue nggak bisa
mencerna lagu itu lebih jauh. Sama kayak gue nggak bisa nugas sambil denger
musik. Apalagi maen gitar sambil nyanyi, jari gue kusut.
Beberapa lagu yang gue
favoritin direkomendasiin orang, kayak band favorit gue, RHCP itu kan hasil rekomendasi
dari bude gue sendiri. Apalagi kalo lagu itu emang dasarnya cocok, di loop
terus-terusan sampe winamp gue jebol sendiri (ya kali). Mungkin bukan lagunya,
tapi karena ada orang-orang dibaliknya, mungkin, nggak tau ya.
Baggage
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Thursday, September 06, 2012
Posted at : 11:37 PM
Setiap orang orang
punya momen dimana dia ngerasa jatuh, terpuruk, merasa bahwa tiba-tiba lampu
penerangan di sekitar dia terasa meredup. Bukan karena ada yang maen-maen sama
cetekan lampu, tapi mata kayak kehilangan kemampuan untuk mantulin cahaya dengan
baik. Momen-momen ini pasti terjadi, bahkan pada orang yang keliatannya selalu
hepi. Kalau-kalau dia bilang “nggak pernah tuh”, mungkin nggak pada masa
sekarang, mungkin dulu, masa dimana dia memroses dirinya sendiri sampe pada
masa sekarang. Siapa yang tau?
Gue juga sering
ngerasa sangsi, orang yang paling gue anggep reliabel, bulletproof, tanpa cela
dan selalu ketawa ternyata juga punya sisi dimana dia merasa awan mendung cuma
turun menggelayut di dia doang. Informasi ini susah ditelen buat gue pribadi. Orang
ini bisa gue anggep role model, panutan dan jalan setapak menuju gue yang lebih
baik, tapi waktu berkata, bahwa dia pun pernah melewati jalan gelap itu pula. Mungkin
lebih parah daripada gue, ataupun elo-elo yang lagi baca tulisan ini sekarang. Haha.
Tapi, dia nggak terlihat sama sekali punya tanda-tanda kalau dia pernah
melewati jalan itu. Jalan gelap yang gue sebut tadi.
Gue pun penasaran, gue
coba mengulik perlahan, kalau iya dia pernah seperti itu, kemana
bekas-bekasnya? Kemana jejak pertempuran besar yang dulunya dia ikuti? Kenapa bisa
hilang tanpa bekas, seolah-olah dia itu orang yang baru lahir lima tahun lalu,
tanpa noda, dan patut bener gue jadiin panutan? Dia cuman bilang begini.
“Ngubur luka masa lalu
itu salah satu pilihan, tapi ngilangin jejak-jejak itu adalah cara yang paling
baik.”
Gue cuman ngangguk. Mengikuti
alir kata-katanya soal hidup yang udah lama ditinggalin dan berusaha keras
untuk nggak kembali kesana. Dia tau cerita gue, dan beberapa cerita orang-orang
lainnya yang bisa dibilang rada mirip-mirip. Terus dia bilang lagi..
“Gue bisa cuman
nempatin masalah-masalah lama gue di alam bawah sadar, tapi gue pun harus
inget, gue hidup di masa sekarang, dimana gue berinteraksi dengan orang-orang
baru pula. Gue nggak kepingin masalah lama gue jadi beban, nggak hanya ke gue,
tapi ke orang-orang yang ngumpul sama gue sekarang.”
Yak, emotional
baggage, barang bawaan yang nggak kasat mata ini yang kadang jadi masalah sama
hubungan baru. Entah siapapun itu. Se altruistik apapun seseorang, se empatik
apapun seseorang, selama dia bisa menghindari konflik psikologis, itu jauh
lebih baik daripada harus gontok-gontokan toh? Sekarang coba pikir, ketika
dihadapi sama dua pilihan, lo bisa adem anyem aje sama sohib lo yang, atau, lo
harus menghadapi curhatan masa lalunya yang kagak selesai dalam lima sesi
tangis-tengis dalam semalem suntuk? Tentunya sebagai sohib, ngebantu itu bukan
suatu paksaan, tapi ketika lo bisa damai heng out tanpa harus mendamaikan
problem tiga-lima tahun lalu? Ngapain juga repot-repot. Itulah. Sahabat, pacar,
temen baru, memang kesemuanya punya kewajiban prerogatif dimana mereka secara
swadaya bakalan ngebantu lo mengatasi persoalan psikologis elo, tapi… ketika lo
bisa menghilangkan itu semua tanpa bantuan mereka, bukannya itu lebih mulus?
Soal psikis emang
berat, tapi kalau lo mau berusaha untuk mikir pake logika, lo nggak butuh
psikolog, atau psikolog dadakan yang lo sewa gratis (baca: pacar/sahabat lo
sendiri). Klise, tapi soal psikis semuanya ada di kepala lo, ngapain
repot-repot ngabisin waktu untuk tarung mati-matian kalo lo adalah tuhan dari
diri lo sendiri, tinggal jentik jari dan masalah beres. Ngegampangin? Mungkin,
tapi toh ini berguna sih buat gue. He.
Subscribe to:
Posts (Atom)