Promises, Promises
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Friday, June 08, 2012
Posted at : 1:31 AM
Kesepakatan itu nggak
mutlak, janji pun bisa dikadalin, insya allah nggak lebih dari dua padanan kata
yang digunakan kalo-kalo lo lagi nggak yakin bisa menuhin sebuah tautan. Dan kata
besok.. adalah besok besok yang akan ditunda menjadi besoknya lagi. Itu yang
gue pelajari sebagai salah satu bagian dari kultur paria bangsa indonesia yang
super labil soal waktu. Mungkin gue pun sebelas duabelas sama hal-hal diatas,
tapi dalam pola pikir semprit gue, tetek bengek diatas bener-bener pengen gue
ganti.
Soalnya, janjian itu
asik, momen yang ditunggu-tunggu untuk datang di kala bosen mulai mengarat di
sendi-sendi tulang. Kalau udah janjian, jam kadang melambat atau bahkan berenti
menjentik. Makanya, ketika janji di batalin, nyerinya sampai ke usus buntu. Janjian
itu asik, jam yang melambat tadi kadang gue percepat, saking cepetnya, kadang
gue udah nongkrong di tempat janjian setengah jam sebelum. Nggak masalah, soalnya gue masih bisa nyalain
rokok, dan nungguin setengah jam masih lebih enak daripada telat setengah jam. Kalo
buru-buru, gue bisa nabrak. Ea. Kadang, malah waktu yang dihabisin bareng itu
lebih kering daripada saat gue nunggu-nunggu partner janjian gue dateng. Makanya,
gue berusaha menikmati waktu menunggu itu, dengan ngeliatin jalan, mungkin buka
twitter, dan paling penting—cuci mata. Plus, dateng lebih awal saat janjian itu
bebas rasa bersalah, otomatis lo nggak akan telat, dan kalo yang janjian
datengnya telat, malah dia yang kaga enak. Secara implisit, mungkin gue mengampanyekan
‘Jam besi, lebih keren daripada jam karet’. Makanya, janjian itu asik.
Gue bukan penepat
janji sejati, janji disini bukan soal waktu, tapi janji yang keluar dari mulut
diwakili hati. Gue buruk dalam janji yang satu itu. Julukan boleh jam besi,
tapi sayangnya, hati juga besi. Janji itu laknat, janji itu hilang akal dalam
artian hati, hati itu irrasional, yang irrasional itu sifatnya karet, relatif,
dinamis dan fleksibel, sementara kata janji sendiri membutuhkan konsistensi
metal yang nggak bisa dirubah, digerakkan. Ketika janji udah membawa hati, gue
mundur selangkah, tatap lantai dan pikir empat lipat, bisa ditepatin? Nggak? Iya?
Bimbang, ragu, rasanya mau banting pintu Cuma buat sekedar bilang “oke”, atau “iya”.
Berat. Nggak gampang.
100 janji dalam
konteks rasional waktu bisa gue tepati kesemuanya, tapi satu janji dari hati,
gue pun masih geleng kepala yakin ditepati.
Kayak tadi gue bilang,
janji yang batal itu nggak enak. Itu pun bentuknya rasional, jika dikonversikan
ke hati, rasanya kayak apa? Jungkir balik. Gue bisa menempatkan diri pada rasa
sakit ketika janji itu batal dalam hal waktu, makanya gue bisa yakin menepati. Tapi
gue masih terlalu ngeri untuk menaruh posisi dimana gue tersakiti dalam konteks
hati, yang mungkin berakibat gue nggak bisa berjanji eksak soal hati. Kepengen bisa
itu pasti, tapi bisa menentukan waktu untuk dijanjikan perubahan akan datang?
Tetep. Gak bisa janji.
Suram bok.
Subscribe to:
Posts (Atom)