Perempuan di Seberang
Filed Under (Fotolisan ) by Pitiful Kuro on Saturday, November 19, 2011
Posted at : 3:31 AM
Gue gak kenal, sohib gue juga nggak kenal. Dia berdiri
begitu aja di ujung sana, di sisi lain kerumunan sebuah pertunjukan debus. Kurang
lebih duapuluh meter, tapi mata sohib gue seolah elang yang ngeliat tikus
(tentunya putih bersih, imut, tikus cakep pokoknya) dari kejauhan dan langsung
menekan shutter dengan membabi-buta, dan nunjukin hasil jepretannya ke gue. Gue
nyengir, berusaha menyipitkan mata melihat perempuan satu itu tanpa viewfinder.
Ya emang, cakep.
Probabilitas yang mengerikan gue bilang, apa yang terjadi
kalau gue dan Luthfi telat lima menit nonton acara debus di kota tua waktu itu?
Atau gue ngisi bensin dulu sebelum berangkat kesana? Atau gue nggak minat
nonton dan milih duduk di pinggiran sambil ngenyot es potong nan seger? Atau ngampar
ngerokok nyante nyampah sambil ngobrol sama guide museum Fatahillah? Atau milih
spot di sisi lain kerumunan dari yang kita pilih waktu itu? Atau bahkan...
Luthfi nggak mengarahkan lensa kameranya kearah sana? Kalau.. satu dari banyak hal yang gue jabarkan
tadi terjadi, mungkin gue nggak akan menulis sekarang, mungkin gue nggak akan
mengenang pertunjukkan debus kota tua satu tahun yang lalu—sebatas kenangan
kosong yang nggak bisa diinget. Dan foto ini pun nggak akan pernah terpotret.
Kejadian luar biasa, kebetulan yang nggak disangka, kumpulan
dari jutaan hal abstrak yang bersatu menjadikan sebuah momen sederhana. Detail-detail
mikro yang seolah ada pengatur dibalik semuanya. Coba pikir, gimana caranya
hal-hal itu bisa kejadian?
Tentu aja.
It just happen. Dot. Ngarep apaan emangnya?
Untuk cewek yang ada di foto, tolong dong nongol lagi,
kayaknya sohib gue butuh kecengan seger.
Roman
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Wednesday, November 02, 2011
Posted at : 1:43 AM
Malam dingin walau tanpa kabut, lampu kamar mati gelap,
selimut siap menyambut tapi sayangnya mata dan kepala masih menagih minta
dicambuk. Alarm dipasang, elektronik, terinstallasi di komputer yang duduk
manis dipojokan. Minim.. minim roman, dan bukan pagi kalau tidak ada suara
monokrom menyebalkan itu. Yah, itu standar gue, roman gue sebagai laki-laki
konvensional soal apa-apa aja yang gue pegang dan gue gunakan. Simpel dalam
fungsi, tapi rumit dalam tingkatan ideal. Kalo nggak ideal, nggak roman
namanya.
Romannya laki-laki itu ngopi di warkop. Berusaha sok penting
ngobrolin fenomena-fenomena sosial politik yang bahkan ngerti pun belom tentu. Dengan
sebungkus rokok yang diniatkan habis saat itu juga, berbagi dengan bapak-bapak
lain, berbagi dengan rekan seobrolan, berbagi dengan siapapun yang saling
silahkan duduk di bangku kayu panjang legendari khas warung kopi. Itu roman. Lengkap
dengan segelas kopi hitam, dan apresiasi tingkat klenik jika ada seorang
kakek-kakek atau tukang ojek yang menggunakan teknik menguyuk kopi legendaris
yang mulai punah itu.. teknik gelas terbalik. Itu roman, romannya laki-laki.
Romannya laki-laki itu.. memaki tanpa maksud, memukul tanda
hormat, melecehkan tanda sayang, menghina tanda cinta. Makian-makian kasar
kosong yang ditujukan ke sesama yang dikeluarkan dan diterima dengan hati yang
lapang, pukulan-pukulan ringan kadang keras dengan maksud senda gurau,
lecehan-lecehan yang bertuju penghiburan, menghina tanda eratnya keakraban. Itu
roman, roman kami, laki-laki. Kadang absurd, kadang sarkastis, tidak jarang
anarkis, tapi tidak diantara itu adalah maksud, tidak diantara itu adalah
makna, tapi lapisan tipis tanda afeksi, tanda sayang dalam bentuk lain. Itu roman.
Romannya laki-laki itu perjalanan. Karena hidup itu adalah
sebuah perjalanan, sadar menyadari. Maka dibuatlah simulasi nyata akan sebuah
hidup, perjalanan panjang tanpa ujung yang tak mengenal kata puas. Sendirian menempuh
kilo demi kilo di tengah pekatnya malam bertemankan gerungan mesin dan udara
dingin yang menusuk paru-paru sadis. Menelan debu dan tanah, menyapu kantuk
yang menggigit mata, menghilangkan kata mudah akan adanya jalan pintas,
menafikkan fakta bahwa semua ini hanya insiden fana. Tapi nyata. Di-nyata-kan. Karena
ini roman. Berbicara roman, maka lupakan fungsi. Pembayaran lelah dengan
pemandangan, menyunggingkan senyum lebar saat menyentuh tempat tujuan, duduk
santai di pinggir jalan, menyalakan rokok dan bergumam dalam hati, “ini masih
kurang,”.
Kalian bilang aneh, tapi ini roman kami, para laki-laki.
Hal-hal rendah, remeh, atau bahkan kadang nekat, ceroboh. Apapun
sebutannya, itulah cara kami menikmati hidup. Menyadari hidup itu singkat, lalu
mengapa tidak sekalian saja hajar habis-habisan? Nikmati sampai ke sumsum
tulang yang paling dalam. Didihkan darah, tegangkan otot, lepaskan tawa dan
hisap asap rokok sampai paru-paru berkabut tebal. Lalu hembuskan, dan terimalah
fakta bahwa gue, dan mungkin elo siapapun jauh disana, telah menikmati hidup
semaksimal mungkin. Sebagai manusia, sebagai laki-laki, sebagai entitas yang
menapak bumi, sebagai penanggung beban untuk menjalankan hidup semaksimal
mungkin.
Yah.. itu gue.
Subscribe to:
Posts (Atom)