Sell Ek See
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Tuesday, October 04, 2011
Posted at : 3:00 AM
Gue bangun di suatu pagi, masak air seperti biasa dan
nyalain rokok sebagai sarapan. Buka pintu dan berusaha melawan udara dingin
Bandung yang kadang nggak manusiawi. Ngampus, kayak biasa toh, cuci muka, gosok
gigi, tanpa mandi dan berangkat menunggang kuda besi tercinta yang gue namain
sama kayak nama pacar—soalnya, hubungan manusia dan mesin itu absurd, makanya
gue kasih nama orang supaya lebih kedenger rasional walau percuma.
Helm dipasang, mesin di starter dan berangkat. Bandung dingin,
orang-orang yang lagi menuju tempat kerjanya masing-masing lebih dingin lagi. Lo
tau? Kecelakaan itu lebih sering terjadi di jam berangkat ngantor, soalnya,
nggak ada orang yang demen tidurnya keganggu buat ngelakuin aktivitas annoying
secara konsekuen. Gue pun sampe kampus, ngerokok lagi, waktu-waktu yang selalu
gue sediakan lebih cepat untuk bisa menghisap batang karbondioksid, karena
mereka adalah temen gue disaat gue nggak punya siapapun untuk disapa, nyawa,
disaat gue butuh tiupan penghiburan di waktu kosong.
Gue buruk dalam relationship, segala bentuk.
Temen, pacar, keluarga. Selalu ada blunder yang gue lakuin
bahkan secara sengaja. Makanya, untuk menemukan satu dua orang yang punya arti
di mata gue itu susah, apalagi temen. Selektif, pilah-pilih itu gue lakuin,
dengan sengaja. Sengaja, itu poinnya, maka dari itu, gue udah ninggalin hal-hal
yang berbau kecewa, sedih karena orang-orang yang gue seleksi, masa-masa
pencarian, gue nggak memasukan emosi macem itu dalam to-do list. Pointless,
nggak ada guna. Karena gue udah memilih untuk melakukan seleksi secara ketat,
kenapa juga gue harus jatuh karena seleksi yang gue sendiri lakuin? Retoris.
Kadang gue menemukan beberapa. Orang-orang yang mengganggu
saraf mata dan otak gue untuk nggak bisa bilang nggak tertarik. Mereka menarik,
dalam banyak arti dan klasifikasi, ngebuat gigi gue bergemeletuk hebat tanda
ekstasi, mata gue menajam memantapkan target, dan taring gue meruncing siap
gigit. Bisa fisik, bisa otak dan cara mikir mereka, atau atittude yang luar
bisa eye slicing. Atau apapun, gue nggak menancapkan paneng kriteria apa aja
yang gue masukin untuk bisa bikin gue tertarik, terjadi begitu aja dan boom! Gue
siap cengkram. Kalau udah begini, seleksi dilakukan, apapun caranya, gue akan
ngasih berbagai macam saringan dari yang paling besar, sampai yang paling
kecil. Gigit nih.
Sayangnya, nggak semua cerita semulus Dorian Gray, atau
semanis The Count Of Monte Cristo. Seleksi gagal, entah apa alasannya. Tapi lebih
konyol ketika apa yang gue lakuin—seleksi ini kepentok sama hal-hal substansial
di luar daftar checklist yang gue sediakan. Bukan seberapa outstanding pola
pikirnya, bukan seberapa menarik atittudenya, tapi hal-hal semacem gender—bukan,
gender bisa gue bilang salah satunya. Iya, gender yang itu, hal sepele yang
kita bedain dari seseorang itu punya penis atau vagina. Sepele? Yea rite.
Gue pernah bilang, punya best mate atau temen ngobrol lawan
jenis itu nggak masalah, tapi untuk menjadikan sesi ngobrol itu murni berasal
dari kepala atau seberapa kuat lo pengen
bersaing soal intelektual dengan orang ini, itu yang jadi masalahnya. Dari dasar
ide ini, gue sampe berharap beberapa orang yang gue kenal itu lebih baik
kelaminnya beda dari yang seharusnya, dengan kata lain, cewe-cewe yang gue
kenal ini gue harap di dasar roknya itu punya penis. Karena hubungan antar
lawan jenis itu susah untuk dialihkan dari afeksi. Yang mana kaitannya erat
soal perasaan dan hati. Dari poin ini udah salah, karena yang utama dari
ngobrol itu kepala yang dipake, bukan hati. Gue nggak masalah dengan itu, gue
bisa menyamaratakan semua orang punya gender yang sama, gue nggak peduli itu
penis atau vagina atau bahkan klinfelter,
gue nggak peduli. Tapi itu gue, apa lawan bicara gue udah sampe pada
frekuensi yang sama dengan itu?
Kenapa laki-laki? Kenapa gue pilih para penyandang penis
untuk diajak ngobrol?
Soalnya gue muffin muncher, bukan cock cruncher—then, it’s
not going anywhere, dong kalo lawan bicara gue itu punya penis, afeksi nggak
akan kemana-mana, tetep berfokus dimana seharusnya berada, untuk Nanda The
Browne Sugar, dan dia tetep fokus mengalirkan afeksi untuk cewek entah di sudut
hatinya yang sebelah mana. Yah.. suka atau enggak, gender cukup menjegal gue
untuk seleksi, karena gue nggak pengen hal-hal konyol kejadian kalo gue
mengincer mereka-mereka yang bervagina untuk gue ajak tanding soal otak. Selain
karena emang 75% dari populasi mereka itu jelas retarded, gue nggak mau merusak fun yang gue
dapet dari kepala mereka dengan apa-apa aja yang mungkin keluar dari hati
mereka.
Gue pun turun dari motor, meletakkan helm di stang dan
berjalan santai. Seorang cewek melintas di depan mata. Menarik. Tapi gue cuma
menghela nafas panjang..
“Well, satu nama harus gue coret.. sekarang..”
Subscribe to:
Posts (Atom)