Skinpress Demo Rss

Open Sick Minded People

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Saturday, September 17, 2011

Posted at : 11:29 PM

Sekarang penetrasi berbagai macem kebudayaan dah masuk ke negara kita tercinta, dari yang lempeng-lempeng aja sampe yang bikin alis naek sebelah pun ada. Masuknya kebudayaan-kebudayaan ini nuntut kita, sebagai manusia yang tinggal di suatu negara dengan identitas spesifik untuk merubah pola pikir supaya hal-hal baru ini bisa masuk dan diterima dengan baik. Nah, seberapa besar lo membuka pikiran lo ini yang menghasilkan kata konvensional; mereka yang berpegang tetap pada apapun yang klasik, yang dasar. Dan mereka-mereka yang berpikiran terbuka dan bisa nerima perubahan-perubahan itu dengan ketawa.

Gue dibilang berpikiran terbuka, oh yea, gue seneng dengernya, tapi gimana ketika gue dibilang berpikiran terlalu terbuka? Sekuler? Dan pada saat-saat tertentu, bahkan gue dibilang ateis karena keliatannya nggak memiliki landasan moral yang berdasar pada nilai-nilai religius. Masa sih? Soalnya, ada yang bilang gue nggak punya stereotipe akan hal apapun, statement ini dia keluarin waktu gue lagi nyetel TV Series yang belakangan ini lagi gue tonton, Queer As Folks—garis bersarnya, menceritakan tentang gay life—dia heran gue bisa segitu enjoynya nonton serial itu tanpa harus ngerasa jijik ataupun awkward.

Soalnya, gue emang nggak ngerasa seperti itu sih. Terlepas dari gue yang emang hetero meragukan ataupun mantan mahasiswa psikologi yang harusnya lebih terbuka akan beberapa hal yang menyimpang termasuk LGBT, seharusnya gue masih nyimpen pola pikir kalo gay itu: sedikit creepy. Nggak. Karena gue selalu mencoba untuk berpikir se holistik mungkin, entah gimana caranya, gue mencoba untuk memanusiakan manusia semanusia mungkin apapun label-label yang menempel di jidat mereka, gue copot dan gue buang ke tong sampah. Dasarnya apa? Soalnya, gue penegn mendapatkan probabilitas setinggi mungkin untuk mendapatkan temen ngerokok atau temen minum baru. Halah.

Gue gak segitunya deh. Gue masih punya pandangan-pandangan skeptis tentang hal-hal tertentu, soalnya gue masih orang dan bukannya Demit yang bisa ngegodiain manusia tanpa pandang bulu. Contoh aja, gue ngerasa kalo gue itu seksis—anti kesetaraan gender. Wets, jangan mikir gimana-gimana dulu, kenapa gue bisa berpikiran seperti itu, karena yang namanya kesetaraan dalam hal gender itu adalah hal yang mustahil kedua setelah SBY bisa nurunin berat badan. Sekarang, ketika para feminis-feminis itu tereak seoal perlakuin gue secara sama kayak lo cowok-cowok brengsek, apa prakteknya bisa semulus itu?

Kagak.

Feminis tereak, kasih gue jobdesk yang sama, tapi nyatanya, ada aja jenis bidang tertentu yang nggak memungkinkan cewek-cewek itu untuk ditempatkan disana, atau lebih seringnya, cewek-cewek itu malah ngeluh, “kenapa GUE ditempatin disini?” d’oh. Untuk feminis, kayaknya harus dibahas dalam bahasan khusus dah. Kepanjangan. Soalnya, kapan sih lo bisa debat sama cewek dengan hasil yang sama-sama enak?

Intinya, gue nggak seterbuka itu, walau gue akui emang kebukanya diatas rata-rata, gue bisa berdiri tegap ketika gue menonton laki-laki berjoget a’la bencong. Gue bisa ngebuka mata lebar ketika gue nonton torture porn. Gue bisa jalan enteng aja ketika ngelewatin gang yang penuh sama PSK. Ataupun gue bisa ngobrol dengan kalem sama orang-orang yang keliatannya baru keluar dari penjara. Tapi nggak semuanya gue bisa anggep dengan  biasa, seksis tadi contohnya, atau gue paling nggak tahan ngeliat laki-laki yang mentalnya kayak combro, lembek. Jadi bencong ya sekalian, maksud gue.

Tapi tetep, gue berpendapat bahwa dengan gue membuka pikiran selebarnya, maka gue akan punya temen ngobrol lebih banyak. Lagipula, mereka-mereka yang dianggap menyimpang sama sistem sosial pun ngerasa seneng ketika gue nganggep mereka normal sebagai temen ngobrol. Ya gak?



Karla

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Tuesday, September 13, 2011

Posted at : 1:35 AM

Namanya Karla, usianya delapan tahun. Aku mengingatnya samar, ia duduk di sebuah sofa pada pagi hari minggu, menonton kartun kesukaannya sampai siang datang menyambut atau ibunya lebih dulu berteriak. Mandi. Dan dia pun terbirit takut. Aku tertawa.

Aku hanya bisa mengingatnya samar, senyumnya yang tulus sampai pipi merahnya mengembung, tingkahnya yang diluar akal sehat. Meloncat ke kolam ikan lalu mencoba berenang. Aku panik dibuatnya.

Aku hanya bisa mengingatnya samar, saat-saat diamnya di kamar, mendengarkan musik melalui walkman kesayangan ibunya. Khusyuk, aku tidak bisa mendapatkan perhatiannya saat nada mulai mengalun dalam telinganya. Aku asik mengamati dari pintu.

Aku hanya mengingatnya samar. Namanya Karla. Aku rindu, kamu dimana?


Infeksi Sosial

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Monday, September 12, 2011

Posted at : 10:37 PM

Ngomongin soal hubungan antar manusia sekarang itu nggak bakalan mungkin tanpa melibatkan yang namanya teknologi. Segala hal ada hubungannya dengan apa yang kita pencet atau terkoneksi ke internet. Memudahkan emang, orang-orang yang ada dibelahan dunia lain bisa lo kontak dengan segera saat lo mau, cukup pencet satu dua tombol dan lo bisa ngobrol dengan bebas, itu teknologi, dan sesuai dengan tujuan awal teknologi terus berkembang, emang hal ini ditujuin supaya kehidupan manusia dimudahkan. Bisa digarisbawahi tuh, memudahkan, dan bukannya malah bikin susah.

Gue teringet sama seorang temen, waktu yang namanya Blackberry keluar, dia girang bukan main, seneng karena kemungkinan untuk sosialisasi dengan baik semakin kebuka lebar jalannya, dan dia pun beli satu. Seneng? Pasti, lo bisa ngontak siapapun dimanapun dan kapanpun, semacem address book yang bisa ngasih feedback langsung. Bener, dia memanfaatkan gadget satu itu dengan baik, gak cuma pake, tapi bisa memanfaatkan semua fitur yang ada didalemnya secara maksimal. Hidup jadi lebih mudah, kehidupan sosial berasa bersinar dan lo gak akan ngerasa kesepian, karena manusia punya kecenderungan untuk sosialisasi ketika keadaan memungkinkan, dan gadget satu itu ngasih semua kemudahan yang dibutuhin untuk ngelakuin sosialisasi.

Itu awalnya, lama kelamaan dia pun mikir, gunanya apa? Maksudnya, emang bener lo bisa sosialisasi sama siapapun dalam waktu yang gak terbatas, tapi apa iya kalo itu yang dia butuhin, sebagai manusia yang utuh? Ketika suatu saat, lo enek dengan semua hal yang ada di dunia ini, kenyang sama temen, mual sama cinta, dan ngerasa cukup banyak nelen yang namanya konflik sosial, apa sih yang lo butuhin selain waktu sempurna buat diri sendiri? Waktu yang lo ciptain buat lo dan hanya buat lo sendiri, masa iya lo ga butuh itu?

Gue pernah bilang di blog ini juga, nggak ada manusia yang mau sendirian barang satu jam, ya, gue pernah bilang begitu. Tapi kayaknya sekarang gue harus menarik kata-kata itu. Itu hanya sebatas statement yang gue keluarin disaat-saat tertentu, karena lo tau, manusia dikasih otak buat mikir dan hati buat merasa, saat hati mengalami perubahan, otak pun bakal berubah. Waktu itu gue sendirian, atau seenggaknya, merasa seperti itu, disaat lo nggak punya siapa-siapa bahkan untuk diajak ngobrol, jelas lo merasa kalo lo nggak akan pernah mau ngerasa sendirian karena sendirian nggak enak, masalahnya, gue waktu itu udah lupa apa rasanya ada di tengah kerumunan. Apa yang gue pandang sekarang beda dari dulu, itu dua tahun lalu, masa iya gue nggak mengalami perubahan sama sekali?

Temen gue bilang, dari sekian banyak kontak yang ada di handphonenya, berapa sih yang bener-bener dia kontak? Dia temuin dan ajak ngobrol? Katanya sepuluh pun nggak sampe. Ramai, tapi sepi. Mungkin itu yang dia rasain, terlebih efek lainnya dimana dia merasa nggak punya waktu untuk dirinya sendiri. Lalu? Kenapa nggak diciptain aja waktu itu? Nggak segampang itu, ketika ada kemungkinan sekecil apapun untuk berinteraksi, manusia sulit untuk nolaknya walau mereka nggak ingin, karena interaksi itu menyenangkan dan manusia itu makhluk sosial. Memang menyenangkan, tapi kesenangan ini juga yang kadang membuat kita lupa kalo manusia pun itu makhluk yang individual. Makhluk yang didorong oleh alam untuk bertahan hidup dengan kemampuannya sendiri terlepas perannya sebagai bagian dari sebuah komunitas sosial.

Temen gue pun melakukan sebuah gerakan berani, dia mematikan handphonenya total, memutus segala kemungkinan-kemungkinan sosialisasi tersebut sampai pada titik dimana ketika ada orang yang ingin bener-bener sosialisasi sama dia, maka dia harus ditemui langsung. Beberapa waktu yang lalu, gue menemui dia dan apa yang terjadi? Katanya, dia nemuin frekuensi hidupnya yang udah lama hilang, sosialisasi ketika ingin dan waktu berkualitas untuk dirinya sendiri bisa diciptakan dengan mudah. Ada perubahan pembawaan dari dia, gue nggak tau detailnya gimana, tapi kayaknya, pertanyaan dia yang dulu diajuin ke gue—yang selalu ada di jidatnya itu—seolah udah nggak ada. Mungkin udah ketemu? Mungkin.

Gimana, apa, caranya, harus ngapain.

Seperti temen gue, gue juga ngerasa jenuh. Merasa harus cek twitter tiap satu jam sekali, facebook yang juga gue intip, Messangger yang bahkan gue selalu invisible. Gue berharap bisa melakukan sesuatu disana, sayangnya nggak. Nggak tapi gue cek, gue liat, kumpulan orang-orang entah darimana ada di depan mata gue tapi sama sekali nggak bisa gue sentuh, sosialisasi. Andaikan iya, kosong. Nggak ada rasanya. Apa itu yang gue cari? Nggak.

Bukan itu.