Skinpress Demo Rss

...Di Pangkal Tenggorokan.

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Wednesday, April 27, 2011

Posted at : 3:09 AM

Dengerin lagu SORE track Mata Berdebu selalu bikin gue trance, pengen nyalain rokok dan neguk segelas espresso. Oh salah, itu mah kata-katanya Luthfi. Lagu ini termasuk jenis lagu yang bakalan loop and loop terus-terusan sekalinya diputer di winamp komputer gue. Anjoy. Suram.

Setengah tiga pagi menunggu kantuk, perjalanan dua ratus kilometer baru aja beres gue runut, Jakarta Bandung, untuk yang kesekian kalinya. Tapi sialan, bait lagu Sore tiba-tiba mengalun di dalam kepala gue, menggelitik gue untuk turut melafalkan perlahan. Parah, sepi gila. Jalanan yang kosong, sesekali teman seperjalanan melintas atau dilintasi, kegelapan sempurna yang dilumpuhkan oleh cahaya motor gue, dan deru mesin ber-cc 180 yang menjadi crescendo orkestra perjalanan ini. Heuh. Rasanya gue pengen nabrak plang jalanan dan terjun aja ke jurang.

Nanda baru aja pulang pagi ini setelah kunjungan lima harinya yang jelas nggak akan membuat gue puas. Walaupun beriringan terus-menerus sepanjang waktu, tapi apa itu cukup? Ya enggak dong. Kebersamaan singkat ini berakhir, dan dengan cantiknya gue melakukan perjalanan jauh lagi, jelas kosong terasa, dunia milik berdua diokupasi oleh gue sendiri, lagi. Perjalanan yang biasanya gue isi obrolan dengan orang asing, persaudaraan jalanan dalam taraf 90kpj, sekarang gue tukar dengan muka datar rata tanpa nafsu memutar gas. Yang gue rasa hanya bayangan belitan tangan mungil yang melingkar seputar perut, atau sesekali gue menolehkan leher kebelakang, berharap ada mata berkeriput yang biasa gue lihat empat hari kebelakang. Tapi sayangnya nggak ada.

Dan aku tak bisa melangkah..


Yang bilang gue meratap, sini, gue tampar pake kolor.

Ini bukan ratapan, hanya kenangan yang terlalu manis sampai rasanya berbekas di pangkal tenggorokan bahkan beberapa waktu setelah makanan tertelan. Manis, enak. Rasa yang membuat gue kadang memejamkan mata, mengecap dengan lidah, berusaha merasakan lagi sensasi yang sama persis ketika gue lagi makan makanan itu. Tapi hanya berbayang, karena sudah tertelan mau bicara apa? Senyum lebar, menunduk sesaat lalu berikrar pada diri sendiri, bahwa suatu hari nanti gue akan makan makanan itu lagi agar rasa semu yang gue rasa di pangkal tenggorokan ini nggak hanya berakhir disana, tapi benar-benar terasa lagi, secara nyata.

Di antara musafirnya..


Rasa manis yang saking gue sukanya, gue pengen berbagi dengan orang lain, coba deh, lo harus ngerasain apa yang gue rasain karena ini terlalu ‘wah’ untuk gue rasain sendiri. Gue nggak tau apa orang lain juga pernah merasa apa yang gue emut sekarang ini, tau rasanya seperti apa, persis? Secara egois, gue bilang nggak, hehe. Gue sendiri kaget menemukan tingkatan hubungan yang macam ini, yang bukan hanya mengurusi apa aja yang ada sekarang, tertawa ngakak pada saat ini doang, tapi juga merencanakan hal-hal yang sekiranya bisa membuat gue dan Nanda tertawa lebar pada masa yang akan datang. Sekali lagi, gue tersenyum mengecap rasa manis yang masih nyangkut di tenggorokan.

Dan aku rindu melangkah di duniamu..


Belum genap dua puluh empat jam, tapi jemari dan tangan ini rasanya ingin berteriak rindu, jemari yang biasanya mengisi sela-sela tangan ini tidak lagi terasa. Mata rasanya kering, senyuman manis bergaris keriput sekitar mata tak lagi nampak. Telinga seolah tuli, karena suara lembut yang biasa gue denger tak kunjung merapal. Haum. Tapi gue tersenyum, rasa hilang ini terbayar dengan apa-apa aja yang gue alami beberapa hari kemarin, obrolan yang gue dapatkan, kata-kata yang masuk ke telinga, dan waktu yang terlalu berharga untuk gue lupakan sia-sia. Lidah gue mengecap, dan gue tersenyum, rasa manis itu masih ada di tenggorokan.

Diantaraku janjimu terlunta..

Dongeng Yukeli dan Keluarga Tikus

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Wednesday, April 20, 2011

Posted at : 5:44 PM

Di hutan nun jauh di sana, hiduplah sebuah keluarga tikus kecil yang tentram. Keluarga itu terdiri dari seekor Ibu Tikus dan kedua anaknya, Sulung dan Biyung. Hidup mereka sederhana tapi bahagia, tidak kekurangan suatu apapun dan penuh tawa. Keluarga tikus kecil hidup bertetangga dengan seekor babi hutan tua, babi hutan itu bernama Yukeli. Ia sudah terlalu tua untuk bisa berburu mencari makanannya sendiri, mengetahui itu, Ibu Tikus yang baik hati selalu memberinya bagian dari hasil mengumpulkan makanan di hutan. Yukeli senang, dan Ibu Tikus pun juga turut senang karena bisa membantu tetangganya.

Musim dingin pun tiba, makanan di hutan mulai menipis dan sulit didapat. Ibu Tikus harus berpergian jauh ke selatan agar dapat mengumpulkan makanan yang cukup untuk Sulung, Biyung dan Yukeli. Tapi Ibu Tikus kebingungan, bagaimana dengan kedua anaknya yang masih kecil? Mereka belum dapat menjaga dirinya sendiri. Lalu Ibu Tikus mendapat sebuah ide, ia meminta Yukeli untuk menjaga kedua anaknya. Yukeli mengiyakan, ia berkata akan menjaga Sulung dan Biyung sampai Ibu Tikus kembali nanti. Ibu Tikus pun lega, ia bisa berangkat dengan tenang untuk mengumpulkan makanan.

Tapi mengumpulkan makanan di musim dingin ternyata tidak mudah. Perjalanan yang di tempuh Ibu Tikus sangatlah jauh, jalur yang sulit dilalui dan banyaknya pemangsa-pemangsa ganas di tengah jalan. Hal itu membuat Ibu Tikus berpergian sangat lama, cukup lama. Sekembalinya Ibu Tikus ke hutan dengan keranjangnya yang penuh makanan, ia menemukan sarangnya kosong, tidak ada kedua anaknya, Sulung dan Biyung. Ibu Tikus lalu pergi ke rumah Yukeli, berharap kedua anaknya sedang bermain bersama babi hutan tua itu dengan gembira. Tapi tidak. Yukeli bertampang murung, ia berkata.

“Anak-anakmu sudah besar, bu. Mereka sudah menikah dan pergi keluar hutan.”

Mendengar itu, Ibu Tikus sedih. Ia kembali ke sarangnya, terduduk di kursi kayu dan memandangi ranjang tempat kedua anaknya biasa tertidur. “Mengapa?” Ibu Tikus bertanya. Padahal ia sudah bersusah payah mengumpulkan makanan, untuk kedua anaknya. Tapi kenapa mereka justru pergi tanpa pamit? Ibu Tikus semakin sedih. Kesedihannya membuat ia tak bernafsu makan, berhari-hari, berbulan-bulan sampai tubuhnya kurus kecil tak bertenaga.

Suatu ketika, musim hujan yang hebat turun di hutan itu, Ibu Tikus harus menggali parit agar sarangnya tidak terendam air. Ibu Tikus menggali dan terus menggali, belum selesai setengah pekerjaannya, ia menemukan sebuah benda aneh terkubur di dalam tanah dekat rumahnya. Sebuah potongan kaki mungil, mirip kaki si Biyung pada saat Ibu Tikus pergi mencari makanan dulu. Ibu Tikus mengambil potongan kaki tersebut, matanya berkaca-kaca lalu menuju ke rumah Yukeli. Ibu Tikus membuka pintu rumah Yukeli dengan terburu, ia berkata.

“Yukeli.. Ini kok seperti kaki anakku, si Biyung..”

Yukeli diam sesaat, ia lalu menjawab pertanyaan Ibu Tikus.

“Bukan bu.. itu kaki seekor marmut.” Katanya perlahan dengan suara yang berat parau.

Ibu Tikus tak percaya, ia mendekati Yukeli, memegangi tangannya, ia meratap kepada babi hutan tua itu. Ibu Tikus lalu mengulangi perkataannya lagi.

“Yukeli.. Ini kok seperti kaki anakku, si Biyung..”

Yukeli kebingungan harus berkelit apa lagi. Betul, itu adalah kaki si Biyung, anak tikus bungsu dari Ibu Tikus. Yukeli lalu membalas perkataan Ibu Tikus.

“Iya bu, itu kaki anakmu, si Biyung. Kedua anakmu bermain terlalu jauh ke hutan, mereka dimakan oleh kucing hutan.”

Tangisan Ibu Tikus pecah, selama ini ia tidak mengetahui, bahwa anaknya tidak hidup bahagia dengan pasangannya di luar sana, tapi berada di perut kucing hutan, dimangsa hidup-hidup. Ibu Tikus putus asa, apa arti hidupnya kalau bukan untuk anak-anaknya? Apalah guna Ibu Tikus mengumpulkan makanan kalau bukan untuk mereka, melihat mereka besar nanti dan dapat mengurusi dirinya di hari tuanya. Apalah gunanya?

“Yukeli.. antarkan aku ke tempat kucing hutan itu. Setidaknya tubuhku yang kurus kering ini bisa menjadi makan malamnya, setidaknya aku bisa berkumpul lagi dengan anak-anakku di perut kucing hutan itu.”

Yukeli ikut menjadi sedih, ia menghela nafas panjang. Bibirnya yang tebal bergemetar, Yukeli menatap Ibu Tikus yang putus asa. Kasihan.

“Ibu, sebenarnya aku yang memakan kedua anakmu, Sulung dan Biyung, aku kelaparan. Tapi mereka tidak menolak kumakan, mereka bilang ‘apa gunanya kami hidup jika tanpa ibu kami, Yukeli’ mereka menganggap kamu telah mati, bu, karena kamu tidak kunjung pulang kembali kemari.”

Yukeli selesai bercerita, Sulung dan Biyung ada di dalam perutnya. Ibu Tikus menangis semakin keras. Yukeli hanya bisa terdiam. Lama, sangat lama. Sampai akhirnya Ibu Tikus mengusap air matanya, menatap Yukeli yang murung dengan tegas.

“Makan aku, Yukeli.”


________

(c) Imaniar Permana yang mendongengkan ini buat gue, dan Bapaknya yang mendongengkan ini buat Nanda.

Paradoks Primordialis

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on

Posted at : 1:38 PM

Gue benci yang namanya primordial. Sangat nggak rasional kalau gue bilang, mengagung-agungkan apa yang mereka punya, dan menganggap sebelah mata yang orang lain miliki. Apa nama kerennya? Chauvinis? Blah. Gue nggak bermasalah kalau emang pengen mengagung-agungkan, silahkan, tapi kalau udah menyangkut ngejongkokin adat lain itu kan konyol namanya.

Sering terjadi, sering gue alami, baik dari orang yang gue kenal baik, maupun stranger yang gue temui di perjalanan. Maksud gue, apa sih untungnya? Apa sih gunanya? Ketika jelas-jelas sebuah adat itu dipakai, maka ada fungsinya, pergaulan yang tercipta di suatu daerah ya memang itulah yang terjadi, buat apa dibandingkan kalau memang tata cara pakai dan pandangnya aja udah berbeda? Di satu daerah misal, makian itu hampir nggak ada maknanya dalam pergaulan, justru diucapkan dengan maksud penghargaan, ‘kita udah bertemen cukup deket sampai kata-kata kasar ini nggak ada artinya’, tapi kenapa ada orang dengan adat lain melihat itu sebagai sebuah dekadensi moral? Kan goblok, udah jelas beda kultur.

Lebih lucu lagi kalau sampai nyuruh menyesuaikan setiap detail. Kenapa? Karena lagi ada di tanah orang? Tanah bapak lo! Oke, gue fine, gue akan menyesuaikan mana yang perlu disesuaikan, mana yang ofensif di daerah tertentu tentu gue nggak akan pake, ya tentu nggak semuanya. Tapi, ironisnya, yang sedikit ini lah yang justru jadi permasalahan, sedikitnya itu masalah. Dan gue rasa yang namanya kepala manusia itu nggak pernah lepas dari yang namanya stereotipe, jadilah, yang sedikit ini dijadikan sampel—bahwa orang tersebut nggak menghargai adat di daerah tersebut. Grok. Bukan nggak mau ubah, tapi memang udah pembawaannya demikian, apa itu nggak bisa diterima? Man, lo tinggal di negara multikultur tapi chauvinis lo udah nyaingin Hitler. Come on.

I’m better than you.
^
^
Ini sangat brengsek sekali. Aspek primordial yang paling sucks itu, berusaha untuk lebih baik dalam segala aspek, konyolnya, aspek manapun. Yang baik dan yang buruk. “Makian di tempat gue lebih kasar daripada tempat lo.” “Cuaca di tempat gue lebih gak enak di tempat lo.” “Makanan di tempat gue lebih enak di tempat lo.” “Kok tempat lo begitu amat? Tempat gue doong.” “Kok orang-orang lo begitu sih? Orang gue dong begini.” Dan seterusnya. Blah. Konyol nggak? Buat gue, konyol. Apa poinnya? Apa benefitnya? Oh jelas, ‘adat gue lebih seksi daripada adat lo.’ Tapi apa gunanyaaaaa? Goblok.

Gue? Gue udah kenyang. Udah males nanggepin, udah ngerasa nggak ada gunanya ngebela adat gue sendiri, buat apa? Karena gue ngerasa itu adalah hal percuma yang nggak ada untung buat gue, ngapain gue susah-susah? Tapi man, ngedengerin orang ngagung-agungin bangsanya sendiri itu bikin kuping panas, bilangnya well educated, tapi chauvinis kayak primitif. Gue paling naikin alis, senyum segetir mungkin, dan dalem hati bilang, ‘ya-ya-ya, go fuck yourself laaa..’ nggak ngebales, nggak nanggepin, turn off.

Gue bersyukur lahir dan besar di Jakarta yang plural, udah terbiasa ngeliat suku-suku yang berbeda membaur jadi satu di dalam satu ruangan. Makan dengan nampan yang sama dan ketawa sama-sama tanpa ngomongin adat masing-masing. Tenang. Nggak ada bacot-bacot pembelaan nggak penting. Yang ada hanya senyum kolektif tanda damai, obrolan-obrolan panjang lebar, dan berbagi cangkir kopi untuk diseruput bareng.

Dan apa kalian sadar? Bahwa dengan gue memproklamirkan diri sebagai proud multiculturism Jakartans, itu adalah bentuk primordialis gue? *facepalm*

Tag @fauziegarib, gue nagih tulisan lo nih, manaaa?

Sempurna

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Saturday, April 16, 2011

Posted at : 4:23 AM

Aku bercermin pada cermin, cermin yang juga bercermin kepadaku. Kulihat bayangan seorang perempuan di balik sana. Cantik. Usianya awal duapuluhan, berambut panjang sepundak, sedang tersenyum menatap kembali padaku di sisi satunya. Itu aku. Diriku sendiri yang sedang berdiri tanpa busana, memandangi diriku yang lain di sisi yang lain. Aku berkedip, dia pun berkedip. Hidungku kukembangkan, dia pun melakukan yang sama. Aku meletetkan lidahkan padanya, dan kurang ajar, dia juga meniruku. Huh. Ngomong-ngomong, kalau kau tak tahu. Aku ini sempurna.

Lihatlah bentuk wajahku. Oval imut, yang seolah Tuhan sendiri yang turun tangan membuatnya sehari-semalam, diukur dengan presisi tinggi agar menghasilkan sebuah fondasi paling indah untuk menempatkan bahan lain diatasnya. Tidak jarang ada orang yang meminta izin padaku untuk menyentuhnya, merasakan kesempurnaan kontur wajahku yang tanpa cacat. Hei. Sudahkah aku menyebutkan lesung pipiku yang dalam menggoda? Dalam mencekung, menambah kecantikanku limapuluh poin, tidak ada pria yang tidak terpana ketika lubang temporer itu menampakkan wujudnya. Iya, wajahku sempurna. Aku sempurna.

Lihatlah mataku. Begitu bulat besar, simetris sempurna tanpa cacat, melekuk indah di sudut dan melengkung cantik di sisinya. Kelopak mataku yang putih merona dihiasi bulu-bulu lentik mempesona, tanpa tambahan apapun, aku bisa pergi ke sebuah pesta dan banyak yang memuji tampilan mataku. Tanpa cela, tanpa cacat, bahkan tida segaris kantung matapun tampak menodai kesempurnaannya. Alisku tebal cantik, terpisah dalam jarak yang pas dengan presisi luar biasa. Praktiknya di lapangan? Jangan tanya. Tidak ada satupun lelaki yang bisa memalingkan wajahnya begitu aku melirik. Tidak jarang mereka sampai membuntutiku, hanya karena dilirik! Aneh kan? Tidak. Karena mataku sempurna. Aku ini sempurna.

Lihatlah hidungku. Tidak besar, tidak kecil. Menekuk indah bagaikan pahatan seniman patung legendaris. Kuping hidung yang mungil melengkapi pahatan itu, tentu saja tanpa cela, tanpa noda, tanpa efek-efek buruk rupa semacam komedo ataupun jerawat. Orang-orang yang berfokus pada hidungku saat melihat, pastilah menganggap sirkulasi yang dihasilkannya hanyalah menghisap oksigen, dan mengeluarkan oksigen. Ya, tentu saja. Karena hidungku sempurna. Aku ini sempurna.

Bibirku? Inilah yang dinamakan kesempurnaan. Merah merekah walau tanpa pewarna bibir. Orang-orang menyebutnya sensual, terbentuk indah dari dua daging pilihan yang menyatu ketika mulutku terkatup. Tidak tipis, tidak tebal, pas. Ditambah lagi dengan ketidaksempurnaan yang sempurna, gigiku gingsul menambah manis citraku sebagai wanita. Senyumku? Jangan ditanya. Kalau dijumlahkan dengan lesung pipit dan gingsul yang kumiliki, lelaki mana sih yang tidak bertekuk lutut dihadapanku? Lelaki mana yang tidak mengabulkan permintaanku ketika au tersenyum? Tidak ada, sayang, tidak ada. Tidak. Karena bibirku sempurna. Aku sempurna.

Ya. Sempurna.

Setiap mili dari wajahku adalah karya terbesar yang pernah Tuhan ciptakan, dengan segala detail dan kejelasan yang bahkan nalar manusia pun tidak mampu bayangkan. Aku tersenyum lagi, kepadaku di sisi lain sana, yang juga membalas senyumku dengan sama manisnya. Ah, cantik sekali kamu. Tidak akan ada satupun lelaki yang akan menolakku, tidak satupun. Tidak. Semua kalangan, semua orang, dari yang di atas sampai yang di bawah. Dari bukan siapa-siapa sampai publik figur. Dan yang paling miskin sampai yang paling kaya semua akan meletetkan lidahnya kepadaku seperti anjing kelaparan. Ya. Semuanya.

Semuanya.

Termasuk temanku sendiri, baru-baru ini. Ia mencoba menjamah tubuhku ketika kami sedang mengerjakan tugas kuliah di kamar kontrakanku, tentu saja aku menolak. Tapi? Dia menahan kedua tanganku, berontak? Percuma. Apa daya seorang perempuan dengan fisik terbatas melawan laki-laki? Mungkin bisa lebih buruk, tangannya bisa saja melayang ke wajahku, dan itu artinya kesempurnaanku berkurang, dan aku tak mau itu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menangis, memejamkan mataku seerat mungkin, menunggu waktu-waktu ini terlewat dengan cepat sementara ia menikmati kesempurnaanku, tiap sentinya. Apa boleh buat. Ini karena aku sempurna.

Sahabatku? Sama saja. Lima tahun kami berteman baik, berbagi suka duka dan tawa tangis, menghabiskan waktu-waktu menyenangkan dan juga menyedihkan bersamanya. Tapi apa? Dia tetap laki-laki yang tak mampu menahan godaan dari sebuah kesempurnaan. Aku tak heran. Belum lagi teman-teman perempuanku yang satu persatu menjauhiku, katanya iri padaku. Itu masih mending, menjauh lebih baik, tak berbuat apa-apa, tapi bagaimana mereka yang terang-terangan memusuhiku? Kau tahu? Aku pernah hampir disiram air keras oleh salah seorang senior, waktu itu di Lab, kalau saja tidak ada dosen yang datang waktu itu, dijamin, sempurnaku hilang sudah.

Aku memang sempurna. Tidak ada laki-laki yang tidak tergoda olehku. Tidak ada satupun. Ya. Tidak satupun, termasuk paman-pamanku. Semuanya. Aku hafal gerakan mereka, yang seminggu sekali menginap di rumahku. Kedoknya tali silaturahmi, padahal ketika semua orang sudah tidur, mereka mengendap-endap ke kamarku, membisikanku iming-iming kadang mengancam dan mulai menggerayangi tubuhku. Aku takut? Tentu saja, aku takut ancaman mereka menjadi nyata dan kesempurnaanku hilang. Aku tak heran. Mereka tergoda itu wajar. Karena aku sempurna.

Ya. Aku sempurna. Dan kesempurnaan itu menggoda semua lelaki. Semua, kubilang, semua! Termasuk ayahku sendiri. Jangan tanyakan jumlah, aku tak mampu menghitungnya lagi. Jangan tanya seberapa hebat, badanku tak sanggup menjawab. Sekali lagi aku mengatakan, aku tak heran. Karena aku sempurna.

Apa yang kupikirkan hanya satu. Apakah aku rela berbagi kesempurnaanku ini dengan orang lain? Tidak adalah jawabannya. Mutlak. Tuhan menciptaku dengan kekhususan, sebuah mahakarya, spesial, tiada bandingan dan saingan. Apa aku rela, apa aku tega membiarkan sesuatu yang menjadi jerih payah Tuhan dinikmati atau bahkan suatu saat dirampas oleh orang lain? Tidak adalah jawabannya. Mutlak. Untuk itu aku berusaha mencegahnya, dengan jalan satu-satunya dimana mereka tak mungkin bisa menyentuhku lagi.

Aku masih bercermin pada cermin, cermin yang juga bercermin kepadaku. Kulihat bayangan seorang perempuan di balik sana. Cantik. Aku tersenyum, senyum bahagia. Kulihat pergelangan tanganku yang merah. Darah masih mengalir perlahan tapi pasti sejak tigapuluh menit lalu. Aku tak sadar, lantai kamar sudah banjir dengan darahku sendiri. Pandanganku mulai mengabur, lemas, kepalaku pening. Sakit. Tapi tak apa, sebentar lagi semua akan selesai. Semua akan berakhir dengan baik. Aku telah melakukan usaha terbaikku untuk menjaga karya Tuhan paling sempurna untuk tidak ternoda. Sebuah kehampaan. Tak ada lagi yang bisa merusaknya. Dan kamu, jangan heran. Ini karena aku sempurna.

Sudah Siap?

Filed Under () by Pitiful Kuro on Sunday, April 10, 2011

Posted at : 4:37 AM

Apa gue selamat? Atau justru sebaliknya? Apa beberapa jam yang gue habiskan entah untuk apa ini ada artinya? Apa gue bener-bener berbicara dengannya? Apa gue membuat keputusan yang tepat dan sesuai? Yakin ini yang terbaik tanpa membuat siapapun terkena imbasnya?

Empat jam. Empat puluh delapan batang rokok.

Di pelataran waralaba dua puluh empat jam, sendiri, sesekali disapa oleh mereka yang mabuk, ditawari segelas minuman persahabatan yang gue tolak dengan sopan. Tanpa alat komunikasi, hanya uang secukupnya, tanpa kendaraan, hanya bermodal kaki yang lesu melangkah. Untuk apa? Lari? Bukan. Menenangkan diri? Terlalu tenang malah. Apa? Mungkin hanya lamunan kosong, mungkin terselip satu dua titik pikir di sana, mungkin ini adalah pemikiran panjang tanpa jeda dan cela. Semua mungkin. Karena mungkin, gue bukan mencari itu.

…ternyata susah nulis dengan keadaan tangan begini.

Gue pergi dengan konsekuensi. Ada yang gue tinggal, dan ada yang gue kejar. Gue meninggalkan kontak, meninggalkan tali yang penting dalam sebuah hubungan. Gue mengejar sebuah pencerahan instan, yang cepat dan nggak sulit. Gue merasa cukup, gue merasa capek dengan temper yang sebegini tingginya. Nggak normal. Dan tentu gue nggak mau terulang keadaan yang sama seperti satu tahun lalu, nggak. Mirip. Makanya gue pergi, dengan konsekuensi, karena gue tersadar dan gue perlu untuk tidak disini, karena jika terjadi lagi, belum tentu gue seberuntung tahun lalu. Dan andaikan selamat, belum tentu gue masih seutuh sekarang.

Takut? Justru sebaliknya.

Dan itulah yang gue takutkan. Perasaan takut yang muncul karena menganggap kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan. Ngeri membayangkan apa yang bisa dilakukan dengan tangan-tangan ini, apa yang pikiran ini bisa rumuskan dengan beberapa benda dan hal dan apa yang terjadi setelahnya. Dan terima kasih, siapapun yang membimbing, ini cukup, cukup satu kali.

Cukup satu kali menjadi martyr untuk diri sendiri.

Itu pun terlalu banyak.

Sekarang? Dengan keadaan yang lebih tenang, berhasil melewati pemikiran seperti itu dan kembali ke rumah. Apa siap? Menerima segala konsekuensinya? Mungkin enggak, mungkin ini ketenangan temporer. Tapi yang jelas, gue bernegosiasi banyak dengan diri gue sendiri.

Cukup? Nggak. Hidup dipertanggungjawabkan, bukan dijanjikan. Bukan dikatakan, tapi tindakan.

Tidur? Mana bisa.

Mungkin Bukan Aku.

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Monday, April 04, 2011

Posted at : 1:20 PM

“…”

“…”

“…”

“…”

“….kita putus aja ya,”

“…”

“—bye, baik-baik.”

“—Mel, tungg—“

Pett..

Bangsat.

Brengsek.

Lonte!


Sundal!

Habis sudah kata-kataku, habis sudah hidupku. Mataku terbatu pada aspal jalanan, handphone masih dikupingku berbunyi ‘tut tut tut’, tak percaya. Aku diputus pacarku, alasannya? Tak jelas. Dugaanku Roni keparat itu yang mengambil alih hatinya, pesan-pesan di BBM Meila yang berhubungan dengannya selalu dihapus, dan hanya dia yang dihapus, pasti ada apa-apanya kan? Goblok, sialan! Hatiku terbakar amuk, rasanya aku ingin menendang tiang halte ini sekuatnya sampai puas. Tapi tidak, ada beberapa orang disini, nanti aku dianggap gila beneran. Percakapanku dengan Meila di telpon tadi saja sudah cukup menarik perhatian mereka.

Hoh..

Kukantongkan handphoneku, sebagai gantinya, satu pak rokok ada di tanganku sekarang. Kunyalakan tentu saja. Dan apa aku sudah bilang kalau disini hujan? Ya, hujan badai melanda daerah Cempaka Putih sekarang, dan yang kumaksud badai disini adalah badai yang membuat ranting-ranting pohon berjatuhan saking kencang anginnya. Dahsyat, aku pun sampai sangsi kalau halte ini cukup kuat menahan terpaan angin yang begitu kerasnya.

Aku duduk, tak jauh dari seorang bapak-bapak yang sedari tadi melihatku dengan senyum, umurnya sekitar 50an dan mungkin baru saja pulang dari pekerjaannya. Mana kutahu? Sementara diujung satunya seorang wanita berpakaian khas sekretaris duduk terdiam memandangi handphonenya, asik dengan dunianya sendiri. Pukul 10. Mungkin kami, mereka dan aku adalah rombongan terkahir yang menggunakan halte ini sebagai tempat transit. Commuter paling ujung yang berharap sebuah bis menuju peraduan kami segera datang. Tapi tidak.

Tidak.

Entah kemana sopir dan kenek itu.

Aku menghisap rokokku dalam, sampai ke paru-paru paling ujung, tak ada yang tak terjamah. Dan wuush.. asap tebal mengepul hebat dari mulutku. Sama seperti uangku yang habis ludes. Masih ada sangkutannya dengan Meila, belum lagi ratusan juta hutangku pada bank. Jumlah yang tak mungkin kubayar dengan hitungan gaji 20-30 tahun dari sekarang. Mati. Rasanya aku mau mati saja. Aku tertunduk lesu, wajahku menatap lantai, aku menggaruk-usap kepalaku yang tidak ada gatalnya sama sekali.

Haaaahhh…

Hujan masih deras. Kapan bisa pulang? Entahlah.

Lewat. Pulang?

Kata siapa?

Aku bangun. Bis kota itu akhirnya nampak diujung jalan untuk mampir ke halte ini untuk mengangkut kami para penumpang terakhirnya. Raut senyum sekilas nampak dari bibir bapak itu tadi. Tapi aku punya rencana lain. Aku mau mati saja. Mati terlindas! Sampai otakku berceceran di tengah jalan dan tidak ada yang dapat mengenali wajahku lagi, ha! Mei akan menyesal memutuskanku hanya karena masalah materi, nyawaku hilang karenamu sekarang! Menangislah besok, menangislah meraung melihat berita di koran merah tentang bodohnya seorang pemuda yang bunuh diri ditinggal kekasihnya. Mampus!

Aku berdiri, rokokku masih di mulut. Sebentar lagi bis itu akan sampai di halte ini, aku akan meloncat dan satu tiket ke neraka akan berada di tanganku. Mantap. Tak perlu hutang, tak perlu sedih, tak perlu bekerja lagi.

30 meter.

Bersenang-senanglah kalian di kasur yang pernah kutiduri, dengan Mei! Kau terima bekasan saja, ha-ha! Ogah aku melihatnya, mendengar kabarnya, apalagi sampai menerima undangan pernikahan kalian nantinya. Najis, amit-amit.

10 meter.

Keluarga? Yah, maaf buk, anakmu ini tak bisa meneruskan keinginan-keinginan ibu, aku cinta ibu, aku sayang ibu, tapi aku tak sanggup menanggung beban ini lagi bu. Bapak, maafin aku ya pak, bapak bilang bangga sama aku yang sekarang udah bisa mencari duitku sendiri, tapi sekarang aku tak bisa lagi menghasilkan sesuatu untuk menyenangkan hati bapak, jadi maafin aku ya pak sekali lagi. Dik, kamu jaga ibu sama bapak ya, nafkahi mereka sebaiknya, urus mereka sampai mereka tua nanti, maafin aku ya dik harus melimpahi kamu dengan tanggung jawab sebesar ini ke kamu, maafin kakak. Maafin aku ya semuanya.

5 meter.

Dan aku pun siap melomp—

“Kami duluan ya dek..”

Lho? Bapak-bapak dan perempuan tadi sudah ada disampingku? Sejak kapan? Mereka bergandengan tangan dan—

Melompat.

Dan daging-daging pun terlempar kesana-kemari, darahnya membanjiri tubuhku, aku ternganga, rokok yang terselip di bibirku terlepas. Mereka mati. Seketika. Tersenyum dan berpelukan dalam bentuk potongan daging tak jelas. Bahagia.

Aku—?

Ngomong-ngomong, masih hujan.

Live Life To The Fullest--Ya Kalee

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Sunday, April 03, 2011

Posted at : 4:54 AM

Life happens

Bisa balik nulis, bisa balik baca sebanyak yang gue mau itu kaya mimpi. Balik? Emang sebelumnya nggak bisa? Bisa aja, tapi niat menghadang. Pret. Mulai balik nulis-nulis cerpen kosong, balik nge-RP di Indohogwarts, dan bahkan udah bisa menghasilkan duit dikit-dikit dari tulisan sendiri. Uhuy. Hidup terasa tenang lempeng tanpa beban pikiran. Ada sih. Tapi dipikir sampai alis naik tiga senti juga ngga akan ada fitrahnya. Kadang sesuatu yang terjadi dalam hidup itu cukup sucks, and there is no hikmah to be taken. Terima aja lah dengan legowo.

Ngga ada beban, man. Ini perfect.

Ngomong apa yang gue mau, mengungkapkan pendapat yang ganjel di kepala, marah ketika emang pengen marah, nangis ketika emang pengen nangis. And voila. Ngga ada acara pundung suram-isme yang menghantui langit kamar gue kayak awan cumolonimbus turun derajat. Happy, dong. Suramnya kalau ribut ama pacar aja, hehek, selebihnya nggak perlu.

Soal ngomong, asik nih. Nggak memfilter apa-apa yang gue ucapin itu rasanya asik, lega, tenang. Peduli amat orang mau ngomong apaan, yang penting gue puas, maksud tersampaikan dan nggak cuma mandek di kepala, kalau mandek, hasilnya nanti kayak tulisan-tulisan dengan hashtag #galau di dalamnya doang. Titik. Mesum? Wadefak. Berapa kali sih seorang manusia mikirin toket, kontol, penis, vagina dalam sehari? Yang nggak pernah mikirin, pastilah frigid, dead fish. Nah, karena gue memutuskan untuk ngebuka segel diri beberapa bulan lalu, keluarlah kata-kata itu dari mulut dan jempol gue. Bedanya sama orang lain, paling soal tabu-enggaknya, tengsin-enggaknya, munafik-enggaknya. Baik mana coba, ketika gue ngeliat cewe yang belahan dadanya keliatan, terus gue bilang, “mbak, itu toketnya keliatan.”dibanding diem aja ngeliatin, horni, dan ngejadiin itu sebagai bahan onani malemnya? Ha!

Dan bisa ngelakuin apapun yang gue mau—dengan pertanggungjawaban.

Emangnya orangtua gue gak tau gue minum minuman beralkohol? Sori sori jek, penis gue masih pada tempatnya dan ngapain harus bo’ong untuk soal semacam itu doang? Emangnya gue nggak ngejelasin ke orang-orang kenapa gue memilih untuk nggak beribadah sesuai kaidah agama di KTP gue? Sori men, gue bukan tipe orang yang maksain diri solat hanya demi imej belaka, daripada nambah dosa. Terlalu jujur? Naif? Biarin, yang penting gue puas bisa hidup sesuai apa yang gue mau. Toh bukan urusan gue juga orang-orang itu mau berpendapat apa. Hihi, pasti yang baca tulisan ini langsung berasa suci.

No?

Ya apalah.