Skinpress Demo Rss

PPS Kuadrat Kali Delapan

Filed Under (,, ) by Pitiful Kuro on Saturday, December 11, 2010

Posted at : 4:47 AM

Ini jam setengah lima pagi, waktu dimana seharusnya gue lagi pelukan sama pacar gue tercinta: guling. Tapi toh, gue disini, bangun dengan mata setengah belo akibat efek kafein, dan ensefalon yang sedikit meringan berkat nikotin, mencoba menulis. Minim ide, minim tulisan, minim kata yang bisa gue susun belakangan membuat gue takut setengah mati, mereka itu teman terbaik gue yang bisa gue peluk sementara bayangan gue sendiri udah kabur entah kemana, sahabat dikala sepi, orang tua yang membesarkan gue dengan pecutan-pecutan tipis tapi perih yang membantu gue menemukan apa yang gue ga bisa gue temukan sendiri.

Dan gue Nampak berkhianat, durhaka pada mereka. Gue menipu diri, menipu otak dan pola berpikir gue, yang entah sejak kapan berubah makin konkrit ga asik secara subjektif. Subjektif bukan objektif, gue bukan mereka dan mereka tentunya bukan gue. Ketika gue menulis, itu adalah biji dari buah yang akan menghasikan buah yang bakal gue makan sendiri, which is: tulisan gue adalah gue yang baca, reminder, pengingat, bahasa sompretnya diary, ini blog gue dan itu tulisan gue. Berterima kasihlah pada yang mau mampir, tapi hell-a-day kalau-kalau ada yang nggak ngerti, toh tujuan asalnya tulisan ini hanya punya 1 konsumen tetap, yeah heck, gue sendiri.

Gue PPS, bukan PMS walau gejalanya rada-rada mirip, kayak yang gue coba jelaskan di postingan sebelum. Gue membaca cerita lama, tentang orang yang merasa kuat jika dia menjadi serigala dan bukannya domba, cukup dia sendirian melawan dunia yang mandang dia pake mata perompak, sebelah mata. Disaat para domba pada ngegosipin serigala dengan sinis bin najis, dia Cuma bilang, “wat de fak lah”, yeah, walaupun serigala ga bisa ngomong, pasti itu yang bakalan dia ucapin di hatinya—kalo punya. Sendirian, bermain di hutan gelap tanpa cahaya, bertahan hidup dengan mengandalkan taring dan cakar, dikendalikan rasa lapar dan insting. Lalu pada suatu saat, Tuhan melihat serigala tersebut dan kasihan karena kesendirian serigala itu. Maka ia bertanya pada serigala, “maukah kau memiliki teman dan keluarga?” serigala yang selalu merasa kesepian mengiyakan tanpa ragu, dan pada saat itu juga, Tuhan mengubah serigala itu jadi domba agar dapat membaur dengan domba-domba lainnya, berkawan, makan rumput dan dislepet sama gembala yang menggenggam garpu dan pisau di tangan, menunggu sang domba matang dan tinggal sembeleh pas idul adha.

Dan ceritapun makin ciamik, si serigala bermuka domba hidup bahagia, nggak perlu membunuh lagi untuk makan, bisa berkawan dengan domba-domba gaul lainnya dan yang paling membuat dia kesengsem.. ketemu domba cantik menawan idaman para dombawan lainnya, menikah dan makin seneng. Tapi cerita nggak akan menarik kalau akhirnya happy ending, penulis pun mencari ide yang agak twist dan mengaplikasikannya ke cerita yang ia buat. Voila, domba kita tadi ini ternyata masih menyimpan unsur keserigalaan yang ia tidak dapat kendalikan, ia mengamuk sering kali, membuat kawan-kawan dan istrinya dombawati tercinta pun takut dan akhirnya meninggalkannya—takut kecaplok dan jadi kudapan teman menonton gladiator semut rangrang di hutan sebrang kali bareng lurah macan.

Tuhan pun menyadari kesalahan yang ia buat dan memutuskan untuk mengubah domba berjiwa serigala tadi menjadi serigala kembali seutuhnya, dan jadilah, serigala kita diubah. Domba-domba tadi, bahkan dombawati yang telah hidup bersamanya melarikan diri, meninggalkan serigala dengan taring dan cakarnya sendirian, takut, terpukul, dan bingung. Tidak tahu harus kepada siapa ia marah, ia tidak menyalahkan Tuhan, karena ia mengiyakan. Ia tidak menyalahkan para domba dan istri dombanya, karena dasarnya ia tidak sama dengan mereka. Dan dengan lesu, serigala pun kembali ke hutan lebatnya, berusaha mengasah taring dan cakarnya yang telah lama tumpul dimakan rumput dan perkawanan yang dianggapnya semu.

Dan itulah.. garis besarnya, dan seperti biasa juga, gue berjengit setelah baca, persis pangkat empat ketika gue habis membaca hikayat lama yang tata bahasanya ngebuat gue pengen meluk-nangis digabung dengan rasa ingin gampar si pengarang.