Skinpress Demo Rss

Masalah Saat Mereview

Filed Under (, ) by Pitiful Kuro on Friday, May 28, 2010

Posted at : 7:15 AM

Mengapa mereview itu sulit? Apa saja, bolehlah itu buku, film, makanan yang baru saja saya santap, ataupun sebuah tempat yang baru saja saya sambangi. Menuliskan sebuah ulasan dengan niatan mengupas tuntas itu lumayan sulit untuk saya. Mungkin bisa saja saya lakukan, tapi hasilnya tidak akan lepas dari ketidakpuasan saya akan.. yah.. hasilnya tadi.

Memikirkan hal tersebut saya mencoba untuk menelaah, apa-apa saja hambatan saya pribadi dalam mereview sesuatu, yang semoga saja bermanfaat bagi rekan-rekan tukang review sekalian diluar sana. Halah.

Masalah yang utama saya bisa katakan adalah jeda. Jeda antara kapan anda selesai melakukan sebuah kegiatan dan kapan anda akan meramunya kedalam sebuah tulisan yang bertujuan mengulas kegiatan tersebut. Semakin lama anda menuliskan ‘laporan’ tersebut, akan makin buram gambaran apa saja yang perlu anda laporkan. Tentu saja, semakin cepat anda menuliskannya, maka akan semakin baik. ‘Fresh from the oven’ semakin panas, semakin nikmat.

Kendala ini juga didukung dengan faktor-faktor seperti, yah.. malas, sebuah faktor yang tidak perlu diperpanjang lagi untuk diperjelas. Lalu juga ada faktor kelelahan fisik ataupun psikis. Jelas, membaca 600-700 halaman bukanlah perkara enteng bagi otak anda, ataupun kelelahan fisik yang mungkin saja dialami anda ketika pulang dari berpergian, yang membuat kasur serasa pulau kapuk yang nikmat untuk disetubuhi.

Masalah kedua yang saya temui ketika saya ingin mereview sesuatu adalah, keinginan untuk mencapai kesempurnaan akan review tersebut. Entah bagaimana caranya, saya ingin orang yang membaca review saya akan mempunyai gambaran jelas, sejelas mungkin sehingga dapat dijadikan pertimbangan, apakah ia akan melakukan hal yang sama seperti apa yang saya lakukan di review tersebut? Misalkan saja anda membaca review sebuah film dari Roger Ebert, dan anda langsung ingin menonton film tersebut, atau bagaimana adhityarangga (reviewer film dari indonesia) membuat anda malas menonton film yang ia bilang tidak bagus. Efek yang demikian adalah efek yang ditimbulkan ketika anda membaca sebuah review.

Sayangnya, justru keinginan akan mencapai kesempurnaan tadi menghambat saya untuk menyelesaikan sebuah review, bahkan yang telah saya tulis setengah jalan. Perasaan aneh yang menganggap bahwa review saya tidak menarik untuk dibaca membuat saya berulang-ulang membetulkan kalimat, menambahkan yang perlu, mengurangi yang tidak, dan terus-menerus saya revisi. Akhirnya, saya lelah sendiri dan draft review saya berakhir di recycle bin (saking kesalnya).

Dua masalah diatas adalah masalah utama saya, tapi bisa saya tambahkan yang berikut ini. WB atau Writer’s Block, adalah saat dimana seorang penulis tidak mempunyai ide apapun lagi untuk dituangkan kedalam sebuah tulisan. Permasalahan yang satu ini cakupannya lebih lebar, karena bisa saja terjadi pada bentuk tulisan apapun, tapi ternyata saya juga mengalaminya ketika saya menuliskan sesuatu yang bahannya sudah jelas ada seperti review.

Yah.. semoga membantu membuka pikiran.

Jam Enam Pagi

Filed Under (, ) by Pitiful Kuro on Wednesday, May 26, 2010

Posted at : 6:05 AM

Jika kamu hanya melihat daun, pohon tak akan nampak, jika kamu hanya menatap pohon, hutan tak lagi telihat.


Lihatlah kesemuanya secara keseluruhan, satu bagian dapat menipu, tapi tidak jika kamu melihatnya lengkap. Pikiran bukanlah hal yang dapat ditafsirkan hanya dalam sebaris kata, seceloteh kalimat, dan sepotong tingkah laku. Hati bukanlah hal yang bisa kamu terjemahkan dalam 365 hari, 3 tahun, atau bahkan 3 dekade, Venus yang indah di ufuk timur-pun mempunyai sisi gelap yang enggan ia tunjukkan kepada Mars, sisi yang hanya akan Mars ketahui ketika periode 58 tahun telah tiba. Kata-kata bisa palsu, tindakan dapat menipu, tidak ada hal yang dapat menjamin satu gerakanpun seorang manusia selain satu hal, percaya.

Saya tidak menyalahkan pejuang Bakufu-Kamakura, yang melakukan Harakiri ketika mendengar kabar burung bahwa pimpinan mereka di Edo telah mati—yang pada akhirnya, itu hanya sebuah taktik sederhana yang dilakukan prajurit pemerintahan untuk menjatuhkan para pemberontak. Pemerintah tidak licik, mereka memanfaatkan kenyataan bahwa para Bakufu itu adalah prajurit yang sangat loyal kepada pimpinannya, matipun akan mereka ikuti apabila memang perlu.

Keputusan adalah kepahitan yang berbunyi mutlak, sebuah akhir dari suatu perundingan. Tapi ada yang harus kita ingat, sebuah keputusan mungkin hanyalah sebuah daun, bagian kecil dari sebuah pohon, dan bagaikan debu bagian sebuah hutan. Karenanya, janganlah hanya melihat daun, lihatlah pohon, dan pandangilah hutan. Resapi kesemuanya sehingga tidak ada beban di hati, bahwa hutan yang berawal dari sebuah daun atau keputusan tadi, adalah sebuah hutan pinus indah dimana para binatang belindung.

Semoga saja bukan. Dan jika memang bukan, menghapus jawaban yang salah dan membulatkan kembali kepada jawaban yang anda yakini benar bukanlah hal yang sia-sia.

*Saya rindu duduk di belakang Gymnasium bareng kamu.

Hidup?

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on

Posted at : 5:41 AM

Apa yang kamu lihat?

Apakah sebuah tulisan? Tanda tanya?

Ataukah sebuah halaman kosong berwarna hitam-abu-abu?

Ada sejuta jawaban untuk pertanyaan “apa yang kamu lihat” diatas. Dan semua jawaban tersebut bisa saja benar, tergantung siapa yang menjawabnya. Lalu sekarang, bisakah kamu mengatakan, apakah yang ada didalam kepala saya? Dalam sebuah penilaian instan tanpa informasi yang cukup, bisakah anda sekalian menjawab pertanyaan yang saya berikan?

Saya rasa sih, tidak.

Saat ini, banyak pertanyaan berkecamuk di kepala saya, semuanya lewat deras ketika saya duduk diam di beranda seorang kawan, menghisap karbondioksid jam 5 pagi sekedar ingin menenangkan diri. Namun sebaliknya, kepala yang diniatkan istirahat ini bahkan tidak sanggup menghabiskan sebatang rokok yang amat nikmat itu, semua hanya didasari keinginan luar biasa untuk menuangkan buah pikiran yang mungkin dangkal ini kedalam bentuk tulisan yang terpetakan, sepeti saya biasa katakan.

Lalu, apakah hidup itu? Bagimanakah saya melihat hidup?

Bayangkanlah, hidup ini bagaikan terowongan air raksaksa, begitu besarnya bahkan tidak dapat diukur dengan skala yang diciptakan manusia saat ini, mT, Lightspeed, Tera dan lainnya. Terowongan tersebut diisi oleh pipa-pipa yang begitu banyaknya, dan pipa-pipa tersebut adalah kita, manusia, dan makhluk-makhluk lainnya yang turut mengemban nyawa di dunia ini. Dan air yang mengalir didalamnya adalah alur hidup kita, sebuah proses berkembangnya sebuah individu, dari tempatnya berawal sampai akhir nanti pipa tersebut berakhir.

Kesemua pipa tersebut terbuat dari berbagai macam material, ada yang terbuat dari kayu, besi, kaca, kain, dan bahkan tanah. Begitupula air yang dilewatinya, bisa saja air itu adalah air biasa, atau air asin, susu, arak, kopi, teh dan banyak lagi. Kedua hal tadi dilambangkan sebagai kepribadian seseorang dan bagaimana seseorang tadi melewati hidupnya. Apakah keruh seperti air kubangan? Gelap-pahit sepeti kopi? Ataukah menyegarkan dan ringan seperti air kelapa?

Tidak mudah bagi satu pipa menembus pipa lainnya, atau berdampingan hingga masing-masing air dari kedua pipa tersebut becampur dan menuju kepada satu tujuan. Derajat kekerasan, jenis air yang berbeda, massa jenis air yang mungkin saja berbeda, dan memang arah berlainan yang mengarahkan kedua pipa tersebut ke tempat yang bebeda.

Siapa yang tidak ingin, memiliki pipa sekuat besi, sefleksibel karet, berestetika tinggi bagai kayu mahogani, dan tentunya memiliki air jernih yang mengalir lincah tanpa hambatan ke tempatnya berlabuh nanti? Yang jelas, saya ingin.

Analogi yang tidak relevan memang, tapi inilah yang bisa saya gambarkan.

Lalu, bagaimanakah dengan pipa dan air yang saya miliki? Wah.. tidak bisa dilukiskan saking cacatnya.

Fakin Awesome Watercolour

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Tuesday, May 25, 2010

Posted at : 9:36 PM


Siapa yang gak tau?




Siapa yang gak kenal?



INI JUGA PARAH!

1. Gue penggemar karya-karya Realis begini
2. Yang dijadikan model adalah orang-orang yang gw kagumin.
3. Yang bikinnya gw kenal. *plak*

Gak perlu basa-basi lagi, dua karya di atas dibuat oleh tangan dingin Sapu (nickname), anak IH. Udah terjun bebas lama ke dunia gambar-menggambar dan nampaknya sekarang lagi mencoba untuk melebarkan sayapnya ke dunia realis gini. Aaaah... kayanya gw mimisan nih liat dua cowo ganteng diatas.

Web aslinya bisa diliat di Tumblr-nya Sapu di sini

Fuuu (II)

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Monday, May 24, 2010

Posted at : 9:48 PM


INI PARAH!

Ah.. Kekurangan blogspot ya ini, kalau mau repost ribet.. hahah.

Review Buku: Negeri 5 Menara

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Sunday, May 23, 2010

Posted at : 11:20 PM


Negeri 5 Menara

Buku ini adalah buku pertama yang gue selesaikan dalam waktu 7-8 bulan kebelakang, sungguh vakansi luarbiasa yang membuat gue sendiri takjub bukan main. Hari-hari sebelum periode 7 bulan kemarin itu padahal selalu gue isi dengan hal-hal yang berbau tulisan, baik gue mengkristalkan bahan tulisan yang ada di kepala sendiri, sampai membaca hasil kristalisasi bahan tulisan yang ada di kepala orang lain.

Kesan-kesan saat membaca buku ini? Yah, luar biasa, sensasi over the limit yang dulu gue rasakan kembali lagi gue kecap dengan badan ini, pembuktiannya, buku selevel 400 halaman bisa selesai kurang dari sehari.

Bukunya sendiri menceritakan Alif Fikri, remaja asal Maninjau, Sumatera Barat yang baru saja lulus Madrasah dan bercita-cita untuk masuk SMA bersama dengan sahabatnya, Randai. Namun keinginannya bertolak dengan putusan orang tuanya yang menginginkan ia untuk masuk kembali ke Madrasah, tujuannya mulia, agar anaknya menimba ilmu agama agar dapat turut membangun bangsa ini agar tercipta bangsa yang tidak hanya berilmu, namun juga beragama.

Alif yang begitu bertekad untuk masuk SMA dan bertolak ke perguruan tinggi nantinya kecewa. Hasil diskusi alot dengan orangtuanya menghasilkan sebuah keputusan besar dalam hidupnya, ia memutuskan untuk ‘menghukum’ orang tuanya untuk sekalian saja masuk ke sebuah Pondok (atau pesantren) di daerah Jawa Timur, Pondok Madani (yang dicatatan penulis, bernama asli Pondok Modern Gontor, pernah denger?).

Sesampainya disana, Alif dikejutkan dengan metode pembelajaran yang digunakan—ga akan gue sebutin detail, ga seru nantinya—salah satunya adalah metode komunikasi yang hanya memperbolehkan siswa-siswanya untuk menggunakan bahasa Arab dan Inggris, selain itu, pengembangan minat dan bakat siswanya juga sangat diperhatikan. Banyak kegiatan sampingan, dari yang sifatnya hiburan seperti vokal ataupun alat musik, sampai dengan olahraga, dari sepakbola sampai silat.

Alif bertemu dengan banyak teman baru di Pondok Madani, ada Baso, si pintar yang giat menghafidz Al-Quran, Raja dengan kemampuan bahasanya yang luar biasa, Dulmadjid dan Atang yang rajin, serta Said si penyuka olahraga. Mereka berenam, bersama-sama menjalani suka-duka selama mengikuti pendidikan di Pondok Madani, dari dihukum jewer kolektif oleh keamanan, berlibur sejenak tiap jumat ke Ponorogo, sampai bersaing dalam menarik perhatian lawan jenisnya yang memang jarang muncul di pondok.

“Man Jadda Wajadda”

Ini buku yang bagus, selain berisi banyak kalimat-kalimat pembangkit semangat dari para Kiai dan Ustadz, buku ini juga menceritakan bagaimana kehidupan di sebuah ‘kamp konsentrasi’ berlabelkan pondok yang sangat menarik. Selama ini kita mungkin diliputi dengan stereotipe bahwa jika seseorang belajar ke pondok, maka orang itu hanya akan belajar agama saja, mengaji, ceramah dan dikaderkan untuk menjadi seorang Ustadz. Buku ini menceritakan dari sudut pandang orang pertama, betapa salahnya pola pikir yang demikian.

Belajar bahasa asing, bahkan dua bahasa sekaligus, dan ditargetkan untuk fasih menggunakannya hanya dalam waktu yang singkat, 3 bulan. Betapa spartan metode yang diterapkan pondok yang identik dengan pengajaran agama doang. Sebuah metode yang sangat jarang ditemukan bahkan di sekolah Internasional sekalipun.

Kalau boleh jujur, membaca buku ini mengingatkan gue akan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata—siapa yang gak tau sih?—jika Laskar Pelangi menekankan 12 anak Belitong pedalaman menjalani kehidupan sehari-harinya, yang mungkin bagi kebanyakan rakyat Indonesia sulit percayai, Negeri 5 Menara menjabarkan kehidupan—yang telah gue jelaskan tadi—6 remaja dari seluruh pelosok Indonesia, belajar di sebuah pondok yang berbeda dengan pandangan orang-orang tentang bagaimanakah sebuah pondok itu?

Keduanya sama-sama memberikan kita pandangan baru, pengalaman segar yang sebelumnya tidak pernah kita rasakan atau bahkan bayangkan. Dengan dasar yang sama kuat, Negeri 5 Menara mempunyai kekurangan dibandingkan dengan Laskar Pelangi. A. Fuadi nampaknya belum semahir Andrea dalam perumusan kata. Ada beberapa kalimat yang terasa janggal untuk ada didalam sebuah paragraf yang sama, lalu menurut gue pribadi, masih terlalu banyak cerita yang dikisahkan secara bertele-tele hingga akhirnya gue anggap sebagai halaman percuma.

Awalnya, gue enggan baca buku ini, karena di sinopsisnya gue membaca kata ‘Pondok’, gue pikir buku ini adalah buku sejenis karya-karyanya Habiburahma AL-Shirazy (sori kalo salah) yang tanpa alasan jelas gue gak suka, tapi setelah gue membaca 4-5 bab awal, gue baru tau kalau ini adalah buku yang bisa membuat gue ngegenjot mata untuk tahan belasan jam buat nyelesainnya. Gak ada unsur agama yang terlalu keras kok, unsur agama yang ada di dalam Novel ini gue kategorikan ringan, fun dan bisa dinikmatin tanpa lo perlu beragama sama seperti di bukunya.

Overall, gue suka buku ini, membacanya bikin otak fresh. Buku yang berusaha mengajari tanpa berusaha untuk menggurui, yang gue harap juga merupakan satu tolakan besar buat gue pribadi untuk memulai lagi running membaca kaya dulu.

Sekali lagi.. “Man Jadda Wajadda.”

Untukku Jurusanku, dan Untukmu Jurusanmu

Filed Under (,,, ) by Pitiful Kuro on Tuesday, May 18, 2010

Posted at : 12:26 AM

Kadang gue suka panas kuping ketika ada seseorang mendiskreditkan, baik secara langsung maupun tidak jurusan-jurusan lain selain jurusan yang ia tekuni. Nggak jarang gue mendengar seseorang berkata, atau melihat tulisan yang ditulis, dengan tujuan secara nggak langsung untuk mengatakan “duh, jurusan gue kok susah amat yah, jurusan lo kok kagak?” atau mungkin dalam tahap yang lebih sakit lagi masuk ke hati “duuh, ngapain sih belajar gituan? Penting ya?” kasarnya sih begitu.

Oke, hal pertama, buat apa membandingkan jurusan yang lo punya dengan jurusan lain? Iri karena yang lain lebih lowong? Lebih “gampang”? Sekali lagi, buat apa? Jurusan beda, kebijakan juga beda, dan bodohnya lagi, dosennya juga pasti beda, dan dosen yang beda pasti akan mengarah kepada tata ajar dan kurikulum yang diterapkan pastinya juga berbeda (oke, cukup, gak dipanjangin lagi). Ketika elo udah memutuskan untuk mengambil satu jurusan, aturan nomor satunya itu: jangan ngeluh. Kalau elo udah ngeluh ngejalanin apa yang lo sendiri putusin, maka kontinuitas elo di jurusan yang lo ambil udah bisa dipertanyakan. Okeh, kita manusia dan manusia itu mortal, mortalitas manusia yang mengarah kepada saat-saat labil ini akan menimbulkan dampak capek, letih, lesu, lunglai dst dst—yang akan mengarah (lagi) ke aturan nomor dua ketika lo udah mutusin jurusan yang lo ambil: lo mau ngeluh, silahkan ngeluh ke orang yang satu jurusan sama lo, jangan ke orang yang beda jurusan. Kenapa?

Ya percuma. Lo mau jungkir balik bilang presentasi lo padet-det, praktek lo seabrek-brek, dan tugas lo segambreng-breng, dia kagak akan ngerti beban yang lo pikul. Bukannya simpati, yang ada malah dianggep angin lalu, karena tadi, dia nggak di jurusan yang sama dengan yang lo ambil.

Lo bersikeras demikian, bukan hal yang nggak mungkin ujungnya adalah debat kusir membandingkan jurusan mana yang lebih susah untuk dijalanin—apalagi dengan mentalitas bangsa Endonesa ini yang masih bangga punya sifat minus bernama primordialisme. Itu, perdebatan begitu adalah hal tergoblok yang bisa diomongin sama akademisi, manusia-manusia yang sedang dalam tahap pola pikir paling sempurna. Buat gue, itu sama aja kayak nilai D di mata kuliah yang gue sukain. Ya jelaslah beda, yang satu observasi orang, yang satu nyampurin bahan kimia-entah-apa-namanya. Sama aja kayak lo nanyain ke orang cina dan india, gantengan mana Jet Li sama Amir Khan? Subjektif kan? Nah.. makanya goblok.

Dan, kawan, gue belum kelar ngoceh nih. Jika ngeluh aja udah gue anggep haram, gimana yang mendiskreditkan jurusan? Disiplin ilmu? Rasanya gue kayak ngeliat keong racun menang balapan lari, nah loh? Percaya gak lo? Nah itu dia, gue juga gak percaya ada aja yang bisa mengatakan hal-hal begitu. Satu hal yang perlu gue tekankan dalam bahasan ini, mempertanyakan apa yang elo lakukan di jurusan lo itu beda sama mendiskreditkan, misalkan, “elo di ppkn belajar apaan aja emang?” dan “ngapain lo ngambil ppkn?” jelas kan?

Ketika sebuah disiplin ilmu nongol di Universitas, apa itu tanpa alasan? Cuma salah satu jalan bagi universitas untuk meraup dana tambahan bagi mahasiswa-mahasiswa yang cukup goblok nyasar dan bayar duit buat para penguasa bisa makan gorengan dan ngopi-ngopi asik di warkop? (kepanjangan? Bodo) Ya kagak lah, ada permintaan, maka ada juga yang harus menawarkan. Ketika ada jurusan IPS di Universitas lo, maka percayalah, ada yang meminta universitas itu untuk menggojlok manusia dan membutuhkan banyak S.Pd atau S.Sos bidang IPS dalam waktu 4-5 tahun kedepan. Belip it.

“ngapain lo masuk FSRD? Emang penting ya gambar-gambar gitu doang?”

Percaya sama gue say, kalau jurusan ini kagak ada, mungkin baju Dagadu yang lo bangga-banggain itu kagak akan pernah nongol di pasaran. Mungkin distro-distro yang kerap lo datengin dan aburin duit disana ga akan pernah ada.

“Ngapain lo masuk IKJ? Cuma maen gitar doang sih gue bisa belajar sendiri.”

Nah, kalo Universitas itu kagak ada, gue yakin film-film horror bakal punya score musik dangdut, musik yang bisa bikin lo mengkeret ga akan bisa lo dapetin cuma dengan kunci E C G D-E C G D doang kali.

“Ngapain lo masuk Psikologi? Belajar tentang manusia mah bisa dari kehidupan sehari-hari.”

DUAR.. angin bertiup kencang, langit kelabu, petir pun menyambar bertalu-talu, dan suasana tiba-tiba hening dirundung bisu. Kaya gue bilang, bangsa Endonesa itu sifat primordialismenya tinggi, dan apa yang terjadi, kawan, ketika jurusan gue sendiri dibilang kaya begitu? Okelah, ambil napas, kembang-kempiskan hidung, ambil lewat diafragma dan hembuskan lewat mulut, sabar-sabar..

Andaikan gue bisa tau apa yang menyebabkan bystander effect tanpa harus kuliah Psikologi Umum, andaikan gue bisa tau pengaplikasian Classical Conditioning tanpa baca buku Pengantar Psikologi, andaikan gue bisa tau Defends Mechanism tanpa mendengar celotehan dosen gue yang begitu bersemangat, andaikan gue bisa tau apa penyebab gue merokok begitu masif tanpa gue mendengarkan ceramah kuliah Psikologi Kepribadian, andaikan gue bisa tau apa pengaruh posisi anak lahir pertama dalam sifatnya tanpa gue mengerti teori Alfred Adler, andaikan gue bisa tau bahwa nama ilmiah gila adalah schizophrenia—serta mengetahui kalau itu dapat disembuhkan—tanpa gue ikut kuliah, andaikan gue bisa tau kenapa ada anak yang begitu membangkang sama orang tuanya tanpa gue denger apa yang dikatakan ketua jurusan gue..

Ahh…

Gue nggak akan mau masuk Psikologi deh.. Langsung aja jadi Psikolog keliling. HA!

Tele..--Apa?

Filed Under () by Pitiful Kuro on Monday, May 17, 2010

Posted at : 11:04 PM

Gue selalu percaya bahwa televisi itu membodohi, menghipnotis penggemarnya untuk memfungsikan sebagian kecil saja fungsi otaknya. Nggak tau dengan orang lain, yang jelas benda itu sangat berpengaruh terhadap gue, entah itu mentalitas, verbalitas, aktivitas, dan mungkin tas-tas yang lain. Gue mengutuk benda persegi empat itu (belakangan ditemukan yang berbentuk persegi panjang) secara serius karena dampak yang dapat ditimbulkannya kepada diri gue sendiri, dan untungnya gue bukan keledai, sehingga sah-sah saja kalo gue jatoh ke lobang yang sama lebih dari dari dua kali.

Saat menonton, gue merasa dengan jelas bahwa gue sedang dibodohi, tapi hebatnya, gue tetep aja nonton. Menikmati tawa dengan lawakan-lawakan yang dijejalkan, menunggu-nunggu apa yang terjadi selanjutkan ketika mc keparat itu memotong acara dengan iklan, dan segudang aksi-aksi hipnotis lainnya yang dapat mempertahankan gue untuk duduk terus didepannya.

Salah satu film keluaran Turki pun, menggambarkan bagaimana awal-awal kemunculan televisi ini digambarkan sebagai benda iblis. Walau dengan dugaan lain, mereka menganggap kotak itu dapat memunculkan gambar dari tempat yang jauh, sekarang sih, membawa pikiran penontonnya ke tempat yang jauh.

Gue nggak munafik kok, gue mengakui bahwa apa yang disuguhkan didalam kotak tersebut memang ada yang menarik perhatian gue—walau tidak semua. Tapi sekali lagi, gue berkeras dengan pendirian gue bahwa benda tersebut adalah benda yang seharusnya dijauhi dari gue, mempertimbangkan apa dampak yang dapat ditimbulkannya. Mungkin media hiburan lain seperti internet, baik dalam bentuk berita, atau apapun isinya masih lebih cocok buat gue pribadi, seenggaknya ketika gue mencari hiburan di net, gue bisa menyimpan hiburan tersebut kedalam otak, lain halnya dengan televisi yang gambar-gambarnya nggak pernah gue inget baik.

Nah.. sekarang tipi gue mau dikemanain nih?

Fuuu ( I )

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Sunday, May 09, 2010

Posted at : 2:32 PM



Sooo true, gue pernah kaya gini nih, hahaha..

Craving For DDDDIIIISSSS!!!!

Filed Under () by Pitiful Kuro on Saturday, May 08, 2010

Posted at : 5:56 PM


A Nightmare On Elm Street Teaser Poster

Barusan aja gue kegirangan luar biasa. Pasalnya gue menemukan bahwa salah satu film yang gue tunggu-tunggu banget udah masuk tayang di endonesa inih. A nightmare on elm street, remake dari film berjudul sama yangf dirilis pada tahun 1984. Tadinya gue udah was-was, semenjak Michael Bay si pecinta mobil-mobilan bermutasi ini mau bikin remake film cult terklasik ini, gue langsung ngecek jadwal rilisnya di IMDB, gue kecewa berat, kenapa? Masak gak tayang di Indo? Eh ternyata.. hari ini premiere, hahaha!

Film ini! Lo gak tau ini, berarti lo bukan fans dari genre absurd yang dinamakan horror-splatter. Mas Freddy dengan tangan pisaunya, mengejar-ngejar penghuni elm street saat mereka tertidur dalam mimpinya. Wuih, gak ada yang bisa menandingi adegan klasik dimana dia ngebelah tubuh korbannya dari dalem, dan gue gak mau gue gak mendapatkan itu di film remake ini. Mungkin itu juga salah satu kekhawatiran gue di tangan full action Michael Bay. Gue gak mau Freedy gue yang memiliki luka bakar tingkat empat berubah menjadi setengah cyborg yang bisa berubah jadi motor, ataupun punya senapan rifle jaman WW.

Oke-oke, memang berlebihan gue emang. Gak mungkin juga unsur-unsur yang ada di transformer dan pearl harbour masuk ke film ini, kalo sampe? Wah wah, bisa nangis jenggo kali gue. Gue pengen film ini nakut-nakutin gue, saking takutnya sampai gue pengen keluar dari bioskop sebelum waktunya, gue pengen perut gue dibuat mual dengan intestin berserakan dan darah yang ngucur kayak pancuran sampai gue kehilangan nafsu makan beberapa hari kedepan, dan gue pengen sampai gue ketakutan tidur karena takut Mas Freddy ini bakalan muncul di mimpi gue ngebawa-bawa sarung tangan pisonya, hiih..

Yang pasti, gue gak sabar menyambangi bioskop terdekat, beli tiket, dan menikmati ketakutan dari remake film yang menjadi franchise-franchise elm street selanjutnya. Berapa sih yang bisa ampe segitu banyak? Brr.. nonton sama siapa nih? Doski mana doyan nonton yang ginian :(

Tau Gak Lo?

Filed Under () by Pitiful Kuro on Friday, May 07, 2010

Posted at : 1:25 PM

Betapa gw benci yang namanya bohong dan pura-pura, apapun alasannya, dan bahkan atas nama keparat kebaikan. Gw gak bisa mentolerir segala jenis apapun maksud dan alasan apalah itu omong-kosong-blah-blah-blah peralasan yang menopengi untuk menghalalkan bohong tadi.

Perlu ya? Bersikap manis, pretend there is nothing wrong, padahal dalam hati jijik luar biasa. Gak capek? Apa susahnya bilang gak suka, lo enak, gwnya juga lega tau kalo ditolak terang-terangan. Gak perlu deh gw berharap-harap dapet ceceran pertemanan yang nyisa barang seiprit.

Sekarang apa? Gw membuka apa yang tertutup, menemukan yang sembunyi, dan gw gak habis pikir. Muak sampe tenggorokan gw penuh.

Naif? Munafik? Whatfuckever

Balada KA Parahyangan

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Monday, May 03, 2010

Posted at : 2:19 PM


"EDDUUAN! GAK BERES INI!"

Itu adalah kalimat yang dilontarkan seorang bapak-bapak berusia 50an di stasiun Gambir, pasalnya pengumuman yang dipasang disebelah loket penjualan kereta api parahyangan membuatnya geram. Kereta api yang memfasilitasi hubungan antar Jakarta-Bandung PP itu akan diberhentikan mulai tanggal 27 april kemarin, hal ini menuai berbagai macam komentar dari beberapa kalangan, yang kebanyakan tentunya berupa protes dan ketidaksetujuan. Ya iya toh, kereta yang sudah mencapai tingkat ikonik tersebut tiba-tiba saja diberhentikan, tapi bukan tanpa alasan.

Minimnya jumlah penumpang yang menjadi permasalahan, bahkan dalam hari kerja, tidak sampai setengah dari jumlah tempat duduk kereta tersebut yang terisi, ini membuat PT. KA merugi hingga 6 Triliyun pada tahun lalu. Menjamurnya travel-travel yang melayani jalur Jakarta-Bandung adalah penyebab utamanya, dengan harga yang tidak jauh berbeda dari KA Parahyangan, para penumpang cukup menempuh hampir setengah waktu tempuh jika menggunakan KA Parahyangan. Jika dengan PArahyangan jarak tempuh bisa sekitar 3-4 jam, dengan travel yang melalui Tol Cipularang cukup menempuh sekitaran 2 jam saja.

Tapi bagi segelintir orang, travel yang menjamur tersebut masih bukanlah sebuah opsi, ada sebagian masyarakat yang masih lebih memilih untuk naik Parahyangan dibandingkan dengan naik travel. Sejauh yang saya tanya, alasan mereka pun tidak pernah berbau ekonomi, kebanyakan orang yang saya temui memilih naik kereta Parahyangan karena nyaman. Tidak hanya itu, bagi yang lainnya, KA Parahyangan punya nilai historisnya tersendiri bagi mereka-mereka, entah apa itu. Pihak-pihak inilah yang menyuarakan protes-protes atas pemberhentian jalur tersebut.

Pemberhentian ini bagi saya pribadi adalah sebuah dua buah ironi tersendiri. Setahu saya, KA Parahyangan adalah ikon pergerakan KA nasional, KA dengan lokomotif terbaik yang didatangkan dari Jepang serta gerbong-gerbongnya adalah KA Parahyangan yang pertama kali mempergunakannya, namun ketika sekarang justru sang ikon diberhentikan, bukankah menjadi ironi tersendiri bagi mereka yang mempunyai kenangan-kenangan dengan kereta tersebut?

Hal kedua yang membuat saya miris adalah, ketika negara-negara maju berlomba dalam teknologi transportasi massal, Indonesia justru malah kembali ke metode angkutan pribadi. Jepang dan sebagian besar negara di eropa mengandalkan kereta, baik subway ataupun yang biasa, sebagai mode transportasi utama di negaranya, tapi masyarakat Indonesia justru lebih menyukai travel yang jelas-jelas mengonsumsi bahan bakar fosil yang lebih banyak—jika dibandingkan dengan KA dan jumlah penumpang yang dapat diangkut.

Namun ada secercah harapan bagi mereka yang masih ngotot ingin bernostalgi memandangi pegunungan kapur padalarang, atapaun perbukitan indah purwakarta. PT KA memberikan solusi yang menurut saya cukup brilian mengenai minimnya jumlah penumpang serta rencana penutupan jalur tersebut. Kabar angin yang beredar seputar penghapusan KA Parahyangan dan hanya akan digantikan oleh KA Argo Gede tidak sepenuhnya benar, ternyata PT KA justru menggabungkan kedua kereta tersebut menjadi KA Argo Parahyangan. KA ini sendiri memiliki gerbong dari kedua kereta tadi, 2 gerbong bisnis parahyangan, 2 gerbong eksekutif parahyangan, dan terakhir ada 2 gerbong eksekutif argo gede.

Kesan saya saat menggunakan KA Argo Parahyangan kemarin tidak jauh berbeda ketika saya menggunakan KA Parahyangan dulu (saya naik kelas bisnis), saya masih dapat merokok di bordes sesuka saya, membuka pintu bila memungkinkan, dan mengobrol dengan orang asing sesuai dengan hobi saya. Hanya saja, jika PT KA tidak ingin merugi lebih banyak lagi, peremajaan jalur serta revitalisasi kereta agaknya cukup diperlukan. Pasalnya jalur yang amblas semenjak insiden Sukatani, Purwakarta masih belum pulih sepenuhnya. Kereta masih harus melaju dengan amat perlahan—dengan sensasi thrilling yang cukup menegangkan ketika melewati daerah tersebut.

Ketika PT. KA sudah dapat menyelesaikan PR tersebut, bukan tidak mungkin pelanggan-pelanggan lama yang telah pindah hati ke Travel kembali lagi untuk bernostalgi dengan KA dari Bumi Parahyangan ini.