Skinpress Demo Rss

Letetan Bangsawan Kelaparan

Filed Under () by Pitiful Kuro on Monday, September 21, 2009

Posted at : 12:36 PM

Mohon maaf lahir batin.

Semua orang mengucapkan kata-kata itu seminggu belakangan. Tidak hanya yang islam, rekanan saya yang kristen, agnostik, dan bahkan ateis pun menyempatkan mengucap kalimat emas tersebut. Takbir berkumandang, gendang berkedok bedug ditabuh, dan gelegar petasan menjerit dimana-mana. Gema bahagia mengaum di dinding-dinding kota.

Muak saya muak, tentu tidak ada yang salah dalam perayaan ini, selebrasi setelah satu bulan penuh menahan nafsu kan katanya. Apa derita telah dilalui, mafhum saja kalau ingin ada kesenangan sedikit.

Tapi sayang saja, tidak semua bisa menjalani hari ini dengan tawa, dengan senyum. Ada yang dilanda kesukaran, ada yang masih menyeret kakinya penuh borok di trotoar, ada yang makan dari sampah sisa tak termakan, dan.. ada yang berduka.

Setiap orang punya pilihan, dan demi mereka, saya memilih untuk tidak bersuka cita.. Ingat, ini pilihan.

Pergi Tanpa Pamit

Filed Under () by Pitiful Kuro on Sunday, September 20, 2009

Posted at : 10:04 PM

Ini hari raya. Tapi tolong, kabarkan satu saja kabar baik untuk saya.

--

Darahku tak Pamit

Satu jiwa dari seribu.
Asal tak pelak kumpulan enggan tumbuh.
Jiwa-jiwa gelap tertanam muram.
Berlari singkat di peraduan kejam.

Akar setan, buah iblis.
Tak jauh tak beda bukan serupa.
Anak beranak hitam berbalut merah.
Menggapai bahagia tak pernah merekah.

Dua? Ah, mungkin tiga
Aku bahkan tak menaruh duga.
Satu lagi kamboja kaku.
Tak pernah kulihat, hanya kurasa pelu.

Miris.

Hidup.. Tolonglah.
Yang maha mengatur lagi maha mengarah
Jangan timpakan terus amarah, buatlah berkah.
Bagi mereka, tersenyumlah merekah.

Sekarang, biar aku yang membawa bagian jiwamu..

--

18-09-2009
Untuk darahku yang lain, yang bahkan tak tahu namamu. Semoga diterima disisinya, semoga..

Amin.

Un-nomaly League

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Saturday, September 05, 2009

Posted at : 11:36 PM

Gue bersyukur sekarang bulan puasa, karena waktu ngerokok gue dibatasi.

Yah, gue ngga bego kok, ngga bego-bego amat untuk tau seseorang udah memandang gue dengan sebelah mata. Terlihat jelas. Terpampang besar-besar di jidat siapa-siapa saja yang demikian. Cukup beberapa interaksi untuk pemastian, dan hasil visum sudah keluar, voila, bye then.

Mudah saja sih, kalau orang udah kehilangan minat sama gue dan bahkan memandang gue dengan pandangan merendahkan, halal buat gue untuk berlaku sebaliknya. Sori, bukannya tanpa usaha untuk membuat keadaan kembali normal dan meminta penjelasan. Secara kronologis, usaha gue untuk dekat dengan seseorang itu adalah di awal perkenalan. Setelah kenal, akan berbuah dua jalan, biasa-biasa saja karena memang ngga terlalu menarik dan worth untuk dikenal, atau, gue kejar mati-matian karena memang orang-orang menarik ini memang irresistible.

Nah, apabila terjadi permasalahan, pasti dan akan selalu gue usahakan untuk memastikan, apakah orang tersebut benar-benar sudah memandang dengan pandangan mata yang merendahkan gue, atau engga. Apabila engga, maka coret azas praduga tadi, apabila iya, terbagi kedalam dua opsi. Apa mereka yang bermasalah sama gue ini termasuk dari orang-orang yang gue akui?

Kalau iya, dan setelah usaha gue, orang ini tetap memandang gue demikian, maka dia sama sekali ngga worth dong untuk diperlakukan manis? Najis amat, mending gue nistakan senista-nistanya. Pengakuan gue akan orang tersebut gue cabut, ngga akan sampai menunjukkan sikap permusuhan tentunya, tapi yah, omongannya ngga akan pernah gue denger lagi. Berkoar-koar lah sesukanya, omongannya akan gue anggap sampah.

Kalau ngga? Hahah! Najis.

Bodohnya, sudah tau dari dulu kalau gue adalah orang yang susah membaur, tapi malah ditambah dengan segala sepesifikasi yang gue berikan untuk menyaring siapa-siapa aja orang yang worth untuk masuk ke lingkaran aman yang gue bentuk. Iyalah, saringan yang baik akan menghasilkan minuman bagus tanpa ampas. Sayangnya lubang saringan itu kadang gue buka terlalu lebar dan memberikan jalan bagi mereka-mereka yang memang ngga berada di liga gue untuk masuk. Hasilnya? Mereka akan kaget tau seperti apa isinya. Hahah.

Gue sadar sepenuhnya, liga dimana gue berada itu ditempati sama orang-orang yang ngga biasa. Tentu gue masuk diantaranya, i’m not ordinary people, nor standard, nor normal people. Masuk diantara mereka yang paling marginal diantara yang marginal, yang paling aneh diantara yang teraneh, yang memuja hal-hal yang dianggap orang normal tidak normal, sakit, atau apalah sebut saja.

Terlalu liberal, antek komunis, penganut agnostik, seorang dualis agama, korban asosial, merajuk pada pagan, gila materialis, atheis tidak beradab, hpemuja kenikmatan dunia dan lain-lain, gue hidup nyaman diantara mereka, dan tidak dipungkiri, mereka adalah sedikit dari orang-orang menarik yang pernah gue temui tanpa kehilangan cahayanya sedetikpun dari mata gue. Menarik luar dalam. Orang-orang yang pemikirannya selalu ingin gue bantah, tanpa satu kalipun gue ingin mengeluarkan sikap pragmaris gue. “Lo mikir gitu, terserah, gue punya pandangan gue sendiri.” Ngga, gue ngga bisa mengatakan demikian pada mereka, saking menariknya, gue sampai membantah apa yang mereka katakan dan mencoba tahu lebih dalam seperti apa mereka. Itu tanda kalau gue tertarik.

Dan sekarang? Mereka yang jumlahnya sedikit itu harus berkurang lagi? Man.. beberapa kehilangan cahayanya, dan kalau sudah hilang, mau bicara apa lagi? Tertarik pun gue ngga, yang ada malah gue rendahin balik. Geez.. tunjukkan cahaya kalian lagi, dan buat gue melenggangkan ekor gue bak melihat tulang putih bersih! Geez..

Keinginan itu Bukan Utopia

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Friday, September 04, 2009

Posted at : 12:55 AM

“if there is no blood spoils, there is no glory at all”

Berkali-kali gue ditanya soal cita-cita, dengan jumlah yang entah sudah berapa ribu kali dalam rentang waktu semenjak gue bisa mengingat. Mulai dari saat taman kanak-kanak yang khas dengan jawaban abstraknya, sampai ke masa kuliah sekarang yang sudah melogiskan pikiran untuk memberi jawaban memuaskan bagi si penanya. Mungkin ada orang yang sudah mamatenkan cita-citanya semenjak kecil, dokter ya dokter tok, tidak berubah sampai akhirnya dia benar-benar menjadi dokter, beri aplause buat mereka-mereka yang demikian. Tapi tentunya sebagian besar orang akan terbelokkan cita dan keinginan mereka karena waktu dan tentunya keadaan, ya iya, ngga mungkin kan dunia ini hanya diisi sama presiden, dokter, pilot dan insinyur aja? Nanti gue laper ngga ada yang jualan warteg dong? Haaha..

Nah, sekarang untuk soal mereka-mereka yang cita dan keinginannya dianggap terlalu muluk untuk masyarakat umum. Taruhlah pengalaman lama gue dulu. Saat gue mau pergi ke bogor naik sepeda, orang serumah malah ketawa pas gue berangkat. Apakah mereka menilai keinginan gue terlalu tinggi? Ah-so, bener sih, karena saat itu lagi kemarau, dan gue berangkat siang-siang, ngga sampai sepertiga jalan gue udah nyerah dan balik lagi naek kereta, wahaha. Pulangpun gue ditertawakan, mereka seolah mendapat legitimasi tertulis bahwa keinginan gue—sepedaan sampe bogor—itu adalah muluk. Tapi emang kepala batu ya batu aja, ngga sampai seminggu gue berangkat lagi, kali ini malam jam 12 pas, gue berangkat diem-diem kaya maling, and voila, gue sampe disana dengan selamat. Pulangnya, orang rumah pada pucet tau gue abis dari bogor, huahaha..

Keinginan macam apa sih yang terlalu muluk? Jadi CEO perusahaan multinasional? Mengoleksi perangko-perangko lama? Atau apa? Kemarin Ussi bilang dia dilecehkan *halah mak* sama kawan kampusnya, bahwa idenya untuk mendaki bromo tidak menggunakan jalur pendaki itu muluk. Loh kenapa? Bukannya justru asik menantang diri dengan sesuatu yang lebih asing? Kalau lewat kalur konvensional pasti akan sering ketemu pendaki lain, jalurnya juga itu-itu aja, bosen. Yah, tidak bisa dipungkiri sih, kemungkinan bahayanya juga pasti berlipat, tapi eu, bukannya rekreasi makin asik kalau bukan hanya sekedar rekreasi ya? Taruh nyawa dekat garis mati, maka semuanya akan terasa lebih asik.

“One freedom means thousand fall”

Tapi dia (Ussi), memang liar bukan kepalang ampun. Coba pikir, dia berencana untuk ke papua sendirian, alamak, bisa bayangkan badannya yang kontet dan bantet itu guling-gulingan dikejar suku pedalaman disana? Huahaha.. atau justru karena posturmu itu lo jadi percaya diri us karena yakin bakal diterima mereka sebagai keluarga barunya? *ampun*. Ehem.. sejujurnya gue sama sekali ngga menganggap idenya itu muluk, jauh dari kata itu malah, mungkin bisa gue bilang terlalu keren? Yeah, disamping gender dan umur yang harusnya masih doyan ngerumpi.

Atau karena yang memandang keingan tersebut ini gue? Karena gue punya keinginan yang sama muluknya? Entah ya. Tika bener, bisa naek sepeda aja gue udah sampe bogor, naek motor gue mungkin mau keliling Indonesia, pengen sih, banget, haha. Yap, target gue berikutnya tuh, begitu ada motor *ngarep* gue mau ke aceh, atau opsi lainnya, ke surabaya, tepos tepos dah.

Dan untuk soal bromo us. Gue sama sekali ngga bilang muluk, tapi andaikan gue bergerak dalam kelompok, tentunya ada hal lain yang harus diitung ulang. Apa semuanya sanggup? Mengingat tingkat kesulitan dan bahaya yang harus ditempuh itu tentunya lebih daripada jalur biasa. Kalau orang-orangnya yang setipe sama gue atau elo, yang ‘pergi dulu, bisa enggaknya nanti’ ya jalan aja, kalo kagak kuat pun pasti kita akan maksa sampe atas yak?

Blog lo diapdet kek

From The Sorrow

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Tuesday, September 01, 2009

Posted at : 12:09 AM

Untuk si fanatik Dan Brown berkemeja flanel.

Awal pertama kali bertemu, gue langsung berpikiran, apa lagi yang bisa gue harapkan dari seorang perempuan? Lo datang naik motor, turun, membuka helm dan membiarkan rambut panjang lo berantakan, lo berjalan ke arah kami yang lebih dulu ada disana dengan gaya yang terlalu macho untuk ukuran tampang demikian, plus, gue ngga akan pernah lupa momen saat lo mengeluarkan Malaikat dan Iblis dari tas kecil lo itu. Lo sapa semua yang ada disitu, tidak terkecuali gue. Hahah.. itu cukup ngagetin gue, kaya gue bilang sebelumnya, ‘kok lo nyapa gue sih?’, ups, sori, jangan jitak gue lagi, inferioritas gue ngga main-main, ketakutan akan relasi gue bukan cuma gelar, like i told you before.

Lo yang atraktif tiba-tiba berubah awkward saat gue tanya-tanya tentang Malaikat dan Iblis, yang lain tiba-tiba lo kacangin *ge er* dan lo mulai bertanya banyak hal ke gue, tentang Dan Brown, tentu. Masih inget gak berapa kali gue nyoba kabur dari elo saat itu? Hahah, minder.

We have a many thing in common. Lo suka Dan Brown, gue juga, lo demen game, gue juga (tadinya), hadah, inget pas gue bantuin lo namatin Metal Gear 2 dan 3? Katanya lo ngga mau dibantuin untuk dimainin, minta gue ngasih clue doang, tapi lo malah frustasi waktu ngejinakin Bom di MGS 2, dan waktu lawan The End di MGS 3. Payah ah, haha. Pemikiran lo dan gue pun setipe, “cintai negara ini, tapi bencilah sistem yang ada”. Keren ah. Porsi skeptis, porsi sinis, dan tamparan yang lo berikan kepada orang lain untuk menyadarkan mereka sama persis dengan yang gue lakukan. Selalu bersikap netral dan tidak memihak, bahkan kepada orang terdekat sendiri, dan bahkan sama gue, jiah.. sadis.

Satu lagi kesamaan yang justru membuat lo sama gue sejenis, keluarga. Bukan hal baik, tapi sayangnya kita sama-sama berasal dari keluarga yang tidak utuh. Pada titik tertentu, kesamaan ini bisa membuat kita makin satu pikiran, tapi pada titik lain, justru menghancurkan, lo tau sendiri.

Lo dan gue dekat, pada titik itu, lo adalah orang terdekat gue, bahkan lebih daripada tika dan luthfi yang gue ceritain itu. Lo bercerita, gue bercerita, lo mendengarkan, gue pun mendengarkan. Plus minus, jauh dekat, berseberangan saling dekat, lo dan gue berbagi, mungkin malah terlalu banyak. Apa yang gue simpan gue keluarkan, dan apa yang lo kunci rapat-rapat pun lo buka. Pada titik itu, mungkin gue merasa udah menemukan kepingan baru dalam hidup gue.

Tapi kemudian waktu dan jarak berlaku kejam. Kuliah dimulai, gue di Bandung dan elo.. dimana? Menghilang ngga ada jejaknya. Nope, gue ngga nyalahin kok, bener, siklus dalam relasi itu biasa kan? kaya yang lo bilang, sekarang ada, besok belum tentu ada, sekarang dekat, besok mungkin jauh, atau bahkan musuh. Setelah beberapa lama, gue denger kabar katanya lo udah punya pacar. Whoa, sebagai seseorang yang cukup mengenal elo dulu, gue turut seneng, sungguh, ngga ada kata dendam ataupun kecewa satu kalipun terlontar dari mulut gue ataupun pijitan jempol gue, ngga semua yang lo denger itu bener, met. Serius. See? Kalau secara lisan gue ngga bisa membuktikannya, secara tulisan semoga lebih bermakna, pada titik ini, ngga ada satu jengkal benci pun ke elo. At all.

Lo putus dan ujug-ujug ngehubungin gue. Sekali lagi, gue sama sekali ngga marah. Tapi ada banyak pertimbangan kenapa permintaan lo ngga bisa gue kabulin. Udah semuanya gue bilang kan? kita sama-sama berasal dari keluarga yang berantakan, itu bukan awal yang bagus. Nope, bukan berarti seseorang yang asalnya dari keluarga demikian tidak berhak untuk sebuah kebahagiaan, rangakaian kata itu ditujukan buat gue, bukan lo. Terlalu banyak kemiripan sampai terasa mengerikan, lo terlalu mudah menenangkan gue dan gue pun terlalu gampang membuat lo senyum. Sadarkah? Kita menempati lubang yang sama, dan jika begitu, kita nggak akan bisa saling mengisi kan?

Dan yang terpenting, gue mempunyai seorang perempuan yang gue kagumi saat ini dan sebuah hubungan yang semakin harinya membawa sebuah hal baru buat gue. Baik positif, negatif, baik buruk, senang susah, semuanya gue usahakan nikmati dengan setiap pori-pori kulit gue. Dan gue harap lo bisa menemukan orang seperti gue menemukan dia. Yang mengisi tiap ruang di dalam diri lo dengan hal-hal baru, bukan hal yang bisa lo tebak bahkan sebelum gue katakan. Bukan, nggak berarti juga lo bisa nungguin gue sampe lumutan, sama sekali ngga.

Andaikan gue sendiri sekarang pun, permintaan lo ngga mungkin gue penuhi. Kita terlalu saling kenal, seolah lahir dari rahim yang sama. Nggak, bahkan mungkin diatas hubungan kakak-adik andaikan ada. Ya, gue mencintai elo, bukan sebagai laki-laki pada perempuan, tapi sebagai manusia ke manusia lainnya. Sahabat? Hahah, lucunya, kita sama-sama meng-utopiakan kata itu ya? Heheh..

Langkah lo ngga boleh berhenti hanya karena hal semacam ini, umur lo 18, waktu masih panjang dan masa depan masih nampak seperti cakrawala, manfaatkan sebaik mungkin. Nope, gue ngga minta a big leap for a mankind, just a little step for a man at the very first. Gue tau lo bisa met. Yakin, karena gue mengenal elo sebaik gue mengenal diri gue sendiri.

Semoga lo ngerti :) Just walk in the park, yap?

PS: kapan-kapan kita ngobrolin Dan Brown lagi ya