Skinpress Demo Rss

Paham, Tapi Lupa.

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Monday, June 22, 2009

Posted at : 11:41 PM

This day is not a bad day, but neither a good day. Ngga ada yang berbeda dari hari sebelumnya kok, mengurung diri di kamar, kadang tiduran, kadang baca buku, kadang browsing, yeap. Nyaris pengangguran, UAS harusnya udah dimulai sekarang, namun belum ada kabar pasti yang bisa dipertanggungjawabkan kepastiannya soal jadwal, ha. Ngga ada pilihan lain kan selain duduk diam manis bak putri raja zaman medieval?

Entah berapa gelas teh yang gue minum hari ini, mungkin lima? Atau tujuh? Gue lupa, tangan gue bergerak tanpa sadar menuangkan air kedalam pemanas bolak-balik setiap kali gue ngerasa lemes. Yeaa, namanya juga pasca tipes, stamina disedot di usus sih. Yang pasti, udah ada orang yang berdecak kagum dengan konsumsi gula gue, ganti dengan gula jagung, katanya—atau gue akan sibuk ngabisin duit gue sendiri untuk beli insulin beberapa tahun lagi. Say, siapa yang tau? Mungkin gue udah pesta pora sama cacing tanah sebelum gue divonis diabetes kan? Tentunya, saran lo selalu gue denger kok, ngecek harga pasar dulu tapi, ihi.

Lihat kan? Ini gue nyeduh air lagi.

“Are you mad? Take a walk, dear. You’ll feel better.“

And i am. Bukan, gue ngga marah. Hanya sedikit gangguan pikiran yang negatif. Seseorang pernah memberitahu gue begitu, disaat pikiran kita ngga enak, berjalanlah, dan saat berikutnya kita akan merasa lebih baik. Don’t think about direction, just take a step forward, and said: “just walk in the park.”. Filosofisnya, dia berpendapat begini, biasanya setiap ada orang lagi jatuh, orang lain akan menyemangatinya dengan kata-kata demikian, ‘terus melangkah kedepan’. Dia memanifestasikan kata-kata itu secara literal, tanpa ada makna dibaliknya dan lakukanlah seperti yang kata-kata itu bilang: berjalan. Hehe, dia lucu, dan dia mengatakan bahwa hal itu benar-benar membantunya merasa lebih baik.

Ya, gue juga melakukannya sering kali. Disaat pikiran sedang suntuk, terlalu negatif untuk gue pikul sendiri tanpa ada orang lain yang bisa gue bagi, gue akan berjalan, tanpa arah, hanya berjalan (dengan tambahan embel-embel nikotin di tangan biasanya, ehe). Sangat berlaku dalam keadaan gue yang sekarang, mengurung diri di kamar, yap, untuk mempertahankan kewarasan disaat pikiran-pikiran negatif muncul, gue berjalan. Tanpa interaksi, tanpa sosialisasi, dengan mental yang sama sekali ngga siap, itu patologis, lihat matahari sekilas, ada dunia lain selain di ruangan kecil ini, maka kamu akan merasa lebih baik.

Yap, lo bener, gue merasa lebih baik. Mungkin apa yang gue pikir ngga akan berubah, hanya tenggelam sesaat kedalam kesadaran yang lebih bawah lagi. Tapi seenggaknya, gue akan punya waktu lebih untuk mengembalikan kondisi mental gue supaya lebih baik, lebih siap untuk menghadapi pikiran itu di lain waktu. Itu kan maksud lo? Yah, makanya gue cinta sama elo say.

Hmm? Hari ini cukup panas, bzt, wrong, panas banget malah. Gue rindu masa-masa awal kuliah, masa-masa awal gue mulai ngekos. Koreksi kalau salah, tapi waktu itu udara lagi dingin-dinginnya kan? Gila, gue ngga bisa ngelupain malem pertama gue. Malem pertama tidur di kosan maksudnya. Tidur di karpet supertipis, tanpa selimut, tanpa bantal—hanya pake sajadah yang dilipat supaya tebel, dan bam! Nyaris ngga bisa tidur karena kedinginan, beneran menggigil abis-abisan. Paginya, saat pertama kali mandi di kosan, JAH. Aer es.. sorenya gue langsung sakit. Belum ada galon air waktu itu, gue mengandalkan pemanas air yang gue beli untuk ngebuat air minum, hihi, penderitaan luar dalam pokoknya. Gue hidup dengan garis kesengsaraan begitu lebih dari sebulan sebelum akhirnya bala bantuan dateng—kasur, bantal, galon, etc. Sekarang gue malah bosen dengan fasilitas yang lebih dari cukup ini. Bukannya ngga bersyukur, kecenderungan untuk hidup susah? Bisa jadi.

Rindu masa lalu, sering terjadi, apalagi disaat kita nganggur, sedang stagnan. Bersyukurlah gue punya blog, dan seperti apa yang gue bilang, fungsi blog buat gue adalah sebagai memori, pensieve untuk menampung kejadian-kejadian yang kesemuanya ngga bisa gue masukan kedalam ingatan. Gue senyam-senyum bacanya, dulu juga pernah gue tulis, gue baru mempunyai (semacam) diari dari 5 tahun lalu aja udah suka ketawa baca tulisan sendiri, apalagi orang-orang yang punya diari dari SD? Dislokasi syaraf mungkin. Gue mulai nulis personal journal (semacam) diari dari 2005, atau tepatnya sekitar 3 SMP—dari masih berbentuk buku (yang naudzubillah jelek tulisannya), sampai berbentuk digital macem blog ini. Sayangnya yang berbentuk buku itu ILANG! Shit abis, saat pindahan dari rumah kontrakan ke rumah keluarga mungkin kebuang, entahlah, itu sangat gue sesalkan. Sisanya cuma beberapa lembar baru yang gue tulis di kertas binder, cuma 2 lembar. Huek. Nestapa.

“You may say take a step forward, dear. But, i’m sure that you don’t mind if i take a look to the past for a second.”

“Go on.”


Gue membaca entri-entri lama, dan bener, gue senyum sendiri. Mengenang apa yang memori tidak bisa kenang, itulah gunanya blog untuk gue pribadi. Walaupun kadang gue salah artikan sebagai media katarsis, yang mana itu cukup bodoh, mengingat blog itu bukan hanya gue pribadi yang baca, tapi orang lain juga. Sesuatu yang privasi memang sebaiknya tidak diumbar ke umum, tapi seringkali gue kebablasan, hidup tanpa katarsis itu setengah gila, dan hasilnya? Lihat aja sendiri. Banyak entri lama gue yang begitu parah menelanjangi diri sendiri habis-habisan, rasanya pengen diapus, tapi gue urungkan. Bagaimanapun, itu tetep gue. Tulisan gue.

Banyak hal yang mengganggu pikiran gue saat ini—kebanyakan asalnya dari orang lain, mana lagi? Heh. Tau sendiri, rasanya ingin mengkonversi fakta kedalam fiksi andaikata faktanya tidak seindah bayangan. Tentu, hidup tidak melulu diatas, roda pedati katanya, dan mungkin sekarang gue sedang berada di bawah. And there i found it. The answer of my ‘fact-oh-please-bacame-a-fict-i-beg-you’ thingy. Di salah satu entri terdahulu ternyata jawabannya, gue tulis dengan kedua tangan gue sendiri. Jawaban apa yang gue cari sekarang ada di masa lalu, gue pernah menuliskannya secara gamblang terang-terangan, gue mengakuinya, valid, nyata, sadar. Lihat? Betapa pensieve semacam blog begitu membantu seseorang dengan pikun akut macem gue dalam mengingat? Atau sebaliknya? Justru gue yang terlalu banyak mengeluarkan aturan? Terlalu perfeksionis sampai-sampai lupa dengan apa yang ia camkan pada dirinya sendiri saking banyaknya? Kompulsif katakanlah demikian.

Di salah satu entri pada bulan febuari 2009. disini.

Itu menjelaskan semuanya. Kenapa pada saat itu gue bisa menuliskannya tanpa beban? Samar gue ingat, gue menuliskan itu dengan enteng, asik, tanpa ada rasa sesal sama sekali. Dugaan gue. Gue belum tenggelam terlalu jauh kedalam kebutuhan adiktif yang gue sebut sebagai relasi disini. Pada saat itu, gue udah cukup sempurna sebagai makhluk yang individualis, tidak berarti gue ngga butuh orang lain, butuh, namun hanya pada taraf yang ringan. Terhitung sekitar lima bulan gue menyesuaikan diri sebagai seorang individualis, dalam Jurnal Volker Grassmuck tentang kaum asosial, gue memenuhi kriterianya. Dan jangan salah, pada awal penyesuaian diri itu (sekitar september – oktober 2008), yang merupakan masa individual dimulai, gue merasakan kekosongan yang luar biasa. Grassmuck mengatakan dalam Jurnalnya, bahwa sebelum seseorang memasuki tahap asosial, tahap dimana individu sudah tidak terlalu mementingkan individu lainnya dalam menjalani hidup, mereka akan merasa sangat membutuhkan orang lain dalam taraf tidak wajar.

Jadi, kenapa sekarang sebuah hal yang sudah gue tau sebelumnya, sudah gue manualkan dengan sempurna sebelumnya, dan bahkan udah gue buat post khusus tentang hal itu bisa mengganggu gue? Hanya karena disampaikan orang lain? Atau gue udah terlalu sosial sampai-sampai ngga ada satu pun perkataan orang lain yang ngga gue peduliin? Siapa tahu.

Yang pasti, semua hal ngga akan ada artinya tanpa ada hal konkrit yang bisa dipertanggungjawabkan, tanpa bukti autentik, itu semua hanya omong kosong.

Iya, gue skeptis.

Prinsip dan Kebebasan (gabung ajalah).

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Wednesday, June 17, 2009

Posted at : 7:07 PM

Gue punya prinsip, dan gue kira kebanyakan orang yang masih bernyawa juga punya sesuatu yang dijadikan pegangan untuk berpijak yang biasa dinamakan prinsip. Bon, yang namanya prinsip itu sifatnya tersembunyi, hanya diketahui sama sang pemilik dan orang-orang yang pernah mendengar langsung konsep prinsip yang dijabarkan oleh si pemilik prinsip. Jadi, andaikan kita ngga mendengar langsung dari orangnya, menurut gue sih, kita ngga akan tau prinsip apa yang dipakai sama orang tersebut.

Prinsip, ideologi, cara berpikir or something hell similiar with it, sebut sajalah sesuka anda, bagi gue masih satu bunyi. Dari sekian banyak prinsip yang gue tanya atau gue denger dari orangnya langsung, tentulah beraneka ragam, karena jelas keluar dari kepala dan mental yang berbeda, lingkungan yang macem-macem pun juga turut ambil bagian dalam pembentukan prinsip ini. Ada beberapa prinsip yang menurut gue sangat menarik dari beberapa orang. Tentu, gue ngga paham secara total prinsip yang mereka jabarkan ke gue secara singkat, mereka sendiri yang paham, dengan tingkat daya tangkep gue yang lebih rendah dari kecebong (sodara guee?), apa sih yang bisa gue tangkep?

“Mata bayar mata, darah bales darah, mereka bilang anjing, maka gue juga bilang anjing!” –agak dilebay-in,-red.

Simpel, gue ngga bilang ini prinsip dari seorang pendendam yang ga bisa tidur sebelum membalas perlakuan orang lain ke dia. Nope. Ini prinsip paling fair yang pernah gue denger dari seseorang. Happy go round, tapi begitu ada hal yang bikin kita ngga enak karena perbuatan orang lain, jangan harap itu orang bisa tidur nyenyak sebelum kita bisa bales perbuatannya. Yeah, gue suka prinsip ini, dasarnya gue pendendam sih, Freud gue ludahin mentah-mentah, gue hidup bukan untuk mereduksi ketegangan, all hail Adler, gue hidup untuk mencari ketegangan setinggi-tingginnya, sayang. Yang merasa punya prinsip ini, gue sama sekali ngga menganggap prinsip ini remeh, gue suka, banget.

“Kenapa? Ada masalah? Lo mau akrobat didepan gue juga gue ngga akan peduli, you have your own way, and i have mine.”

Gue juga ngga bisa menilai kalau prinsip ini adalah prinsip yang keluar dari lidah seorang toleran tingkat akut. Gue mengenalnya sebagai pribadi yang asoy enjoy your life with geboy style *halah*. Gampang aja, semua hal jangan dibawa susah, semua ada jalannya, men. Untuk hubungan dengan orang lain, pandangan orang yang melihat prinsip ini hanya berbuah dua jalan, melihat si pemilik prinsip adalah seorang ignorance kelewat masa bodo dengan lingkungan—terutama sama hal yang dia ngga suka, atau, melihat dia sebagai pribadi yang sangat toleran dan memberikan kebebasan pada orang lain untuk berbuat seenak jidatnya (bukan del, gue ngga ngejek elo). Gue ngga tau yang mana, seperti yang gue bilang tadi, gue hanya seseorang dengan daya serap setara simpanse, jangan berharap gue bisa menjabarkan prinsip rumit yang hanya bisa dipahami empunya deh.

Gue agak susah menerima prinsip yang ini, relatif sih, kalau orang-orang yang gue akui (dalam tanda kutip) melakukan hal yang ngga berkenan di kepala, gue pasti akan kepikiran. Tapi gue setuju andaikan prinsip ini gue pake untuk menanggapi orang-orang yang statusnya hanya lewat doang di hidup gue, silakan, anda mau jumpalitan juga gue ngga akan peduli. Matipun gue mungkin hanya akan bilang “oh”, disusul dengan penghormatan dengan gaya gue sendiri, and done, nothing personal tho. Kejam ya?

“Mudah aja kok, apa yang orang lain lakukan ke gue, gue akan melakukan hal yang sama ke dia.”

Sekali lagi, dalam sudut pandang gue yang terbatas, orang ini menekankan hubungan berintinkan fungsi. Apa sih namanya? Law of attraction kalo ngga salah, orang yang menginginkan hubungan dua arah dengan lawan mainnya. Ngga akan pernah mau maju duluan untuk memulai sebuah hubungan, kecuali mungkin orang tertentu punya daya tarik yang membuat dia sangat ingin membangun hubungan. Akan baik ke orang kalau orang itu baik ke dia, tapi bakalan masa bodo dengan orang yang ngga ada feel dengan si pemilik prinsip. “It’s alright if you want to know me, but it’s ok if you wanna leave, like i care”. Gampangnya begitu, mungkin. Pragmatis, andaikan ngga ada untungnya berhubungan dengan seseorang, mungkin dia ngga akan minat bahkan untuk mengobrol basa-basi. Tipe sadis.

Menarik?

Itu tiga dari sekian banyak yang seenggaknya dapat gue pahami sedikit. Yang lainnya gue ngga berani jabarkan karena minimnya informasi—dan sekali lagi (boleh kan?), daya tangkep gue ter-ba-tas. Untuk prinsip gue? Hadah, kaya yang gue bilang di awal post ini, sebuah prinsip paling dimengerti sama yang punya. Dan apa jadinya kalau gue jabarkan sendiri prinsip gue? Oh no, ngga akan selesai walaupun tangan gue udah kram ngetik, sebaiknya jangan, kan? Lagipula menjabarkan prinsip sendiri panjang lebar apa menariknya buat orang lain? Yang ada malah jadi males baca.

**

Kita tinggal di negara demokrasi, rite? (atau ‘katanya’ demokrasi, manapun lah). Jadi pastilah ada satu ganjalan di kepala andaikan satu kata yang kita sebut dengan kebebasan ini agak dihalangi. Tidak secara langsung, mungkin? Menghalangi dengan memberikan teror-teror implisit juga cukup mengganggu kok.

Awalnya gue ngga terlalu perhatian dengan apa yang Ussi tulis di blognya mengenai satu hal. Blognya yang sekarang (nyaris) dibaca orang-orang satu fakultas (whoa, tenar amat). Apa rasanya saat apa yang lo tulis dibaca banyak orang dengan berbagai pikiran, berbagai sudut pandang? Gue pribadi ngeri. Ussi sendiri merasa kebebasannya dalam menulisnya diambil, temen-temennya bahkan melarang dia untuk tidak membahas hal-hal tertentu yang sensitif—menurut mereka. Secara umum malah, tulisannya pernah mengundang konflik dengan panitia Ospeknya, huah.

Ussi sendiri mah adalah orang dengan tingkat cuek yang melebihi Panda, selama jarinya bergerak, itulah yang akan dia posting, ngga kebayang orang dengan tipe macam itu dilarang-larang. Gue bilang tadi, awalnya masa bodo, tapi kalau itu juga gue alami gimana?

Kebebasan menulis gue diambil, gue yang biasa menulis dengan bahasa yang berlebihan, sensitif, drama king, menelanjangi diri habis-habisan diatas media bernamakan blog ini gimana? (liat satu kalimat dibelakang, drama king ngga?). Memang secara ngga langsung, tapi mengerikan, sangat, saat apa yang lo tulis dengan tingkat privasi diatas rata-rata dibaca oleh orang-orang yang kita temui di aktivitas keseharian kita, itu nyaris mimpi buruk. Gue ngga mengatakan bahwa kebebasan gue diambil secara terang-terangan, ada yang melarang gue menulis? Ngga. Tapi satu hal, gue hanya ngeri. Mungkin seperti yang Sigi bilang, “lo kenal gue lewat Blog, Raine Beau, gue ngga ngebayangin apa jadinya saat lo bertemu langsung dengan gue sebagai Tiyana Sigi.” (kurang lebih,-red).

Apa jadinya kalau orang-orang tau gue dari dua sisi? Gue sebagai apa yang gue sebut disini ‘Pitiful Weakling’, dikenal lewat blog, lewat NW. Dan orang-orang juga mengenal gue sebagai ‘Cubung Hanito’ sebagai apa gue sebenernya di dunia nyata. Gue ngga bisa paham dengan perkataan dia waktu itu, tanggapan gue hanya “lalu kenapa?”. Dan sekarang, gue merasakan ngerinya.

Alternatif A, gue mereduksi isi postingan sebatas garis aman yang gue tentukan. Tidak ada konflik, tidak ada pertanggungjawaban akan apa yang gue tulis, tidak perlu merasa ngeri dengan tulisan sendiri (itu konyol). Imbasnya? Ada yang tertahan di kepala, dan itu ngga baik buat orang macem gue.

Alternatif B, mencari tempat lain untuk menuangkan hal-hal yang bersifat sensitif, tempat gue secara halal mendramatisasi permasalahan dengan bahasa yang dilebih-lebihkan, oh ya, gue penjahat bahasa emang. Mungkin blog baru, mungkin tulisan yang bersifat offline yang gue simpen di harddisk gue semata, mungkin tulisan tangan yang gue simpan dibawah bantal (hil yang mustahal! Tulisan gue jelekk!).

Gue pilih B. So?

Bye drama king.

Konyol to The Core

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Sunday, June 14, 2009

Posted at : 12:28 AM

Katanya, gue kena karma.

Mungkin. Pada dasarnya gue ngga pernah meletakkan kepercayaan kepada hal yang di blacklist oleh anak rohis pada masa SMA gue, TBC katanya. Bukan karena rohis juga sih, gue terlalu rasional untuk percaya sama hal yang sejenis dengan takhayul itu. Ada mobil dijalan, maka jangan jalan di tengah-tengah, nanti ketabrak, simpel sajalah. Gue selalu heran kenapa orang zaman dulu selalu mau bersusah-susah mengarang cerita untuk menakuti anak agar mau mengikuti apa yang mereka inginkan. Jangan potong kuku pada malam hari katanya, kenapa? Karena nanti potongan kukunya bisa jadi kunang-kunang.. heh, sinting. Teori abiogenesis itu cuma berarti satu kata, konyol.

Katanya, selalu ada penjelasan rasional dari apa yang ditakhayulkan sama orang zaman dulu. Katanya jangan bersiul saat lagi mandi, nanti bisa jadi bego. Setau gue sih, saat bersiul, otot yang bergerak itu hanya otot bibir dan pengaturan nafas, paling banter ya keselek aer, bukan jadi bego—kecuali minum aer ledeng bisa bikin bego, laen cerita—nah nah, kalo begitu siapa yang bego? Yang bersiul, atau yang bikin ‘bersiul saat mandi itu bisa bikin bego’? Ada lagi hal yang menggelitik relung otak kiri gue, jangan bersiul waktu malem, karena ada tiga kemungkinan berdasarkan kitab takhayul populer, (1) bisa mengundang maling, (2) nanti ada uler dateng kerumah. (3) mengundang kuntilanak.

Poinnya, segoblok-gobloknya maling, sebisa mungkin dia akan mendatangi rumah yang sepi tanpa penghuni, dan bukannya rumah yang rame sama suara siulan, bener ga sih? Kecuali malingnya kaya di cerita-cerita 1001 malam yang cukup imbisil untuk mengatakan mau ke pesta topeng saat kepergok penjaga Baitul Maal (dan dia emang pake topeng untuk nutupin wajah), dan berdalih mau menjahit saat alasan pertama ngga dipercaya (dia bawa linggis yang diasumsikan sebagai jarum jahit). Oh, tolong.

Yang kedua, uler? Biarpun gue bersiul sampe jontor juga kalau gue bersiulnya di tengah kota Jakarta yang jalanannya bikin uler merinding buat nyebrang, gue jamin ngga akan ada uler yang dateng.

Yang ketiga, for sure, gue pernah saking penasarannya sama entitas paling doyan ngikik sejagat raya ini sampai bela-belain bersiul setengah jam di bawah pohon beringin paling angker di kampus jam satu pagi, hasilnya? Nihil. Yang ada gue kejang-kejang keausan ratusan meter dari kosan.

Pelajaran yang bisa diambil—selalu ada alasan rasional di setiap petuah? Maka buatlah dalih yang rasional pula, anak zaman sekarang udah terlalu pinter untuk dibegoin, sayang. Tapi sialnya, masih ada aja tuh yang percaya, yasudahlah, silakan aja.

Nah, apa karma gue?

Mata bales mata, darah bales darah, menampar pipi kanan orang lain, suatu waktu pipi kanan kita akan ditampar. Nah, konsep karma itu begitu kan? Apa yang gue lakukan ke orang lain dengan bunyi yang negatif, mungkin suatu hari hal negatif itu juga akan terjadi ke gue dalam bentuk yang lain. Oh ya, menyebalkan amat dan gue males untuk percaya walaupun gue mengalaminya sendiri dalam bentuk yang begitu konkrit sekarang. Masa bodo, nama gue salah satunya diambil dari nama batu, say, jadi salahkan nama gue kalau-kalau gue punya kepala sekeras batu. Gue. Tetep. Ngga. percaya

Kenapa?

Back to square one, gue terlalu rasional untuk percaya bahwa bangun siang = rejeki ilang.

Yang gue percaya, bangun siang = telat solat subuh.

**

Lucu ya?

Bagaimana satu kejadian kecil bisa membuat gue lari-larian sepanjang jalan penuh jemaah taat, terburu satu hal ece-ece yang kita kenal dengan nama kabar. Setengah sinting mencari tahu, berekspetasi kelewat bodoh yang ujungnya hanya bikin kepala sendiri berasap, memandangi kotak kecil yang biarpun kita goyang-goyangkan sampai gila juga ngga akan ada yang berubah. Oalah.. termakanlah gue sama omongan sendiri. Kalau sudah dalam keadaan begitu, kemana sisi rasional gue? Kemana logika konkrit yang gue bangga-banggain, heh? Tenggelam kedalam satu kata empat huruf dalam bahasa Indonesia yang sangat perlu gue sensor agar tidak terjadi perpecahan, demi kepentingan dan kerukunan umat, mengingat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa multikultural, maka kata itu adalah..

****

Halah.. bodoh lah.

Saat Ngedrop Itu Dipakai Untuk..

Filed Under (,, ) by Pitiful Kuro on Monday, June 08, 2009

Posted at : 11:22 PM

Yow.

Gue sakit, terhitung dari 19 Mei sampai sekarang. Dari sakit kepala ringan sampai memohon untuk habisi saja nyawa gue saat itu juga. Beberapa post sebelumnya juga memberitahukan hal demikian kan? Tapi siapa yang sangka gue sampai divonis Demam berdarah yang sepaket sama tipes oleh hasil tes darah keparat itu? Gue pun ngga menyalahkan dokter klinik yang keras kepalanya melebihi keras kepala gue untuk menyarankan gue di opname saja, oh sialan, rekor tanpa opname gue patah kan jadinya.

Terhitung tanggal 2 sampai tanggal 6 Juni kemarin, gue di opname, bukan pengalaman yang menyenangkan sih, tapi juga bukan hal yang nyebelin amat, it was fun. Awalnya, setelah dokter klinik menyarankan untuk di opname, Ibu langsung ngotot bawa gue ke Jakarta yang jelas-jelas gue tolak. Tugas banyak, UAS sebentar lagi, ngga mungkin gue meninggalkan kuliah dimana harusnya lagi masa-masa intensifnya kan? Tapi jelas, gue kalah. Dengan bukti autentik berupa hasil periksa darah dan keterangan dari dokter, gue ngga bisa membantah, dan saat itu juga gue langsung dibawa ke Jakarta dengan mengabari orang tertentu saja.

I've got a bad disease
But from my brain is where I bleed.
Insanity it seems
Has got me by my soul to squeeze.

Well all the love from thee
With all the dying trees I scream.
The angels in my dreams
Have turned to demons of greed that's mean.

Ibu, paman (atau sebut saja begitu), dan gue ke Jakarta naik kereta, tadinya mau travel, tapi udah terlalu sore untuk nyari travel yang masih jalan jam segitu. Sampai di Jakarta, gue langsung diboyong ke RS. Islam, masuk UGD, disini gue bener-bener ngerasa konyol, saat itu gue sehat, serangan demam tipes yang biasa nongol malem hari itu udah gue lewatin pas di kereta. Jadilah..

Gue dan Ibu masuk ke UGD, menghampiri resepsionisnya, gue duduk dengan tenang di bangku yang kosong, si Ibu ngomong sama petugas.. dan ujug-ujug..

Petugas: Kamu! Kamu yang sakit kan?
Gue: *sempet nengok kanan kiri* ee.. iya pak.
Petugas: Itu, tempat tidurnya, kamu tidur disana sampai ada pertolongan nanti!
Gue: *Bengong* Tapi saya sehat pak..
Petugas: TIDURAN!
Gue: Hyaaa..

Entah karena bawaan UGD yang selalu hectic apa hal lain, itu bapak-bapak kayanya jadi sadis dah. Gue naik ke tempat tidur khas UGD yang kecil itu, dan taukah pemandangan apa yang ada di kanan kiri gue? Di kanan, gue melihat seorang laki-laki mengerang-ngerang hebat, wajahnya pucet penuh keringet, selimutnya entah dua atau tiga lapis, badannya ngga tenang dan bolak-balik teriak-teriak “Ibuu”. Di kiri? Horor, ada seorang bapak-bapak umur 60an lagi diobatin kepalanya, mungkin karena jatuh, kulit pelipis, bagian alis dan kelopak matanya lepas, dia bukan ngerang lagi, menggelepar. Di depan gue ada laki-laki umur 20 akhir yang bolak balik muntah darah, mungkin TBC atau habis kecelakaan, soalnya dia bolak balik megangin kepalanya. Di sisi lain, gue melihat laki-laki dengan tangan bengkok, tulangnya menonjol keluar, dahsyat, ngilu kuadrat ngeliatnya.

Dan apakah poin inti dari kesemuanya? Gue lagi sehat-sehat aja, dan gue tiduran kaya orang bego diantara erangan-erangan dan banjir darah di UGD itu.. ha-ha. Lima menit kemudian ada dokter jaga yang memasangkan infus ke gue. Gue baru pertama kali diinfus, jadi ngga tau rasanya, tapi apakah yang namanya diinfus itu sebegitu serunya ya? Soalnya darah gue ngucur deres sampai ngebasahin sendal, taulah. Selesai pasang infus dokternya langsung bilang ke gue agar langsung dibawa ke kamar aja, dan tau gue dibawa pake apa? Kursi roda, ampun dah, padahal gue udah mohon-mohon ke dokternya kalau gue masih kuat jalan, bawa-bawa infus sambil lari juga hayuk dah, tapi katanya prosedur dan gue disuruh nurut, yaudah, dengan badan sehat seger, gue didorong sama suster. Sampe di kamar, gue langsung tayamum, menjama’ solat magrib dan isya.

Target gue sembuh secepatnya karena gue harus kembali ke rutinitas gue.. secepat mungkin. Karena itu, disuruh minum, maka gue minum dengan porsi onta, disuruh makan, maka semua makanan yang dikasih rumah sakit gue makan tanpa sisa, disuruh jangan banyak gerak ya gue diem aja di kasur ngga kemana-mana. Cuma satu, cuma satu saran rumah sakit yang gue tolak mentah-mentah, pake pispot. Oh no, itu mimpi buruk, gue lebih suka bolak-balik kamar mandi nenteng infus daripada harus pamer benda keramat gue kemana-mana, maap-maap aja dah.

Lima hari berselang, gue akhirnya bisa pulang setelah ngotot-ngototan sama dokter yang mantau gue. Trombosit udah naik, DB udah bukan masalah, tinggal tipes dan demam sintingnya yang dateng tiap malem. Rawat jalan gue rasa udah cukup, lagian juga udah ada beberapa tugas yang menunggu dikerjain.

Hal yang cukup rese di kepulangan gue dari rumah sakit adalah, ngga berapa lama gue sampai dirumah, mandi dll, gue kedatangan tamu yang (sama sekali) tidak diundang. Yea, siapa lagi kalau bukan Tika dan Rere, oh, Tika sih emang niatannya mau dateng, tapi yang satu lagi tuh yang ngga diarepin kedatangannya. Yah, pokoknya makasih banyak buat Tika, terutama Rere yang udah menyempatkan waktunya jauh-jauh dari Sukabumi ke Jakarta yang entah dalam rangka apa mau mampir ke rumah gue sekedar jenguk dan ketawa-ketawa geje (sumpah, beneran geje). Walau akhirnya gue usir dengan tidak hormat karena demam gue mulai naik lagi, tapi gue berterimakasih sebesar-besarnya atas waktu yang disisihkan untuk menjenguknya.

Minggunya gue balik ke Bandung, naek kereta parahyangan paling pagi, tujuannya sih supaya sepi, tapi kereta minggu itu sama aja ramenya kaya jam-jam lain di hari lain. Untungnya sih yang sebangku sama gue tau kemana, bebas dah nikmatin dua bangku harga satu bangku. Sampai di Bandung ada yang berbaik hati ngejemput untungnya, ehe, makasih. Selanjutnya, hari minggu itu gue habiskan dengan sangat menyenangkan pokoknya, walau cuma di kosan, tetep aja menyenangkan dengan berbagai sebab (khu).

**

Truman Capote, Breakfast at Tiffany’s


Untuk beberapa orang, judul Breakfast at Tiffany’s mungkin udah ngga asing lagi ya, apalagi di IH ada seorang Sigi yang memperkenalkan sang malaikat Audrey Hepburn yang baik disadari maupun tidak, telah mempromosikan pesonanya kepada anak-anak IH yang lain. Itu judul film yang dia (Sigi) rekomendasikan ke gue dimana Hepburn berperan didalamnya. Gue pun mengusahakan mencari film tersebut, apalagi mengingat siapa yang merekomendasikan film itu. Gue download via youtube tanpa subtitel. Nyaho dah, udah jelas kalau Breakfast at Tiffanys adalah film yang isinya 95% adalah dialog antartokoh, sementara gue menonton itu tanpa subtitel, plus bahasa Inggris gue khususnya listening itu sangat ecekeble, jadilah, gue Cuma bisa kerut dahi waktu nonton.

Selang beberapa bulan, saat menyusuri toko buku untuk mencari bacaan tambahan di kala bosan, gue menemukan buku itu, Truman Capote, Breakfast at Tiffany’s. Yeap, andaikata gue ngga bisa mengerti filmnya, kenapa gue ngga baca aja bukunya sekalian? Mumpung nemu. Gue beli dan gue baca. Dengan bayangan bahwa Holly Golightly adalah Audrey Hepburn (dan bukannya Raine Beau) gue sukses tersihir oleh dialog-dialog yang ada di buku itu. Kadang dialognya itu teramat panjang, bahkan bisa mencapai satu setengah halaman, tapi mungkin itulah gaya menulis Truman Capote, mengandalkan dialog daripada deskripsi, toh memang yang digunakan disini adalah sudut pandang orang pertama kan. Satu hal menarik yang gue dapat di novel ini, gue merasa (hanya merasa) menemukan darimana gaya tulisan Raine Beau berasal.

Gue merasa (sekali lagi, merasa) menemukan kesamaan antara tokoh Raine Beau dan Holly Golightly, bukan dari segi latar belakang, hanya pembawaannya. Pembawaan Holly yang humoris dan terkadang romantis entah kenapa gue rasa (ingat, merasa) tercermin didalam Raine Beau yang humoris (tapi sarkastis), dan romantis (tapi sinis). Atau apapun lah, gue hanya merasa begitu, anggap sajalah ini guyonan dari fans setia lo gi.

Alexandre Dumas Jr., Gadis Berbunga Kamelia


Kayanya ngga perlu ditanya lagi darimana gue mendapatkan rekomendasi buku yang satu ini. Tidak direkomendasikan secara langsung, tepatnya gue mencomot isi salah satu entri dari blognya Pradit yang ngebuat gue merinding di tiap paragrafnya sebagai rekomendasi. Entri tersebut memuat buku ini sebagai bahasan, dan gue menjadi amat tertarik untuk membaca dan mengalami hal yang sama dengan yang dirasakan oleh peresensi.

Ceritanya? Cengeng. Kisah cinta yang dikemas dengan sangat berlebihan, tapi gue suka. Gue suka bagaimana Armand Duval mencintai Margeurite Gautier dengan begitu murni, bagaimana Armand bisa meneteskan air matanya sebegtiu mudahnya kepada Margeurite tanpa gue menganggap Armand itu bukan laki-laki, mudah saja, mungkin Alexandre Dumas Jr. membawakan cerita yang begitu nyata tentang kemurnian cinta kepada gue dengan begitu apik. Bagaimana sebuah pembalasan dendam pun tetap ngga bisa gue liat sebuah pembalasan namun sebuah pernyataan cinta tak langsung yang diberikan Armand kepada Margeurite.

Gue mulai baca buku ini disaat gue lagi demam tinggi-tingginya di rumah sakit. Disela erangan manja anak laki-laki penghuni kasur sebelah, dan suara tee-vee yang sebisa mungkin gue hindari, gue membuka buku yang sengaja dibawa untuk mengisi waktu luan. Mungkin keadaan itu mempengaruhi gue, siapa tau, gue terlalu sentimentil saat mulai membaca buku ini.

Sampai titik ini, sampai gue selesai membaca buku itu, gue masih ngga bisa mempercayai bahwa di suatu tempat didunia ini ada manusia yang bisa mencintai seperti Armand. Gue akan menggunakan kata-kata najis disini. Dia bisa mencintai seseorang begitu tulus, sampai tadi gue bilang, dia menyakiti seseorang, membalas dendam tapi dendamnya ngga kerasa, gue hanya menangkap perasaan cinta yang tak tertahankan yang dimiliki Armand dari pembalasan dendamnya. Yang dia tetap menerima dan merawat Margeurite dengan begitu baiknya saat Margeurite datang memohon pengampunan. Dia begitu kehilangan sangat dikhianati, menangis. Terlebih saat ia mengetahui Margeurite meninggal dan ia tak sempat melihatnya lagi, yang pada bab awal gue hanya menaikkan alis membaca tingkah laku Armand yang aneh, pada bab akhir dan gue baca kembali bab awal lalu membaca apa yang tertulis disana, seketika gue paham. Dia adalah Armand Duval, seorang lelaki yang bisa mencintai dengan begitu luar biasa.

Awalnya, gue berpikir bahwa sedikit banyak memiliki kemiripan dengan Armand. Pihak yang tidak mempunyai kekuatan dan harus mengalah saat pihak satunya ingin melakukan apa yang ia ingin lakukan, tidak punya hak untuk mengatur apalagi memerintah. Seperti Armand yang pasrah saat Margeurite kedatangan Duke yang menyokong pendanaannya. Armand tidak bisa protes karena dari segi finansial ia tidak dapat mengalahkan si Duke, ia harus menahan perasaan cemburu yang membakar otaknya, demi Margeurite. Ah, entahlah.

My friends are so depressed
I feel the question
Of your loneliness
Confide... `cause Ill be on your side
You know I will, you know I will

1600 word, entri kali ini dicukupkan sajalah sampai disini.. kalau kepanjangan, juga susah untuk jadi memoar. Kadang gue benci bergantinya hari, karena perasaan yang dipupuk pun akan tumbuh semakin besar tanpa tanya suka atau ngga, betul kan?

My friends are so distressed
And standing on
The brink of emptiness
No words... I know of to express
This emptiness

I heard a little girl
And what she said
Was something beautiful
To give... your love
No matter what

Tidak Bermaksud Lebay :))

Filed Under (, ) by Pitiful Kuro on Monday, June 01, 2009

Posted at : 8:14 PM

Jumat kemarin akhirnya hutang gue lunas. Hutang gue sebagai PM dari Anjiro Fuma kepada Pradit, PM dari The Morcerf. Fuma mempunyai plot dengan Kristobal, bahkan katanya jadi orang terdekatnya (aw, makasi prad). Namun gue tanpa pikir-pikir malah meninggalkan chara sendiri terbengkalai, dan bahkan term berikutnya, diapus. Nyah. Pertanggung jawaban dalam bentuk fanfic itu sudah lama gue buat, bahkan sebelum Fuma sendiri gue delete—dan bahkan saat gue sendiri masih aktif (= =a). Banyak kendala yang menghalangi gue menyelesaikan fanfic itu, dan maaf, bukan males alasannya. Mentok, tidak ada ide, minim konsep dan sangat ngaco. Sementara ‘lawan main’ gue adalah Praditta Pursadin, Don Juan, orang mengerikan yang setiap gue membaca tulisannya selalu membuat gue merinding tanggo. Dengan dia yang hebat seperti itu, gue merasa kerdil, tulisan gue kerdil, gue merasa fanfic itu tidak pantas sampai ke tangannya.

Entah kenapa, hari Jumat itu gue semangat, padahal kalau dari kondisi fisik, gue sangat kepayahan waktu itu. Kepala pusing parah, badan panas, muka ikut merah saking panasnya, namun gue membuka folder berjudul IH, mengklik dokumen word berjudul ‘fanfic’. Entahlah, yang pasti ide mengalir lancar, walau gue tidak yakin ide-ide itu berhasil dimanifestasikan kedalam tulisan yang berkualitas. Pada saat selesai pun demikian, gue ragu memberikan dokumen word dengan besar 3000 kata itu. Tapi toh gue sudah menyelesaikannya, gue udah berusaha, dan sekecil apapun tulisan gue terlihat, itu tetap tulisan gue dan harus gue hargai. Kira-kira jam satu malam, fanfic itu sampai ke tangannya.

Oh well, memang gue membuat fanfic itu khusus untuk Pradit seorang, maka gue memberikan otoritas penuh kepada Pradit, terserah fanfic itu mau diapain. Tapi, siapa yang sangka kalau fanfic semacam itu di post? Aww, gue ngga mau tau kelanjutannya. Untuk Pradit, gue berucap banyak terima kasih karena pernah menyempatkan diri menjadi partner RP gue, walau kayanya sekarang pun plotnya udah dibelokkan ya? Yah, apapun lah, makasih :D.

**

Dunia seperti itulah yang gue tinggalkan, dengan segala keterkungkungannya dengan dunia luar, NW memberikan banyak hal selain tatap muka. Dua orang bisa bertukar pikiran habis-habisan sampai urat mau putus, padahal gue ngga mengenal dia, dan dia pun ngga mengenal gue. Pembahasan dengan taraf horor sering terjadi, saling serang? Apalagi. Menyindir satu sama lain akan keluhan yang dijabarkan, merendahkan dengan bahasa halus dengan tujuan mengingatkan, gue suka itu semua. Gue ngga meninggalkan dunia itu secara total, namun gue juga ngga bisa membagi dua dunia itu sama rata, ilmu gue terlalu cetek. Maka gue harus pilih salah satu, dan gue pilih RW untuk saat ini.

Bagaimana perkembangan RW yang gue pilih? Entahlah, di entri sebelum-sebelum ini gue sudah menyebutkan berbagai sisi positifnya, sering kumpul sama manusia lain, udah ngga segrogi dulu ngomong sama cewe, dan oh ya! Gue udah bisa senyum dikit-dikit. Bahkan ada orang-orang tertentu yang bisa dikatakan udah bisa gue bagi cerita beberapa hal, untuk semuanya, belum. Tapi entah orang-orang itu memandang gue seperti apa, neurotik? Pesakitan? Ha, lucu.

Katanya, kalau gue ada masalah, gue bisa cerita dan ada banyak yang siap dan mau denger, jangan dipendem sendirian, nah nyatanya? Emm, punya kaca? Ngaca gih.. apakah hal yang diberitahukan ke gue—bahwa banyak orang yang siap dan mau denger itu berlaku juga? Bukannya malah susah ya ngajarin orang berenang, padahal sendirinya ngga bisa berenang?

Lalu? Mau protes? Hubungi gue dengan media biasa, ha-ha.

**

Beberapa hari lalu gue sempet berpikir, “is this worth?”. Apakah ini sepadan dengan NW yang gue korbankan? Dengan keadaan fisik kritis beberapa hari lalu, dan didukung dengan lingkungan yang makin sibuk, gue menanyakan hal itu ke diri gue sendiri. Gue mengandai, apakah yang gue lakukan sekarang kalau gue ngga off dari NW. Mungkin gue sedang ngerepp, mungkin gue sibuk ngepost di berbagai forum, mungkin gue sedang brainstorming dengan beberapa orang, mungkin. Tapi gue rasa itu konyol, kalau ditanya, apakah gue menyesal? Gue jawab, engga.

Mungkin kalian menganggap gue ngga berusaha, is that so? Kalau begitu, sah saja toh kalau gue menganggap usaha kalian ngga kerasa? No offense o, my bloody comrade, gue sadar dengan apa yang gue tulis satu paragraf kebelakang walau kepala gue ngawang sekarang. Gue hanya merasa begitu. Lalu? Dari sudut gue, mungkin usaha gue harus ditambah, gue yang hanya bisa bicara di kelompok-dua-orang mungkin harus bisa terbiasa dengan kelompok-tiga-orang, empat-orang, lima, dan pada akhirnya mungkin sembilan. Ah, siapa yang tau? Tanyalah pada oreo yang menganggur.